Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

‘Robohnya Sanggar Kami’



Oleh SUPALI KASIM

Bagi wong Cerbon-Dermayu, eksistensi sanggar seni bukan hanya bermakna sebagai tuntutan menuju kehidupan yang estetis. Lebih dari itu memiliki korelasi semacam simbiosis mutualistis dengan kehidupan sosial, ekonomi, bahkan relijiositas atau kepercayaan tertentu. Sanggar seni menjadi seperti penanda perkembangan atau penyempitan terhadap apresiasi nilai-nilai kehidupan di masyarakat.


Di luar kesenian yang dikategorikan istana-centris, seni kerakyatan tumbuh sejak zaman penjajahan mengisi setiap celah dan ceruk kehidupan sosial maupun individual. Para nelayan mulang trima (berterima kasih dan menghormati) kepada laut yang menjadi ajang mencari nafkah dengan menggelar upacara adat Nadran. Media untuk mengapresiasi kesadaran itu adalah dengan menggelar wayang kulit dengan lakon Budug Basu. Lakon yang kemudian menjadi wajib, karena mengantarkan pemahaman pentingnya mencintai laut.

Wayang kulit juga menjadi tontonan wajib bagi masyarakat agraris untuk memelihara kesiapan bercocok tanam dalam upacara adat Sedekah Bumi dengan lakon Bumi Loka, juga menyukuri hasil bumi dalam upacara adat Mapag Sri.  Kesadaran mengingat kematian, juga berlangsung dengan melibatkan media kesenian. Pada momen ziarah terhadap leluhur pada upacara adat Ngunjung, digelar pertunjukan wayang golek cepak/menak di areal kuburan.

Di Kecamatan Lelea dan Cikedung Kabupaten Indramayu bahkan menggelar upacara adat yang spesifik saat tibanya musim tanam. Upacara adat Ngarot digelar, yang konon tak ada duanya di daerah lain. Kesenian Ronggeng Ketuk menjadi pentas utama menimpali pawai muda-mudi petani yang mengarak bibit tanaman.

Kehidupan sosial yang bernuansa religi, karena bersifat hubungan horisontal dan vertikal senantiasa menempatkan kesenian sebagai media yang efektif. Kebutuhan akan kesenian itulah yang secara timbal-balik saling mengisi dan membutuhkan antara sanggar seni dengan masyarakat sekitarnya selama berabad-abad.

Mengusir wabah penyakit atau epidemi seringkali menggunakan mediasi kesenian dengan menggelar seni berokan di tiap perempatan jalan. Selanjutnya, rasa syukur karena terhindar dari segala marabahaya dalam upacara adat Baritan di perempatan jalan, senantiasa mementaskan wayang golek cepak.

Di luar upacara adat desa, kesenian juga mengisi ruang-ruang keluarga di pedesaan Cirebon-Indramayu. Beberapa momentum kehidupan keluarga menjadi sangat afdol ketika kesenian ikut meningkahi. Seperti sebuah siklus kehidupan pada diri seseorang atau keluarga, tiap fase senantiasa berhubungan erat dengan kesenian.

Momen pernikahan, kemudian istri mengandung, kelahirkan bayi, memberi nama bayi, khitanan, mendirikan rumah, hingga  sang anak melakukan pernikahan tak lepas dari pementasan kesenian. Seni macapat, tarling, sandiwara, wayang, sintren, jidur, topeng, genjring seperti tak pernah berhenti menghibur dan merawat estetika kehidupan sosial. Pembiayaan atas pementasan ini di Indramayu seringkali karena ditopang adanya sistem buwuhan, semacam arisan berupa uang, beras atau gabah. Warga yang menggelar hajatan akan menerima buwuhan. Uang yang diterima bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta, sedangkan beras atau gabah bisa mencapai berton-ton.

Simbiosis mutualistis
Sepintas rutinitas semacam ini seperti suatu kelaziman sebagaimana sumbangan, akan tetapi realitas dari dampak yang terjadi sungguh luar biasa. Kesenian bisa hidup dan sanggar bisa dihidupi karena adanya keluarga yang menggelar hajatan dan warga yang menggelar upacara adat desa. Peran pemerintah secara nominal atas pelestarian seni dan sanggar seni nyaris tak terdengar, karena adanya sistem simbiosis mutualistis semacam ini.

Melihat latar belakang seperti ini menjadi tidak aneh jika di sepanjang jalur pantura Indramayu hingga Cirebon , name board sanggar atau grup kesenian seperti mencolok di tepi jalan. Pendukung sanggar dan pemain dalam grup kesenian berasal dari masyarakat sekitar dengan beragam profesi: petani, nelayan, tukang becak, pedagang, pegawai, dsb. Sekitar dekade 1970-an eksistensi para seniman itu seperti melompati garis estetika menuju garis yang lebih dinamis, yakni komersial. Kesenian tradisional menembus industri hiburan.

Sebagaimana mekanisme pasar, di situ akhirnya berlaku ada permintaan dan ‘barang’ dagangan. ‘Barang’ dagangan akan laku keras manakala pasar menghendakinya. Pemeo pembeli adalah raja berlaku. Masyarakat menjadi pembeli yang bebas menentukan seleranya.

Teater palsu
Ketika budaya pasar merajalela, pada gilirannnya nilai-nilai estetika, sosial, relijiositas pun termarginalkan ke celah dan ceruk paling sunyi. Upacara adat desa dan  hajatan keluarga bukan lagi sebuah apresiasi akan nilai-nilai kehidupan sosial dan reliji. Pasar lebih menghendaki budaya pop, budaya instan, yang penting ramai, yang penting bunyi.

Esensi sanggar seperti keropos dimakan obsesi industri seni. Secara psikis, satu-persatu sanggar pun roboh. Menekuni seni di sanggar tak menjamin permintaan pasar, karena pasar lebih membuka diri untuk hal-hal ’yang penting ramai’ meski terjadi degradasi estetika. Begitu pula secara fisik, robohnya sanggar tak bisa dihindari karena hilangnya rasa cinta dan memiliki.

’Robohnya Sanggar Kami’ sangat mungkin seperti yang dikatakan Arifin C. Noer melahirkan teater-teater palsu, aktor-aktor palsu, dan lakon-lakon palsu. Teater, aktor, dan lakon palsu itu sangat mungkin berkeliaran di gedung eksekutif, legislatif, yudikatif dan ruang-ruang lainnya.

Di antara gempuran teater, aktor, dan lakon palsu itu mungkin hanya satu-dua sanggar yang mampu bertahan. Mungkin pula tiga-empat yang menahan laju arus pasar. Di Indramayu, Sanggar Mulya Bhakti (Desa Tambi) tampak letupan jiwanya masih menyala-nyala. Tatkala secara fisik sanggar itu roboh dua tahun lalu, agak sulit untuk membangunkannya. Mungkin ada persenyawaan yang tepat untuk membangunkan kembali sanggar tersebut bagi Kompas melalaui Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Tanggal 19 November 2009 renovasi pun selesai dan membangunkan kembali eksistensi sanggar di tengah kehidupan estetis, sosial, ekonomi, dan relijiositas masyarakat. ***

SUPALI KASIM, pemerhati budaya, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu
-dimuat di Kompas Jabar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik