Oleh SUPALI KASIM*
Jika melihat dan mengamati sebuah bangunan, sesesorang tentu bisa menilai apa nama bangunan itu, untuk apa kegunaannya, dan bagaimana kualitas bangunan itu. Penilaian itu didasarkan atas perhatian secara seksama terhadap bentuk bangunan, gaya arsitektur, keserasian warna bangunan, bahkan mungkin unsur-unsur bahan baku bangunan itu.
Puisi juga merupakan sebuah bangunan, yang terdiri dari beberapa unsur. Penyair menciptakan puisi tersebut dengan meramu dan memadukan unsur-unsur itu. Unsur-unsur yang ada dalam kandungan puisi terdiri-dari dua hal, yaitu hakikat puisi dan metode puisi. Hakikat puisi meliputi tema, rasa, nada, dan amanat/tujuan/maksud, sedangkan metode puisi meliputi diksi (pilihan kata), imaji, kata nyata, majas, dan ritme/rima.
Sebuah puisi bisa dibaca, didekati, dinikmati, diapresiasi melalui unsur-unsur yang ada di dalam kandungan puisi (intrinsik). Sebuah puisi bisa juga dibaca, didekati, dinikmati, diapresiasi melalui unsur-unsur yang ada di luar kandungan puisi (ekstrinsik). Unsur ekstrinsik itu meliputi latar belakang penyair, kondisi masyarakat (sosial-politik) saat ia menciptakan puisi, ataupun sejara perkembangan sastra. Artinya, sebuah puisi bukan hanya untaian kata-kata semata. Puisi juga buah dari perasaan, pikiran, dan pengalaman penyairnya. Sebuah puisi bisa dinikmati dan dipahami dengan pendekatan kedua unsur utama itu, sehingga apresiator dapat menemukan perasaan, pikiran, maupun maksud penyair.
Sebagai hasil karya manusia, puisi tidak akan terlepas dari latar belakang penyairnya. Bagaimanapun juga puisi merupakan suatu hasil dari pengalaman yang diangkat dari lingkungan sosial dan spiritual penyairnya. Kehidupan dan pandangan yang melingkupi penyair memberi pengaruh cukup besar bagi puisi yang diciptakannya. Penyair mengalami, memikirkan, merasakan, mengkhayalkan, menghasratkan sesuatu. Penyair menggunakan bahasa tidak semata-mata sebagai alat, akan tetapi juga sebagai tujuan. Bahasa dalam puisi bukan saja menjadi alat dalam mengungkapkan sesuatu, tetapi bahasa dalam puisi adalah sesuatu itu sendiri.
Woi, Wong!
Puisi berbahasa Cirebon (basa Cerbon/Dermayu) sebagai sebuah karya sastra tentu saja bisa dibaca, didekati, dinikmati, diapresiasi dengan pendekatan kedua unsur utama atau salah satu dari unsur utama itu. Pada puisi karya Saptaguna berjudul Woi Wong! (dari antologi puisi basa Cerbon, Nguntal Negara, 2009), misalnya, bisa dibaca, didekati, dinikmati, diapresiasi dengan pendekatan unsur intrinsik.
Kita baca puisi tersebut:
Woi, Wong!
Ndelengi gambar seturute pinggir dermaga
Ati krasa nelangsa:
Apa kudu wewara ngabdi ning negara?
Apa kudu ngedani pangkat ngurusi rayat?
Apa kudu tawur duit mbela wong kang nasibe pait?
Nyawang poto kang begrak lan ayu
Ati dadi gemuyu:
Tangan ngepel
Luru sega sekepel
Cangkem mesem
Amber rayat kesengsem
Nyandang jas anyar
Krana ngudagi palar
Woi, wong!
Aja milih kuning lamun atine ora bening
Aja milih ijo baka doyan bebodo
Aja milih abang lamung kegembang ning lambe abang
Aja milih gadung bokat wedi kesandung
Aja milih biru baka kaya kodok kegawa ning garu
Aja milih ireng ari gawe urip kang bureng
Woi, wong!
Pilihen sing putih:
Sing wis adus getih
Tirakat panas perih
Nuruti ati kelawan niat kang suci
Kocap lan tindak kraket dadi siji
Ora keder ora wedi
Mbelani rayat ngorbanaken pati
Woi, wong!
Weruh beli?!
Jika dikupas dari dalam berdasarkan hakikat (tema, rasa, nada, dan amanat/tujuan/maksud), puisi tersebut bisa dipahami dan dinikmati secara keseluruhan sebagai berikut:
1. Tidak bisa tidak, hiruk-pikuk dan semrawut atribut kampanye Pemilu 2009 menarik penyair Saptaguna untuk menuliskannya. Tema puisi Wong, Wong! memang menggambarkan seputar itu.
2. Ada rasa sedih dan menyesalkan, serta narsis dan sinis yang diungkapkan penyair. Rasa sedih dan menyesalkan terlihat pada kalimat: Ati krasa nelangsa: / Apa kudu wewara ngabdi ning negara? / Apa kudu ngedani pangkat ngurusi rayat? / Apa kudu tawur duit mbela wong kang nasibe pait? Rasa narsis dan sinis terungkap dalam kalimat: Nyawang poto kang begrak lan ayu / Ati dadi gemuyu: / Tangan ngepel / Luru sega sekepel / Cangkem mesem / Amber rayat kesengsem / Nyandang jas anyar / Krana ngudagi palar
3. Jika nada diartikan sebagai tinggi-rendahnya sebuah bunyi, puisi tersebut memiliki alunan nada yang terkadang melemah pelan, bergerak naik, bahkan terus naik dan keras, tetapi terkadang tiba-tiba menurun. Puisi tersebut terasa tidak datar-datar saja ataupun melulu keras.
- Pada bait pertama, terasa nada itu pelan tetapi lama-kelamaan terasa naik.
- Pada bait kedua, pergerakan nada tampak naik tetapi dalam tempo yang sedang.
- Lain halnya dengan bait ketiga, ketegasan tampak terasa sehingga nada pun naik
dan mengeras.
- Hal yang serupa dengan bait ketiga, juga pada bait keempat.
- Tetapi pada baris-baris akhir nada mulai menurun meski tidak sampai pada titik terendah. Gong terakhir pada puisi tersebut adalah pernyataan tegas dengan nada keras: Woi, wong! / Weruh beli?!!
4. Amanat/tujuan/maksud puisi tersebut bisa diartikan dalam beberapa hal, yakni:
- Melakukan sindiran dan kritikan teradap keadaan (pada bait pertama dan kedua).
- Memberikan peringatan waspada terhadap khalayak dalam memilih sesuatu (pada bait ketiga).
- Menawarkan pilihan yang terbaik berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (pada bait keempat dan kelima).
Sedangkan penelisikan dari metode puisi (diksi/pilihan kata, imaji, kata nyata, majas, dan rima) adalah sebagai berikut:
1. Kata-kata dalam bahasa Cerbon pada puisi tersebut ada yang bersifat umum (lazim dipakai orang kebanyakan), ada juga yang jarang digunakan. Yang jarang digunakan, khas, dan sesuai dengan maksud penyair biasa disebut sebagai pilihan kata (diksi). Diksi yang terungkap pada puisi tersebut antara lain: woi, seturute, dermaga, nelangsa, wewara, ngedani, tawur duit, nasibe pait, begrak, sega sekepel, kesengsem, palar, kegembang, kodok kegawa ning garu, bureng, adus getih, tirakat, kocap, kraket, ngorbanaken pati. Meskipun demikian Afrizal Malna menyebutkan, kekayaan baasa tidak menjamin orang bisa menulis puisi, seperti sama kayanya dengan bahasa yang dimiliki. Puisi tidak bergantung pada kemampuan bahasa, tetapi bagaimana mengeksploitasi bahasa tersebut. Puisi tidak lagi dibaca melalui gramatika bahasa, tetapi melalui gramatika visual. Puisi dibaca dengan cara menontonnya.
2. Imaji lebih bersifat sebagai daya pikir untuk membayangkan, mengkhayalkan, mengangankan. Kekuatan imaji pada puisi tersebut ada pada bait ketiga dan keempat.
a. Pada bait ketiga, beragam warna (kuning, ijo, abang, gadung, biru, ireng) diekspkloitasi bukan hanya sebagai kata benda semata, tetapi lebih sebagai kata sifat yang direlasikan dengan tabiat-tabiat buruk.
b. Bait keempat mengungkapkan nilai-nilai ideal yang ditawarkan, yang selama ini seakan-akan tidak muncul dan tidak dimunculkan. Ada nilai moralis, patriotis, dan heroik sebagai sebuah imaji yang harus dinyatakan.
Melalui imaji, kekuatan puisi berbalut nilai keindahan tampak mencuat. Seperti kata Matthew Arnold, bahwa puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif untuk mendendangkan sesuatu.
3. Meskipun puisi adalah sebuah karya sastra yang nota bene penuh dengan daya imaji, puisi tentu saja tidak melulu dengan kata-kata pilhani yang cenderung tidak dimengerti secara umum. Kata nyata amat dibutuhkan untuk merekatkan diksi dan mencapai amanat yang diinginkan. Pada puisi di atas bertebaran kata-kata nyata di luar diksi, yang jumlahnya tentu saja lebih banyak.
4. Majas atau kiasan merupakan cara untuk melukiskan sesuatu dengan memperbandingkan pada sesuatu yang lain. Puisi di atas memiliki muatan majas, antara lain pada bait kedua (tangan ngepel / luru sega sekepel). Pada bait ketiga, bisa diartikan pula sebagai majas. Senada pula dengan pendapat Percy B. Shelley, bahwa puisi itu sesuatu yang menyenangkan, sekalipun cara atau kata-kata yang dipergunakan agak berbeda.
5. Rima atau pengulangan bunyi banyak mewarnai puisi di atas. Hampir semua bait mengandung rima yang terpilih pada bunyi akhir.
a. Bait pertama: baris pertama dan kedua memiliki keterkatitan rima dengan bunyi akhir (a), yaitu Ndeleng gambar seturute pinggir dermag(a) / Ati krasa nelangs(a). Baris ketiga, keempat, dan kelima berdiri sendiri dengan penekanan pada bunyi akhir kata di tengah dan bunyi akhir pada kata terakhir: Apa kudu wewa(ra) / ngabdi ning nega(ra). Apa kudu ngedani pangk(at) / ngurusi ray(at). Apa kudu tawur du(it) mbela wong kang nasibe pa(it).
b. Seluruh bait kedua memiliki keterkatitan rima dengan bunyi akhir. Baris pertama pada bunyi akhir (yu), yaitu: Nyawang poto kang begrak lan a(yu) / Ati dadi gemuy(u). Baris kedua pada bunyi akhir (pel), yaitu: Tangan nge(pel) / Luru sega seke(pel). Baris ketiga pada bunyi akhir (sem), yaitu: Cangkem me(sem) / Amber rayat keseng(sem). Baris keempat pada bunyi akhir (ar), yaitu: Nyandang jas any(ar) / Krana ngudagi pal(ar).
c. Bait ketiga dan dan keempat juga demikian dengan taburan rima.
Alhasil, puisi Woi, Wong! karya Saptaguna bisa dibaca, didekati, dipahami, dinikmati, dan diapresiasi dari nilai-nilai intrinsik. Pendekatan tersebut sebagai upaya penelisikan secara lebih dalam terhadap ”bangunan puisi” dengan melihat unsur-unsur di dalamnya serta nilai keindahan dan tujuan puisi itu.
Susub Landep
Pendekatan terhadap puisi bisa pula unsur di luar puisi atau unsur ekstrinsik. Pada puisi Susub Landep karya Ahmad Syubbanuddin Alwy (dari antologi puisi basa Cerbon, Susub Landep, 2008) bisa dipahami dari unsur di luar puisi tersaebut. Unsur ekstrinsik itu antara lain dari latar belakang penyair, kondisi masyarakat (sosial-politik) saat puisi itu diciptakan, dan sejarah perkembangan sastra (daerah Cirebon). Pendekatan itu untuk menilai perasaan, pikiran, maksud penyair dalam puisi.
Selengkapnya puisi Susub Landep sebagai berikut:
Susub Landep
Urip ning kene, kaya kari sedepa
segara wis dadi comberan banyumata
sawah dirubung wereng geseng, mrenganga
sedalan-dalan papan reklame gawe nelangsa
lenga lantung, bensin lan solar nyumpeli dada
Urip ning kene, kaya sejagat godong kelor
awak mlarat-bantat, kari selembar celana kolor
mana-mene mentog, sikil mung bisa selonjor
srengenge gerumpung, ozone krowak umeb bocor
angin molak-malik, zaman wis sulaya lan kotor
Urip ning kene, kebebeng peteng kaya ning jero bui
sing gedhong pemerentah, sira keranjingan dadi memedhi
bli rumangsa gawe sengsara, mledingi silit bari mungkur ati
rayat jejemplingan dianggep radio bodol, dijejeli kancing kemiti
usus-buntu kebek paku, weteng busung segunung kaya kebo mati
Ning ara-ara kulon, wong-wong bli wirang dadi bunglon
ning ara-ara wetan, wong-wong medheni kaya merkayangan
ning ara-ara lor, wong-wong pada mringis gemuyu matae bolor
ning ara-ara kidul, wong-wong krasak-krusuk ngramped persis bedul
aja brisik, weru bli? Kabeh dadi susub landep: ngrampok negara!
Sebagai seorang penyair, dunia yang dibangun Ahmad Syubbanuddin Alwy (selanjutnya disebut Alwy) tidak hanya tentang puisi dan sastra, atau seni semata. Ia juga memiliki relasi cukup kuat dengan dunia pergerakan dan acapkali mengritisi kondisi sosial-politik. Ia terlahir dari keluarga santri di Desa Bendungan Cirebon, 26 Agutsus 1962. Pendidikannya dari Pesantren Darut Tauid Arjawinanungun dan Miftaul Muta’allimin Babakan Ciwaringin, Cirebon. Terakhir tamat dari Fakultas Syari’ah Jurusan Peradilan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1989/1990.
Alwy menulis puisi, cerpen dan esai sejak kuliah. Ia diundang membaca puisi pada Pertemuan Penyair Indonesia ’87 oleh Dewan Kesenian jakarta (DKJ). Ia juga seringkali diundang membaca puisi, menjadi peserta atau pembicara diskusi sastra dan budaya, antara lain dalam Festival Seni Surabaya 1996, Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996, Pertemuan Sastrawan Indonesia dsan Sastrawan Nusantara IX di Padang 1997, Temu penyair dalam Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Jakarta 1997, Temu Penyair 8 Kota di Jakarta 1988, Temu Penyair 3 Kota di Denpasar 1998, Pekan Seni Ipoh di Malaysia 1999, Pertemuan Sastrawan Nusantara X dan Malaysia I di Johor Baru Malaysia 1999, Temu Penyair Nasional di Tasikmalaya 2000, dll.
Karya sastranya dimuat di beberapa media massa dan dalam beberapa buku antologi bersama penyair lain, antara lain dalam antologi Mimbar penyair Abad 21 (1997), Puisi dan Beberapa masalahnya (1993), Negeri Bayang-bayang (1996), Cermin Alam (1996), Wulan Sedhuwuring Geni (1999), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Nafas Gunung (2004), Aku Akan Pergi ke Banyak Peristiwa (2005), Festival Mei (2006). Kumpulan puisinya adalah Bentangan Sunyi (1996).
Pergerakan Alwy banyak menyentuh hal-hal ideal tentang kemasyarakatan hingga kekuasaan. Penguatan terhadap hak-hak sipil, hak-hak rakyat tertindas, maupun pergerakan mahasiswa banyak dilihat dari “campur tangan” dan “keberpihakan” Alwy melalui berbagai upaya: dari wacana, rencana aksi, hingga aksi pun dijalani. Carut-marut sosial-politik di negeri ini bukan hanya disoroti, tetapi juga disupatani dan dikritisi.
Puisi Susub Landep tampak menggambarkan dunia perasaan sekaligus pemikiran Alwy tentang kondisi sosial-politik di negeri ini. Pendapat Jamal D. Rahman cukup tepat untuk mengubungkan puisi tersebut dengan latar belakang penyairnya. Kata Jamal, puisi mungkin telah menjadi sejarah yang dipadatkan. Sejarah yang lahir, tumbuh, dan hidup dalam diri ”Aku”. Puisi juga adalah penggalan-penggalan pemikiran dan idealisasi sikap hidup penyairnya.
Kelahiran puisi tersebut juga dikarenakan kondisi sosial-masyarakat yang tidak menentu dan kacau-balau. Masyarakat di bawah sengsara, tetapi di atas tidak peduli dan justru memainkan kekuasaan dengan cara-cara yang jau dari etika. Yang mereka perjuangkan adalah bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, meskipun cara-cara yang tidak benar. Kaum atas itu seakan-akan membalik adagium John F. Kennedy, yaitu ”apa yang dapat diberikan negara untukku”, bukannya ”apa yang aku berikan untuk negaraku”.
Jika ditilik dari eksistensi puisi basa Cerbon dalam era kekinian, agaknya tidak bisa lepas dari perkembangan perlembangan sastra Cerbon sebelumnya. Hal itu amat penting untuk melakukan pendekatan terhadap puisi di aatas sebagai karya kontemporer, yang tidak berdiri dengan sendirinya. Ada keterkaitan dengan perkembangan dan masa lalu sastra sebelumnya.
Untung Raharjo dalam buku Kesusastraan Cirebon, membagi dua bagian kesusastraan Cirebon, yakni sastra lisan dan sastra tulisan.
1. Sastra Lisan, antara lain berbentuk gugon tuwon, jawokan, dongeng, wacana tembang dolanan, mitos, legenda, enelan atau senggakan. Perkembangannya dilakukan secara lisan, oral, getok-tular. Ada anggapan, kena dicatet nanging ora kena den tulis.
2. Sastra Tulisan, antara lain berbentuk kakawen, kidung, wacana, macapat, wangsalan, parikan, paribasa, sanepa, ukara, sesumbar, perlambang, sasmita, basa prenesan, basa rinengga, sandi sastra, panyandra, geguritan.
Periode Kesusastraan Cirebon terbagi dalam empat masa, yaitu:
1. Masa Cirebon Kuna, yaitu zaman perkembangan Hindu di Jawa, khsusnya di Jawa Barat. Pada masa itu bentuk sastra yang berkembang berupa kakawen, kidung, gugon tuwon, jawokan.
2. Masa Cirebon Tengahanm, yaitu zaman perkembangan Islam di Jawa Barat. Pada masa itu karya sastra yang berkembang adalah macapat, perlambnag, sasmita, ukara sesumbar, sandi sastra.
3. Masa Cirebon Baru. Pada masa itu, karya sastra yang berkembang adalah berupa wangsalan, parikan, pribasa, sanepa, basa prenesan, panyandra, basa rinengga.
4. Masa Cirebon Modern. Pada masa itu karya sastra yang berkembang berupa wacana tembang cerbonan, geguritan / karangan bebas, baik prosa maupun sajak.
Jelaslah, puisi Susub Landep memiliki hubungan dengan perkembangan sastra di Cirebon. Puisi atau sajak termasuk perioddisasi Masa Cirebon Modern. Masa tersebut merupakan masa keempat dari rentetan perkembangan sastra pada masa-masa sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya, karya sastra lebih bersifat lisan dengan bentuk yang terikat oleh rima ataupun jumlah baris, puisi atau sajak termasuk karangan bebas yang tidak terikat oleh rima maupun jumlah baris serta tema-tema yang diangkat. Harus dimaklumi jika puisi Susub Landep mengetengahkan tema, wacana, kritikan, dan sorotan yang lebih tegas dan landep dalam mengupas kondisi sosial-masyarakat maupun sosial-politik negeri ini.
Pada akhirnya puisi bukan hanya bernilai perasaan penyairnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah pemikiran penyairnya. Yang menjadi persoalan adalah jika puisi terlalu pekat akan perasaan, puisi tersebut cenderung cengeng, emosional, dan serba subjektif. Jika terlalu pekat pada pemikiran, puisi tersebut cenderung hambar, garing, dan mirip teks pidato-pidato pejabat. Seharusnya perpaduan keduanyalah (perasaan dan pemikiran) yang mampu membuat puisi menjadi indah tetapi tidak mengindah-indahkan, menjadi bernas tetapi tetap lugas, menjadi manis tetapi tetap kritis,. Termasuk juga puisi-puisi berbahasa Cirebon.
Griya Paoman Asri, Indramayu, 19 April 2009
*Supali Kasim adalah pendidik,,
penyair, Wakil Ketua III Lembaga Basa lan sastra Cerbon (LBSC)
**Tulisan ini disampaikan pada Workshop Apresiasi Sastra Daerah Cirebon
Di Hotel Handayani Indramayu, 21 April 2009
Karya sastra mengandung purwakanthi karena kebutuan estetis. Ada 3 prwkanti:
- Prwkanti Guru Swara: pengulangan vokal atau runtun vokal pada kata dalam satu baris, baik secara berurutan maupun berseling (asonansi). Ketriwal-triwal, wak ing wang, orak-orek, sun dadi ratu, ratu ning ratu sabumi.
- Prwkt Guru Sastra: pengulangan konsonan/runtun konsonan pada kata dalam 1 baris, berurutan/berseling (aliterasi): slaman-slumun slamet, bibit-bobot-bebet. Sing sapa salah, seleh. Tutut runtut kumepyar pulut.
- Pwkt lumaksita/Guru Basa: pengulangan kata, baik keseluruan / sebagian, baik mengalami perubahan bentuk/tidak, baik dlm 1 larik/brs maupun dlm larik yg berbeda tetapi masih berurutan.: Kaya lanang-lananga dwewk. Wedang banderek wedang bajigur. Adigang adgung adiguna
Jika sastra dimaknai sebagai the golden bridge (jembatan emas) untuk menuju pergaulan secara luas dan luwes, para remaja Cirebon-Indramayu pada era 1960-an sudah mempraktekannya. Seseorang akan mengungkapkan kalimat ”janur gunung” kepada orang lain yang sudah lama tak bertamu, tetapi tiba-tiba kini datang. ”Janur gunung” bukanlah dimaknai secara artifisial sebagai ”daun kelapa muda di gunung”, tetapi dimaknai sebagai kalimat sastra. Nama lain ”janur gunung” adalah ”pohon aren”. Aren dimaknai sebagai ”kadingaren” atau tumben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar