Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Apa yang Kau Cari, Saida-Saeni? Oleh SUPALI KASIM



 -dimuat di Kompas Jabar
Kemiskinan,  kebodohan, dan kesehatan yang rawan seperti yang senantiasa menjadi objek sorotan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sesungguhnya terangkum dalam dongeng rakyat Indramayu, Saida-Saeni.  Ketika tahun ini IPM Kab. Indramayu dinyatakan berada di urutan terakhir kabupaten/kota di Jawa Barat atau ranking ke-26, dongeng rakyat itu sekan-akan menjelma menjadi kenyataan.

Entah sejak kapan Saida-Saeni muncul menjadi teman anak-anak saat nina-bobo. Sebagaimana dongeng, Saida-Saeni memiliki kearifannya tersendiri. Ia menjadi semacam pitutur para orang tua. Ia banyak mengajarkan tentang berbagai hal, terutama kemiskinan, kebodohan, tipudaya, dan ketidakadilan. Tetapi di situ juga ada nilai-nilai keuletan.

Saida dan adiknya, Saeni, memang bernasib tragis bukan hanya karena miskin. Ibunya wafat ketika mereka masih kecil. Ayahnya, Ki Sarkawi kemudian menikah lagi dengan wadon yang ternyata madep rai mungkur ati (antara wajah dan hati tidak sama). Hasutan ibu tirinyalah, yang membuat Saida dan Saeni terpaksa dibuang ayahnya ke tengah hutan.
Perjuangan kakak beradik yang kemudian terpisah itu penuh balada dan elegi, pengembaraan dan tangisan perih. Sampai akhirnya nasib mengubahnya.

Saeni, dengan mantra seorang kakek, menjadi pesinden tarling yang terkenal dan kaya. Akan tetapi kekuatan mantra itu ada batasnya, sampai akhirnya ia harus dijemput ajal. Sungai Sewo di perbatasan kab. Indramayu dengan Kab. Subang menjadi latar tragis itu.


Miskin kultural
Nilai-nilai keuletan itulah yang sesungguhnya hingga kini digenggam warga Indramayu. Secara tradisi, para nelayan yang jumlahnya terbesar di Jabar, mampu menghasilkan tangkapan ikan yang juga terbesar di Jabar. Secara tradisi pula, para petani mampu menjadikan Indramayu sebagai lumbung padi Jabar dan nasional. Tetapi bisa dicatat, angka besar dari Indramayu itu juga ada pada para dalban (medal ban/ mengayuh becak), sopir bajaj, sopir taksi, ojek sepeda di kota-kota lain, hingga jumlah TKW (tenaga kerja wanita) sebagai babu di luar negeri bahkan para PSK (pekerja seks komersial).

Bangga, tetapi juga ironis. Terperangah, tetapi memang realis. Angka-angka kontemporer dalam IPM seakan-akan memberikan kaca benggala akan kondisi sumberdaya manusia (SDM) yang tak beranjak. Ketika dicermati lebih seksama menunjukkan realitas itulah yang selama berpuluh-puluh tahun menggelayuti langit Indramayu.

Saeni, mungkin bisa menjadi contoh sebuah kasus yang diambil dari arifnya fiksi. Tetapi di situ ada imaji dan kontemplasi. SDM Saeni yang pantang menyerah tampak tak terarah, sehingga sesatlah jalan yang ditempuh. Saida sebagai laki-laki, justru lemah. Kemiskinan struktural itu memang teratasi sesaat, tetapi kemiskinan kultural tetap membelenggu.

Pencarian Saida-Saeni untuk menemukan dunia yang mencerahkan, tak tergapai. Seperti halnya pada tataran Kab. Indramayu yang juga tak beranjak dari kemiskinan, kebodohan, dan rawannya kesehatan secara kultural maupun struktural. Sumberdaya alam yang berlimpah dari sawah, ladang, tambak, hutan, laut, dan minyak bumi ternyata tetap membuat IPM terpuruk.

Wilayah baru
Secara sosio-historis Kabupaten Indramayu menunjukkan wilayah yang masih baru. Sejak awal masyarakatnya adalah campuran dari berbagai daerah, yakni suku Jawa dari Bagelen Purworejo, Cirebon, Demak, Brebes, Tegal, sebagian kecil Sumedang dan suku Sunda, juga dari Cina dan Arab. Akulturasi ini pada akhirnya memperlihatkan kultur baru yang menampakkan corak Jawa yang nDermayu. Mungkinkah karena pondasi kultur dan historis yang tergolong muda berimbas pada pencapaian pembentukan SDM yang secara mayoritas juga tidak terlalu kuat?

Catatan sejarah menunjukkan, pengaruh Kerajaan Sumedanglarang tampak pada abad ke-9 yang wilayahnya mencapai sebagian Indramayu. Namun sejak abad ke-17 wilayah tersebut melepaskan diri, yang sangat mungkin peninggalan itu terletak pada empat desa di Kec. Kandanghaur dan sebuah desa di Kec. Lelea yang tetap menggunakan bahasa Sunda wewengkon setempat. Pengaruh Cirebon sangat kentara, ketika kesultanan tersebut berdiri pada abad ke-15, yang wilayahnya sampai utara mencapai daerah Junti (Kab. Indramayu).

Ketika Kerajaan Sunda berjaya hingga abad ke-16, pelabuhan Cimanuk di Indramayu juga dikuasai dengan menempatkan seorang syahbandar. Hal ini dicatat pengelana Portugis, Tome Pires (1513-1515). Pelabuhan terbesar kedua di pantai utara Jawa Barat itu mampu menarik minat para pedagang dari Arab dan Cina, hingga menetap di sepanjang tepi sungai Cimanuk.

Selanjutnya Naskah Wangsakerta menyebutkan,  penyerbuan Sultan Agung Mataram ke Batavia (1628-1629) yang gagal itu, membuat pemikiran baru untuk melakukan “bedol desa” dari pedalaman Jawa Tengah  ke pantai utara Jawa Barat dalam rangka mencetak sawah-sawah baru. Wiralodra, salah seorang laskarnya dari Bagelen, ditugaskan menetap di Indramayu, yang kemudian menjadi Adipati Indramayu.

Akan halnya migrasi warga Brebes-Tegal dan daerah lainnya ke wilayah barat Indramayu dilakukan sekitar tahun 1920. Alat transportasi yang mudah, murah, dan massal digunakan, yakni kereta api. Wilayah tersebut memang eksotik saat itu, karena sawah-sawah baru tengah dibuka, irigasi teratur, dan bendungan yang selesai dibangun Belanda.

Ketika kini dihadapkan pada terpuruknya IPM, tangis perih seharusnya pecah di Indramayu. Tangis perih Saida-Saeni harusnya hanya fiksi. Situasi yang terjadi justru sebaliknya. Spanduk, umbul-umbul, dan pesta kegembiraan sejak awal Oktober berlangsung dalam euforia kemenangan  dari hasil kontes Pilkada yang berbaur dengan semarak Hari Jadi. Ya, apa yang kau cari, Indramayu?***

SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu.


1 komentar:

statistik