Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

‘Zaken Kabinet’ Dewan Kesenian



Oleh SUPALI KASIM

Istilah ’zaken kabinet’ dalam dunia politik diartikan sebagai kabinet para ahli. Para menteri yang duduk dalam kabinet adalah sosok yang ahli dalam bidangnya. Bukan sosok yang terpilih karena latar belakang dukungan parpol, tekanan politis, kedekatan, apalagi keluarga.


Istilah tersebut bisa juga diterjemahkan dalam susunan kepengurusan (kabinet) Dewan Kesenian Indramayu (DKI) periode ke-4 tahun 2009-2012. Usai pemilihan Ketua DKI yang baru pertengahan Juni lalu melalui voting tertutup yang diraih Syayidin, ada masa penantian seperti apakah Kabinet Syayidin? Mayoritas birokratkah? Senimankah? Atau ’yang penting’ pendukung Syayidin?

Sebagai organisasi baru dan independen, DKI selama ini mengalami gelombang pasang-surut. Perkembangan dan penguncupan, kemajuan dan kemunduran, perluasan dan penyempitan, bahkan kecintaan dan kejenuhan menjadi nuansa yang membuncah. Ketika didirikan pada tahun 2001, tidak bisa tidak, cermin yang terpantul adalah gambaran dewan kesenian di daerah lain, seperti Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Dewan Kesenian Jawa Barat (DKJB), Dewan Kesenian Cirebon (DKC), bahkan dewan kesenian di pulau Sumatera semisal Dewan Kesenian Provinsi Jambi.

                                                                                                       Cermin
DKJ sebagai lembaga yang paling tua dan tetap eksis dan berpengaruh hingga kini tampaknya menjadi acuan atau obsesi para pendiri DKI. Melalui sebuah presidium sebagai bidan kelahiran DKI, visi, misi, strategi (juga gizi) DKI ditorehkan. Bagaimana bercermin pada Akademi Jakarta sebagai bidan DKJ yang mampu mempengaruhi Guibernur Ali Sadikin pada tahun 1969 dan tahun-tahun sesudahnya untuk mendukung penuh DKJ. Fasilitas, dana APBD, dan saling-percaya, tetapi pemerintah tidak ikut campur di dalamnya.

Bagaimana bercermin pada Dewan-dewan Kesenian di Sumatera yang didukung penuh  pemerintahan, ketua-ketua adat, tokoh masyarakat dan ulama, seniman dan budayawan. Dewan Kesenian dianggap sebagai denyut nadi dan aliran darah yang memang harus ada dalam rutinitas pemerintahan dan kemsasyarakatan. Bukan organisasi yang ’terpaksa’ diterima atau ’memaksa’ diterima. Ada kecintaan, kerinduan, dan saling membutuhkan.

Bagaimana bercermin pada Dewan Kesenian Jawa Barat (DKJB), yang ’sekali berarti, sudah itu mati!’ Ketika dibentuk pada tahun 1996 di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, beberapa seniman dan budayawan Jawa Barat hadir. Kepengurusan terbentuk, program dirancang, dana pun seperti tak sulit diraih. Beberapa waktu kemudian, yang terdengar adalah berbagai isu tentang pengurus, saling menyalahkan, polemik di media massa, yang terakhir pecah dan ambruk. DKJB seperti tak dibutuhkan. Malahan ada yang melakukan satire dengan mendirikan DKJB atau Dewan Kesenian Jeprut Bandung.

Bagaimana bercermin pada DKC yang tetap eksis dengan mengandalkan sosok dan kharisma ketuanya, Ahmad Syubbanuddin Alwy. Jaringan ke tingkat lokal, nasional, hingga internasional dilakukan, meski lebih mengandalkan semangat ’cinta yang keras kepala’. Organisasi sayap atau onderbouw lahir untuk lebih menajamkan implementasi program, seperti Lingkar Studi Sastra (LSS) dan Center for Empowering Society and Cultural Studies (CESCS).









Kabinet Syayidin
Awal September, Kabinet DKI diumumkan langsung oleh Syayidin, kemudian dilanjutkan raker. Nuansa yang terasa adalah ’kabinet ukhuwah senimaniyah’. Para seniman atau pekerja seni Indramayu yang dirasa mau dan memiliki keikhlasan, duduk dalam kabinet. Mangan ora mangan kumpul. Ada kegiatan atau tak ada, yang penting kumpul.

Nuansa lain adalah ’kabinet seni rupa bersatu’. Sebagai ketua, Syayidin memiliki hak sebagai formatur tunggal untuk memilih pengurus. Sebagai pelukis, ia memilih pengurus teras yang --sengaja atau tidak—berlatar seni rupa. Wakil Ketua diduduki Adung Abdul Gani (pelukis), Sekretaris Abdul Aziz (pelukis kaligrafi) Wakil Sekretaris Affin Riyanto (pelukis), dan Wakil Bendahara Nono Haryono (fotografer). Dalam tubuh Komite Seni Rupa sendiri ditempati Jaya Riyanto, Eddy Olay, dan Iman Besiks.

Puluhan lainnya duduk dalam komite maupun badan, seperti Rokhman (ketua Komite Tari), Abdul Rokhim (ketua Komite Sastra), Rino Riyanto (ketua Komite Seni Audio-visual), Saptaguna (ketua Komite Filsafat dan Komunikasi Seni), Yudo Agitoro (ketua Komite Musik), Agustinus (ketua Komite Teater), Syihabudin (ketua Komite Seni Tradisi), Fuzail A. Syabana (ketua Balitbang), dan Mamat Surahmat (ketua BP Gedung), serta I. Riva’i Alfien (ketua Badan Penasehat).

Apapun wujudnya, DKI tetap menampilkan ‘penampakan’ sosok-sosok yang ikhlas, cinta, dan independen. Pengurus yang memberikan pengabdiannya tanpa diminta dan tak berharap pengembalian, ‘datang tak dijemput, pulang tak diantar’. Jika ada yang terlempar dan tak kembali lagi ke DKI, sangat mungkin tak lulus saat memasuki ‘Uka-uka’ (uji keikhlasan dan uji kecintaan).

‘Zaken Kabinet’ dalam DKI harus diterjemahkan bukan hanya ahli dalam bidangnya. Lebih dari itu adalah para seniman yang memilih seni sebagai profesi dan way of life. Di tengah massa yang mendambakan pekerjaan sebagai PNS, swasta bonafid, atau pun caleg, mereka dengan gagah memeluk seni sebagai pekerjaan pokok. Seniman juga harus sejajar dengan profesi lainnya.

Di sisi lain, meski dianggap bukan organisasi massa dan sementara dianggap kecil pengaruhnya, serta tak berakar pada vote untuk politik praktis dan pragmatis, DKI tetap menjadi icon. Sebuah icon adalah pencitraan, harga diri, gengsi, dan simbol. Inilah yang seringkali menjadi urusan tarik-menarik untuk tujuan praktis dan pragmatis, yang menjadi tantangan independensi. Kalaupun independensi merupakan buah dan tantangan dari interaksi dengan berbagai relasi, akan lebih tepat diibaratkan sebagai benda yang dicemplungkan ke air panas mendidih.

Jika benda itu sebuah wortel, awalnya keras, lalu matang tetapi lembek. Jika benda itu sebuah telur, awalnya cair, tetapi menjadi matang dan mengeras. Jika benda itu kopi dan gula, ia bisa mewarnai dan memaniskan.


*SUPALI KASIM, mantan Ketua Presidium DKI,
Ketua DKI periode pertama (2001-2004),
anggota Badan Penasehat DKI periode 2009-2012.






                                 

                                                                                           

1 komentar:

  1. om sastranya saya di bikin lirik lagu boleh ga???

    BalasHapus

statistik