Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Dari Bratayudha ke Hasta Brata Oleh SUPALI KASIM


-dimuat di Kompas Jabar


 
Usai Pilkada bisa jadi Indramayu seperti disergap suasana batin ngungun dan nglangut, meskipun di tengah euforia kemenangan. Ngungun, karena kemenangan ataupun kekalahan berakhir dramatis. Sepi mencekam berbaur kepedihan karena adanya beberapa kehilangan. Nglangut, karena gambaran ke depan yang masih tak berujung-pangkal seperti sumur tanpa dasar. Akan tetapi sesudah lakon wayang Bharatayudha Jayabinangun tersebut, mungkin harus bercermin pada Yudhistira. Secara kesatria dan rendah hati menganggap semua lawan adalah kawan juga. Kemenangan adalah milik bersama.

Gambaran utuh problema Indramayu sesungguhnya membayang di pelupuk mata. Masa lalu yang buram, masa kini yang dibebani problema masa lalu tetapi belum mampu dituntaskan, dan masa depan yang sarat beban. Tingginya angka pengangguran, rendahnya derajat pendidikan dan kesehatan berimplikasi pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Belum lagi stigma daerah pekerja seks komersial (PSK) yang seperti tak bisa hilang. Urbanisasi ke kota metropolitan atau migrasi ke luar negeri menjadi babu  kemudian menjadi pilihan.

Secara historis, manusia Indramayu lebih condong sebagai manusia Jawa yang spesifik. Arya Wiralodra, tokoh pendiri Indramayu seperti dalam babad, adalah prajurit Mataram Sultan Agung yang ikut menyerbu Batavia tahun 1628-1629 (versi lain menyebutkan dari Demak tahun 1500-an). Jauh sebelum itu, pengaruh Kerajaan Sumedanglarang sudah merasuk hingga Indramayu (daerah Lelea dan Kandanghaur).

Tahun 1513 pengelana Portugis, Tome Pires, mencatat adanya pelabuhan Cimanuk yang dipimpin syahbandar dari Pajajaran, tetapi masyarakat sudah beragama Islam.  Pengaruh terbesar berasal dari Cirebon dan Demak, yakni dari Ki Kuwu Sangkan/Walangsungsang/Cakrabuana dan para wali. Mulai tahun 1920-an tercatat migrasi besar-besaran warga Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Kini kabupaten dengan wilayah darat 20.006,4 km2 dan panjang pantai 114 km itu tampak tidak terlalu ”Jawa” dan bukan pula ”Sunda”, tetapi secara subkultural sudah men-Dermayu. Pemerintah Hindia Belanda, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 menetapkan adanya bupati untuk wilayah tersebut.

Era Bupati Sediono
Siapapun yang terpilih, mungkin harus bercermin pada apa yang dilakukan Bupati Indramayu R.A.A. Sediono pada tahun 1933. Ia harus bekerja ekstra keras menyambangi rakyatnya yang miskin dan terpuruk. Pada masa penjajahan tersebut, meski memiliki sumberdaya alam yang melimpah,  Indramayu dikenal sebagai daerah termiskin di Jawa Barat. Rakyat bagaikan ayam di atas padi, mati kelaparan.  

Ternyata ”ayam di atas padi, mati kelaparan” tersebut berlanjut pada dekade-dekade berikutnya. Memang di setiap desa ada warga yang memiliki puluhan bahkan sampai seratus hektar sawah, tetapi ribuan lainnya sejengkal pun tak punya. Kondisi ini seperti menciptakan posisi majikan dan buruh pada kaum tani, serta juragan dan bidak pada kaum nelayan. Selama bertahun-tahun generasi buruh dan bidak secara psikologis seperti dihantui kesengsaraan dan kepapaan para orangtuanya. Ketika Jakarta mulai dibangun pasca-1965, sebagian generasi buruh dan bidak itu seperti laron-laron yang tersedot gemerlap metropolitan.

Rendahnya pendidikan, minimnya keterampilan, dan akumulasi kemiskinan secara kultural maupun struktural, menghempaskan para urban pada strata bawah sebagai tukang becak, ojek sepeda, kuli gali, kuli angkut, hingga  pekerja seks komersial (PSK). Saat itu di Indramayu, bersekolah adalah sesuatu yang mahal, milik kalangan tertentu, dan tak terjangkau. Sekolah lanjutan atas hanya ada di tingkat kabupaten, masing-masing SMA, SMEA, dan SPG. Sekolah lanjutan pertama hanya ada satu di tingkat kawedanan. Sekolah Dasar yang sebelumnya adalah Sekolah Rakyat rata-rata hanya satu di tingkat desa induk. Guru-gurunya kebanyakan dari Jawa (Tengah dan Timur) dan Pasundan. Artinya, wong Dermayu pada masa itu lebih banyak berkutat pada persoalan kebutuhan perut, dan hanya sedikit yang sudah melangkah pada persoalan kebutuhan otak.

Era Bupati Djahari
Bupati/Wakil Bupati yang baru, juga harus bercermin pada apa yang dilakukan Bupati H.A. Djahari (1975-1980, 1980-1985). Seiring program nasional Inpres tahun 1974 dengan dibangunnya SD ke semua pelosok desa, Indramayu mengalami kekurangan tenaga pengajar, karena hanya memiliki satu lembaga yang menghasilkan guru (SPG). Bupati melakukan terobosan dengan melakukan ”impor” ribuan guru dari Yogyakarta dari Pasundan.

Latar sebagai daerah miskin, busung lapar, banjir di kala musim penghujan, kekeringan saat musim kemarau, dan bagi nelayan saat musim angin barat terjadi cul dayung adol sarung (lepaslah dayung perahu atau tidak bisa berkerja, sehingga sarung pun harus dijual), diapresiasi dengan berbagai program. Salah satu hasilnya adalah Parasamya Purnakarya Nugraha pada Pelita III, sebuah penghargaan tertinggi dari Presiden, yang dinilai tiap lima tahun sekali kepada kabupaten yang berhasil dalam pembangunan.

Era Bupati Yance
Dekade masa akhir Orde Baru hingga kejatuhannya mungkin sulit untuk dijadikan cermin. Pemerintahan yang sentralistik berimplikasi pada kepemimpinan daerah yang makin menguat atas dropping dari atas. Semua serba terpusat atas petunjuk dan restu dari atas. H. Adang Suryana (1985-1990), seorang militer asal Pasundan yang sebelumnya menjadi Ketua DPRD diplot menjadi bupati. Begitu pula H. Ope Mustofa, militer asal Betawi yang sama sekali belum  menginjak tanah Dermayu,  dijadikan bupati dua kali (1990-1995, 1995-2000).

Anugerah terbesar pada masa reformasi bagi daerah adalah desentralisasi. Kepemimpinan Bupati H. Irianto M.S. Syafiuddin alias Yance (2000-2005, 2005-2010) mengolah anugerah tersebut dengan melakukan revitalisasi primordialisme. Ia tampak melangkah seperti dengan dua kekuatan. Langkah pertama seperti meneruskan kiprah Bupati H.A. Djahari yang dianggap belum selesai dan terputus selama 15 tahun, yakni membangkitkan semangat kedaerahan untuk menggali potensi SDM dan SDA.

Langkah kedua adalah langkah naluriah seorang pengusaha-politisi. Manajemen sebagai pengusaha berusaha diterapkan dalam birokrasi pemerintahan. Pemangkasan beberapa perizinan, misalnya, dimaksudkan untuk mempermudah investor. Sebagai politisi, nyaris tak ada langkah dan  programnya yang tidak membaurkan diri dalam  bagian dari politik praktis. Motto ”Indramayu Remaja” (relijius, maju, mandiri, sejahtera) yang awalnya lebih mengedepankan upaya relijius dan kesejahteraan warganya, akhirnya menjadi trade mark kiprah politiknya.

Perebutan meraih kursi bupati/wabup sesungguhnya adalah perebutan berkiprah bagaimana mengatasi kompleksitas problema masyarakat Indramayu. Lewat kedudukan menjadi orang nomor satu dan dua, kiprah tersebut sangat mungkin lebih teraktualisasikan. Sangat keliru, jika merebut kursi kanjeng bupati justru demi kejayaan partai, kepentingan kerabat, keluarga, dan pendukung. Yushistira pun menolak anugerah para dewa, jika tidak bersama-sama kawan, lawan, maupun rakyat semesta.

Bagi bupati/wabup terpilih, mengapresiasi problema masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah suatu keharusan. Menyerap kepemimpinan dari bupati-bupati sebelumnya, juga keharusan. Falsafah Jawa tentang kepemimpinan atau hasta brata bisa menjadi renungan. Sebuah kepemimpinan yang meneladani karakteristik dan sifat-sifat alam pada  air (turun ke bawah), api (memberi energi), angin (menyelusup dan membaur ke semua tempat), laut (menjadi tumpahan segala hal dan mencuci yang kotor), bumi (rela dijadikan landasan dan menumbuhkan), matahari (menyinari kehidupan), bulan (mempermanis dan memperindah), dan bintang (menunjukkan arah).***
SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu

Rumah:
Griya Paoman Asri, Jl. Jati No. 7 Indramayu, telp. (0234) 273351
HP 085224102317

Rekening Bank BRI Cabang Indramayu (Britama):
No. Rekening: 0028-01-002720-50-3
Atas nama SUPALI KASIM


1 komentar:

  1. ya...ya, paparan di atas memang cukup mengelitik. Saya cuma sedikit memberikan tanggapan tentang budaya masyarakat, sehubungan dengan implementasi proses demokrasi. Nampaknya masyarakat belum menemukan jatidirinya, seharusnya sikap independensi harus sudah dijiwai.

    Alumni SMPN I Karangampel (1975-1977)
    Lhr Cangkingan
    Bekerja di LIPI '83 - sekarang

    BalasHapus

statistik