Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Nilai-nilai Budaya pada “Petatah-petitih Sunan Gunungjati”



Oleh SUPALI KASIM


Latar Belakang
Keberadaan karya sastra Cirebon sudah diketahui sejak zaman Hindu, masa Islam, hingga  perkembangan sekarang atau mutakhir. Pembagian perkembangan sastra Cirebon tersebut yakni dari mulai Masa Cirebon Kuna (sejak zaman Hindu Kuno hingga akhir abad ke-16), Masa Cirebon Tengahan (awal abad ke-17 sampai akhir tahun 1800-an), hingga Masa Cirebon Modern (sejak tahun 1800-an sampai pertengahan 1900) (Raharjo, 2006:11). Perkembangan tersebut selain dipengaruhi oleh faktor bahasa itu sendiri, juga adanya faktor sejarah. Secara historis, sejak pertengahan abad ke-13 beberapa kerajaan/kesultanan besar ikut memberi pengaruh adanya bahasa Cirebon, antara lain pengaruh dari Kerajaan Majapahit (hingga abad ke-16), Kerajaan Sunda/Pajajaran (abad ke-15), Kesultanan Demak (abad ke-16), dan Kesultanan Mataram (abad ke-17).

Salah satu karya sastra yang hingga kini masih digenggam masyarakat Cirebon adalah berupa gugon tuwon, sebuah kalimat yang mengandung nasehat, mengajarkan tentang hidup, dan perilaku yang semestinya dijalani manusia.  Berasal dari kata gugu (ditaati, diikuti) dan tuwa (orangtua). Gugon tuwon, merupakan karya sastra yang berkembang sekitar abad ke-16 atau pada fase Masa Cirebon Kuno. Gugon tuwon yang cukup dikenal masyarakat hingga kini berasal dari ucapan Sunan Gunungjati, penyebar agama Islam atau anggota wali sanga, yang juga sultan pertama Cirebon. Gugon tuwon tersebut kini lebih dikenal sebagai petatah-petitih atau wejangan atau nasehat Sunan Gunungjati.
            Tulisan ini berupaya mengungkap kembali teks-teks lama yang sangat berharga tersebut. Pada masa hidup Sunan Gunungjati di Cirebon (akhir abad ke-15) keberadaannya mampu menjadi bahasa yang komunikatif dalam syiar Islam.  Tulisan ini juga berupaya melakukan interprepretasi teks dari sudut sastra dengan konteks persoalan masa kini. Penafsiran dari teks lama ke konteks kini dirasakan perlu agar nasehat atau petatah-petitih itu bisa berlaku sepanjang zaman, tidak hanya pada masa hidup Sunan Gunungdjati.

Sunan Gunungdjati
Sunan Gunungjati atau Syarif Hidayat dari garis keturunan ibu adalah putri Nyi Mas Rarasantang atau cucu Raden Pamanahrasa (Prabu Siliwangi, raja Pajajaran), sedangkan dari garis keturunan ayah adalah putra Raja Mesir, Sultan Makhmud. Ia lahir pada tahun 1448. Saat berusia 20 tahun, ia menimba ilmu agama Islam ke Mekah dan Baghdad. Ia menolak meneruskan tahta ayahnya, dan memberikan kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Menurut buku Carita Purwaka Caruban Nagari (Atja, 1986:36-55), Syarif Hidayat memilih ke Pulau Jawa dan singgah di Gujarat dan Pasai belajar agama Islam. Ia juga singgah di Banten dan pergi ke Ampel. Tahun 1470 ia sampai di Cirebon lalu membuka pondok pesantren di Gunung Sembung dengan bantuan kuwu Caruban, Pangeran Cakrabuwana alias Walangsungsang atau Abdullah Iman atau Mbah Kuwu Sangkan, yang juga uwaknya. Kelak putrinya, Pakungwati, dinikahinya.
Syarif Hidayat diangkat sebagai tumenggung bergelar Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sinuhun Caruban, yang berkedudukan di Keraton Pakungwati. Para Wali menyambutnya dengan meneguhkan sebagai penegak panatagama di wilayah Sunda. Ia kemudian menolak mengirimkan upeti kepada Pajajaran dan menegaskan keberadaan Kesultanan Cirebon.
Selama masa penyebaran Islam, Sunan Gunungjati banyak mengajarkan berbagai hal kepada masyarakat. Salah satunya melalui ungkapan-ungkapan yang bisa digolongkan sebagai ungkapan sastra, yakni berupa gugon tuwon.

Gugon Tuwon
Karya sastra yang berkembang pada Masa Cirebon Kuno (sejak zaman Hindu Kuno hingga akhir abad ke-16) kebanyakan berasal dari tradisi lisan (oral tradition). Hal ini amat wajar, mengingat penggunaan aksara tidak terlalu memasyarakat. Selama bertahun-tahun transfer ilmu, termasuk karya sastra lebih banyak dilakukan dengan lisan berupa cerita dari mulut ke mulut, yang merupakan ingatan kolektif masyarakat. Manakala tradisi lisan itu kemudian dituliskan, maka karya sastra itu karya sastra yang tertulis. Hal itu baru dilakukan pada abad ke-18 yang dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta. Hingga kini naskah-naskah Wangsakerta yang berjumlah sekitar 1.800 naskah itu sebagian besar sudah diketemukan dan ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia dan aksara Latin.
Perkembangan karya sastra Cirebon yang menyiratkan budaya Cirebon selama ini memang lebih banyak berupa karya seni yang bersifat hiburan. Misalnya termanifestasikan dalam lagu-lagu tarling dangdut. Konotasinya adalah karya tersebut hanya sebagai alat hiburan dan pelepas lelah semata. Padahal, banyak teks-teks bahasa dan sastra Cirebon yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang mampu memberi pengaruh positif secara sosial maupun spiritual. Teks-teks tersebut juga bisa mencerminkan nilai keluhuran budaya Cirebon yanag cukup tinggi.
Bahasa dan karya sastra Cirebon, tidak lagi berfungsi secara literal sebagai gugusan teks yang independen. Tetapi berdesakan dan berhamburan keluar dari koridor teks-teks bacaan, beralih ke khazanah non-literal merayakan booming industri hiburan semata (Alwy, 2010:ii).
Petatah-petitih Sunan Gunungjati yang diketemukan mencerminkan karya baasa dan sastra yang mampu memeberikan sumbangan berharga bagi perkembangan sosial dan spiritual masyarakat pada zamannya. Teks-teks tersebut sebenarnya merupakan adaptasi nilai dari ayat-ayat suci Al Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa lebih kontekstual sesuai kondisi sosial dan budaya masyarakat Cirebon pada waktu itu.

Interpretasi sastra
Secara umum petatah-petitih Sunan Gunungjati dalam ilmu kesuastraan termasuk gugon tuwon. Petatah-petitih yang dikemukakan merupakan ajaran hidup bagi para pengikutnya, yang sebagian besar berada di wilayah kultural Cirebon, yakni dari perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah hingga ke Banten. Hal itu terlihat dari bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Sumber petatah-petitih itu tampak berasal dari kitab suci Al Qur’an, yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa yang merakyat dan lebih komunikatif. Beberapa petatah-petitih tidak secara tegas menyiratkan suatu arti, tetapi beberapa lainnya secara tegas bisa dipahami dari kalimat yang tersurat.
Interpretasi bisa dilakukan terhadap beberapa petatah-petitih tersebut dengan mengadaptasi pada persoalan kini, sehingga bisa berlaku untuk rentang waktu yang tidak hanya pada masa Sunan Gunungjati hidup (abad ke-16).
Sebagai contoh pada petatah-petitih “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin”, bisa diinterpretasikan sebagai berikut:
1.      “Tajug” bukan hanya tempat sholat dan belajar mengaji. Secara lebih luas bermakna lembaga pendidikan.
2.      ”Fakir-miskin”, bukan hanya kemelaratan materi. Secara lebih luas adalah miskin ilmu-pengetahuan, dan sebagainya.
Petatah-petitih tersebut merupakan kekayaan budaya Cirebon, yang menyiratkan adanya nilai-nilai kearifan lokal untuk menjawab persoalan kini yang menyangkut pentingnya pendidikan. Hal itu berkaitan dengan persoalan yang sangat luas, seperti perlunya kepedulian terhadap institusi pendidikan, hingga input-proses-out pendidikan.
Begitu pula pada petatah-petitih “Yen kiyeng tamtu pareng, yen bodoh kudu weruh, yen pinter aja keblinger”, bisa pula diinterpretasikan sebagai berikut:
1.      Yen kiyeng tamtu pareng (jika tekun, pasti berhasil), merupakan perwujudan kecerdasan emosional (EQ/emotional quotiens).
2.      Yen bodoh kudu weruh (jika bodoh, harus berpengetahuan), merupakan perwujudan kecerdasan intelektual (IQ/intelegency quotiens).
3.      Yen pinter aja keblinger (jika pandai, jangan menurut diri-sendiri), merupakan perwujudan kecerdasan spiritual (SQ/spitirual quotiens)
Sesuatu yang kini banyak diungkap oleh kalangan psikolog ataupun para da’i akan pentingnya keseimbangan kecerdasan otak, hati, dan jiwa, ternyata jauh sebelumnya sudah dinyatakan oleh Sunan Gunungjati. Ary Ginanjar Agustian, misalnya, banyak melakukan dakwah melalui metode Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Bahkan bukunya, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual termasuk best seller, dicetak beberapa kali hingga pada tahun 2006 sudah mencapai 410.000 eksemplar. Suatu hal yang sebenarnya sudah diungkap oleh Sunan Gunungjati melalui petatah-petitih.
Nasehat Sunan Gunungjati tak pelak bukan hanya ada pada ranah agama, akan tetapi juga menjadi kekayaan budaya dan memiliki nilai kearifan local yang cukup tinggi. Ketika teks-teks itu diungkap kembali ternyata tetap abadi dengan persoalan hidup zaman sekarang. Beberapa petatah-petiti lainnya juga menyiratkan hal yang sama (lihat halaman Lampiran).

Simpulan
Karya sastra berupa gugon tuwon, seperti petatah-petitih Sunan Gunungjati memiliki makna yang dalam bagi kehidupan. Petatah-petitih tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Merupakan karya sastra yang diciptakan sebagai alat untuk syiar agama Islam.
2.      Merupakan karya sastra yang merupakan penjabaran dari kitab suci Al Qur’an berupa nasehat dan ajakan kebaikaan, kebenaran, dan memerangi kebatilan.
3.      Merupakan karya sastra dengan bahasa masyarakat (Jawa) yang lebih komnukatif tanpa kehilangan makna sastrawinya sehingga masyarakat tidak merasa berjarak dengan agama baru pada waktu itu (abad ke-16), yaitu Islam.
4.      Petatah-petitih tersebut bisa ditafsirkan atau diinterpretasikan dengan kondisi kekinian, sehingga tidak hanya berlaku pada masa Sunan Gunungjati hidup (abad ke-16).
Mengingat makna yang penting dan dalam dari petatah-petitih tersebut,  bisa dijadikan untuk materi pembelajaran di kelas.
Mudah-mudah-mudahan bisa dipetik hikmah dan buah yang terkandung.


Lampiran:

Petatah-petitih Sunan Gunungjati:
1.      Ingsun titip tajug lan fakir miskin.
Arti: Aku (Sunan Gunungjati) titipkan tajug/mushola/masjid dan fakir miskin.
2.      Yen kiyeng tamtu pareng, yen bodoh kudu weruh, yen pinter aja keblinger.
Arti: Jika tekun pasti berhasil, jika bodoh harus berpengetahuan, jika pandai jangan pandai menurut diri-sendiri dan seenak sendiri.
3.      Yen sembahyang kungsiya pucuke panah
Arti: Jika sholat seperti berada pada ujung panah.
4.      Yen puasa den kungsi tetaling gundewa
Arti: Jika berpuasa seperti sekencang tali busur panah.
5.      Den welas asih ing pepada
Arti: Hendaklah menyayangi sesama.
6.      Mulyakena ing tetamu
Arti: Muliakanlah tamu
7.      Gugunen sipat kang pinuji
Arti: Ikuti dan tirulah sifat yang terpuji.
8.      Den bisa megenging napsu
Arti: Hendaklah mampu menaan nafsu
9.      Manah den sukur ing Allah
Arti: Hati harus tetap bersyukur kepada Allah
10.  Ibadah kang tetep
Arti: Ibadah yang tetap
11.  Kudu ngakehaken pertobat
Arti: Harus memperbanyak tobat
12.  Singkirna sipat kang den wanci
Arti: Singkirkan sifat yang dibenci (negatif)
13.  Duweha sipat kang wanti
Arti: Milikilah sifat yang baik
14.  Wedia ing Allah lan ingsun
Arti: Takutlah kepada Allah dan aku (Sunan Gunungjati)
15.  Aja ilok ngijek rarahi wong
Arti: Jangan sering menginjak (mempermalukan derajat) muka orang
16.  Kenane ing hajate wong
Arti: Kabulkanlah keinginan/permintaan (yang baik) dari orang
17.  Angadohna ing perpadu
      Arti: Jauhi perselisihan
18.  Aja ujub riya suma takabur
      Arti: Jangan pernah riya, sombong, terlebih-lebih takabur
19.  Aja duwe ati nguneg
Arti: Jangan punya hati yang suka berekelu-kesah
20.  Den hormat ing wong tuwa
Arti: Hormatilah orang tua
21.  Aja lunga layaran ing lautan
            Arti: jangan pergi berlayar ke tengah lautan (tanpa persiapan)
22.  Aja nyidra jangji mubarang
Arti: Jangan pernah mengingkari janji
23.  Aja ilok ngamad kang durung yakin
            Arti: Jangan suka menduga jika belum yakin benar
24.  Aja ilok gawe bobad
            Arti: Jangan suka berdusta
25.  Pemboraban kang ora patut anulungi
            Arti: Jangan pernah menolong yang tidak patut ditolong
26.  Aja ngaji kejayaan kang ala rautah
            Arti: Jangan mengaji (belajar) ilmu kanuragan (bela diri dan sejenisnya) yang tidak baik.
27.  Ing panemu aja gawe tingkah
            Arti: Bila pandai jangan berlagak
28.  Aja dahar yen durung ngeli
Arti: Jangan makan sebelum lapar
29.  Aja nginum yen durung ngelok
     Arti: Jangan minum sebelum haus
30.  Aja turu yen durung ketekan arip
            Arti: Jangan tidur sebelum mengantuk
31.  Yen kaya den luhur
            Arti: Jika kaya berada di atas (dermawan)       
32.  Angasana diri
Arti: Asahlah diri
33.  Ngoletan rejeki kang halal
            Arti: Carilah rejeki yang alal
34.  Aja akeh kang den pamrih
            Arti: Jangan banyak pamrih
35.  Den dhuka waman lan suka mamberih gelis lipur
Arti: Kala berduka jangan ditampakkan, supaya lekas hilang dukanya
36.  Aja ilok gawe lara ati ing wong
            Arti: Jangan suka menyakiti ati orang lain
37.  Ake lara ati ing wong, namung saking duriat
            Arti: Hati sering disakiti orang hanya karena asal-usul dan derajat kita (hendaklah dibalas dengan kebaikan)
38.  Aja ngagungaken ing salira
            Arti: Jangan pernah membanggakan diri
39.  Aja anglakoni lunga haji ing Mekah
Arti: Jangan menunaikan pergi haji ke Mekah (jika moril maupun materiil belum mencukupi)
40.  Aja munggah ning gunung gedhe utawa manjing ning kawah
            Arti: Jangan mendaki gunung yang besar dan tinggi atau masuk ke dalam kawah (tanpa persiapan yang matang)
41.  Aja ngimami utawa khotbah ing Mesjid Agung
            Arti: Jangan menjadi imam atau berkhutbah di Masjig Agung (sebelum ilmunya cukup)
42.  Aja dagangan utawa warungan
Arti: Jangan erniaga ayau membuka toko (jika tidak memahami seluk-beluk ilmu niaga/bisnis)


Daftar Pustaka:
Agustian, Ary Ginanjar. 2006. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga.

Alwy, Ahmad Syubbanudddin, dkk. 2010. Gandrung Kapilayu Antologi Puisi Basa Cerbon. Cirebon: Yayasan Dewan Kesenian Cirebon dan Lingkar Studi Sastra.

Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Rahardjo, Untung. 2005. Kesusastraan Cirebon (dalam periodisasi kuna, tengahan, baru dan modern). Cirebon: Yayasan Pradipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik