Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Mitologi Modern Hari Jadi Indramayu



 Oleh SUPALI KASIM
                                                                                               
Tanggal kelahiran atau hari jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.  Tanggal tersebut dianggap sebagai momentum “proklamasi”, salah satu identitas dan jatidiri daerah, bahkan menjadi simbol kebangkitan warganya. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 02/1977 tanggal 24 Juni 1977.


Atas dasar itulah setiap tanggal 7 Oktober selalu diperingati sebagai hari jadi, dengan agenda utama Sidang Paripurna DPRD. Kegiatan lain senantiasa mengiringi secara meriah berupa berbagai lomba, baik olahraga maupun kesenian, hingga resepsi tumpengan. Penetapan tanggal 7 Oktober 1527, di satu sisi memuat Indramayu telah memperoleh kepastian akan tanggal lahir sebagai suatu identitas daerah. Di sisi lain, menimbulkan sejumlah pertanyaan akan latar belakang tanggal tersebut itu yang dianggap tidak memiliki argumentasi yang kuat.

Kritik terhadap pemilihan tanggal 7 oktober 1527 cukup mengemuka, terutama saat Seminar Sejarah Indramayu (2007). Tanggal tersebut ternyata berasal dari tanggal 1 bulan Sura tahun 1449 Saka, yang merupakan hasil kesepatakan Tim Perumus Hari Jadi pada tahun 1976. Di sini terjadi pencampuradukan bulan Sura (Jawa) dengan tahun Saka (Hindu), yang kemudian ditafsirkan menjadi bulan Muharam dan tahun 934 Hijriyah atau 7 Oktober 1527 Masehi. Lagi pula, momentum itu juga tidak didukung sumber dan dasar penafsiran yang jelas.

Hanya asumsi
Berdasarkan penjelasan Tim Perumus Hari Jadi Indramayu tahun 1976, ternyata penentuannya bersandar pada asumsi-asumsi. Asumsi itu muncul dengan melihat kelaziman para orangtua zaman dulu, yang konon jika melakukan suatu kegiatan atau upacara besar yang menyangkut kepentingan umum senantiasa mengambil hari yang penting yang dianggap sakral. Kriteria penting dan sakral itu, berdasarkan asumsi, adalah menyangkut kehidupan rohaniah masyarakat, yakni tanggal 1 Muharam atau 1 Sura. Tanggal 1 Muharam merupakan penanggalan awal tahun Hijriyah, sedangkan 1 Sura adalah penanggalan awal tahun Jawa. Islam dan Jawa, setidak-tidaknya merupakan identitas dan ikon spiritual yang banyak memberi warna kehidupan masyarakat Jawa, termasuk Indramayu.

Dipilihnya tahun 934 H atau 1449 S lebih banyak bersumber pada pengembangan asumsi pula. Pengambilan tahun tersebut tidak memiliki latar belakang peristiwa yang pasti. Tidak ada momen penting ataupun artefak yang bisa ”berbicara” akan penetapan tahun tersebut, yang kemudian disesuaikan dalam kalender Masehi menjadi 1527 M. Asumsi-asumsi yang kemudian menjadi sebuah ketetapan itu lebih banyak diperkuat oleh keputusan bersifat kebijakan (politis) bupati saat itu,  H.A. Djahari SH, yang secara secara pragmatis menginginkan daerahnya segera memiliki hari jadi.


Hari Jadi, agaknya amat diperlukan sebagai sebuah mitologi baru dan modern untuk legitimasi kekuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kekuasaan, meskipun dalam suasana dan atmosfer demokrasi. Adanya ”hari proklamasi” sebuah daerah, kronologis terjadinya suatu daerah, silsilah keturunan para pendirinya, dijadikan spirit dan ruh untuk pembangunan rakyatnya. Penguasa berikutnya seperti memiliki keyakinan, bahwa apa yang dilakukan hari ini adalah matarantai pembangunan sebelumnya guna mewujudkan masyarakat yang gemah ripah lo jinawi sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk mempermasalahkan kekuasaan yang ia pegang.

Genealogi
Selama ini mitologi di seputar kehidupan raja-raja dahulu menjadi media yang efektif untuk legitimasi kekuasaan. Ken Arok berupaya keras mendapatkan Ken Dedes, karena adanya anggapan siapa yang mempersunting Ken Dedes, akan menjadi puncak sebuah dinasti yang berkuasa berabad-abad. Perempuan cantik itu dianggap memiliki ”takdir” menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Kaisar di Jepang adalah keturunan Dewa Ra (dewa matahari), sehingga kaisar bukanlah orang biasa. Sultan Mataram beristrikan Nyi Loro Kidul (penguasa laut selatan), sehingga sultan bukanlah orang biasa.

Begitu pula genealogi dari wayang seringkali dipakai untuk menegaskan trah Raja, yang ”bukan orang biasa”. Arjuna menurunkan Abimanyu, dan Abimanyu menurunkan Parikesit, serta Parikesit menurunkan raja-raja Kediri. Genealogi yang mengemuka pada babad Dermayu, juga berhulu pada tokoh-tokoh besar. Wiralodra, pendiri Indramayu, berhulu pada Gagak Singalodra, lalu Gagak Handaka, Mangkuyudha, Anggayuda, Jaka Kuwat, dan akhirnya Gajah Mada. Endang Dharma Ayu, pendiri lainnya, lebih dahsyat lagi, yakni dmulai dari Mahdlar Ibraim, Maulana Jumadil Kubro, Zaianal Abidin, Hasan bin Ali, Fatimah binti Ali bin Abu Thalib, dan berujung pada Nabi Muhammad SAW.

Pangkal silsilah pada dua sosok yang sangat dikenal dalam masyarakat Jawa dan umat Islam, yakni Gajah Mada dan Nabi Muammad SAW. Sebagai sebuah ikon, Gajah Mada dan Nabi Muhammad memiliki legitimasi kuat yang mengakar dalam dan kokoh pada masyarakat. Gajah Mada adalah mahapatih Majapahit yang mampu mempersatukan nusantara dan mengantarkan masa kejayaan dan keemasan Prabu Hayam Wuruk. Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu sekaligus penyebar agama Islam, yang kemudian menjadi agama terbesar di dunia. Dua ikon itu bersatu pada diri Wiralodra dan Endang Dharma, yang kemudian menurunkan dinasti pemerintahan di Indramayu.

Momen besar
Yang menarik lagi untuk diperbincangkan adalah ”pemilihan” tahun yang ditetapkan, yakni mengarah pada tahun yang mengandung ”banyak peristiwa”. Tahun 1527 adalah masa kejatuhan Majapahit. Tahun 1527 juga masa dikuasainya Sunda Kelapa oleh Faletehan, yang kemudian diberi nama Jayakarta. Dua momentum yang menyiratkan dua simbol. Pertama, Majapahit adalah simbol kejayaan sebuah kerajaan yang pernah menguasai nusantara, sekaligus simbol kebesaran agama Hindu. Bisa diinterpretasikan ambruknya Majapahit (kebesaran kekuasaan dan agama Hindu) adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam.

Kedua, jatuhnya pelabuhan Sunda kelapa, yang sebelumnya di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, ke tangan pasukan yang dipimpin Faletehan atas perintah Demak. Pendudukan Sunda Kelapa oleh Demak itu tanpa diketahui terlebih dahulu oleh Portugis, yang sebelumnya bekerjasama dengan Kerajaan Sunda untuk aliansi saling menguntungkan. Kerajaan Sunda juga menyiratkan simbol kejayaan sebuah kekuasaan di wilayah barat Pulau Jawa, sekaligus kebesaran agama Hindu. Pada saat yang sama takluknya Sunda Kelapa pada tahun 1527 adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam. 1527 juga diambil sebagai tahun berdirinya Kota Jakarta.

Entah sengaja atau tidak –karena kronologis penetapan tahun lahir Indramayu pada tahun 1527 hanya perkiraan semata dan tidak argumentatif-- merupakan bentuk pencarian identitas dan eksistensi yang dianggap akan memperkuat jatidiri daerah. Pemilihan tahun yang kurang memiliki dasar yang cukup, justru terjebak sebagai upaya legitimasi kekuasaan semata, yang merupakan bagian dari mitologi modern. Sangat mungkin memilih 1527 karena banyaknya momen besar tersebut.

Jika benar Hari Jadi menjadi mitologi modern untuk legitimasi kekuasaan, pantaslah untuk mendapatkan hari sakral itu dicapai dengan berbagai cara, meskipun cara yang dipakai adalah ”pokoknya ada Hari Jadi” dan ”yang penting punya Hari Jadi”. Aspek-aspek kesejarahan, filologis, dan arkeologis pun dikesampingkan. Penentuan Hari Jadi Indramayu mengindikasikan lebih banyak dikarenakan kebijakan dan pertimbangan ”dari atas”. ***

SUPALI KASIM, Pemerhati Sosial-budaya dan Peneliti Sejarah Indramayu
-dimuat di Kompas Jabar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik