Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Menata Tari, Menata Diri (Spirit untuk Tari Trebang Randu Kentir)



Oleh SUPALI KASIM

Menentukan sebuah ikon bagi daerah, mungkin dimaksudkan sebagai lambang jatidiri daerah agar bisa tergambarkan secara elok dan mampu memberi spirit kehidupan dalam berbagai dimensi. Ikon berupa tari, bernama Tari Randu Kentir, bagi Indramayu mungkin berkaitan dengan etika, estetika, dan identitas Indramayu dalam percaturan kesenian dan kebudayaan.

Sebagai sebuah penemuan yang dianggap memiliki karakteristik tersendiri, tari ini memang layak dikedepankan. Upaya revitalisasi yang dilakukan Disporabudpar Kab. Indramayu kemudian menampilkannya di panggung-panggung lain, termasuk di Taman Budaya Jawa Barat, harus disikapi sebagai sebuah momentum untuk penataan lebih luas.
Ketika Tari Randu Kentir (akan) dijadikan ikon tari Kab. Indramayu, akan lebih arif jika terlebih dahulu ditelusuri sisi historis, sosiologis, dan kultural yanag melatari tari tersebut. Apakah Tari Randu Kentir berkorelasi dengan sisi historis Indramayu? Apakah menggambarkan sisi sosiologis Indramayu? Apakah merupakan produk kultural yang tumbuh di Indramayu?

Sisi Historis
Secara historis, Indramayu bukanlah wilayah yang berdiri sendiri. Wilayah yang sekarang disebut sebagai Kabupaten Indramayu, sebenarnya adalah bentukan Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19. Sebelumnya wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Indramayu banyak dipengaruhi oleh beberapa kekuatan politik lokal. Sebutlah pada saat berdirinya Kerajaan Sumedanglarang abad ke-9, wilayahnya sampai ke Indramayu. Bisa jadi, salah satu peninggalannya berupa bahasa Sunda di Kecamatan Lelea (Desa Lelea dan Tamansari) dan Kandanghaur (Desa Parean, Ilir, Bulak, Karanganyar).
 Wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Indramayu juga dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit. Bukti arkeologisnya adalah adanya ukiran Surya Majapahit pada makam Pangeran Selawe (Pangeran Guru) di Desa Dermayu Kec. Sindang. Surya Majapahit merupakan lambang kerajaan tersebut. Menurut Babad Dermayu, nama lain Pangeran Guru adalah Arya Damar atau Arya Dilla. Dalam babad-babad lain yang menceritakan Majapahit, Arya Damar atau Arya Dilla adalah bupati Palembang keturunan Majapahit.
Kerajaan Sunda (lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran) bahkan batasnya sampai wilayahnya yang sekarang bernama Kabupaten Indramayu. Catatan Tome Pires (pengelana dari Portugis yang sampai ke Indramayu), pada tahun 1513-1515 ada pelabuhan yang cukup besar, yakni pelabuhan Cimanuk. Pelabuhan tersebut merupakan pelabuhan terbesar kedua di pantai utara Jawa bagian Barat, setelah Sundakalapa. Pelabuhan Cimanuk dikuasai Kerajaan Sunda, dengan menempatkan syahbandar di situ. Meski syahbandar beragama Hindu (agama resmi kerajaan), masyarakat sekitar sudah beragama Islam.
Tinggalan akan adanya pelabuhan mungkin sulit diketemukan dalam benda-benda arkeologis, tetapi bisa dijumpai pada nama-nama desa di sekitar bekas pelabuhan yanag merujuk nama istilah di pelabuhan. Ada Desa Pasekan (berasal dari kata pasek, menumpuk barang-barang di gudang pelabuhan), Desa Pagirikan (girik), Desa Pabean (bea), dan Paoman (paomahan).
Kesultanan Cirebon ketika pertama kali berdiri pada abad ke-15, juga wilayahnya sampai ke wilayah yang sekarang bernama Kab. Indramayu. Batas paling utara Kesultanan Cirebon adalah Junti, Karangampel, dan Krangkeng. Batas lain Kesultanan Cirebon adalah Losari (timur), Cigugur (selatan), dan Gunung Kromong Palimanan (barat). Jauh sebelum itu, yakni sekitar abad ke-14. Syeh Nurjati (Syeh Datuk Kahfi atau Syeh Idofi), ulama dari Parsi yang menyebarkan Islam di Cirebon dan sekitarnya, juga dikenal di Indramayu. Bukti arkeologisnya adalah sebuah makam di Desa Pabean Ilir Kecamatan Pasekan.
Versi lain tentang Wiralodra, seperti dari Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah lain menyebutkan, bahwa Wiralodra adalah prajurit Sultan Agung dari Kesultanan Mataram yang ikut menyerbu Batavia pada tahun 1628-1629. Dua kali penyerangan itu gagal. Akhirnya Sultan Agung melakukan program “bedol desa” dari Jawa Tengah pantai utara Jawa Barat, dari Cirebon sampai Karawang. Wiraperbangsa atau Singaperbangsa ditempatkan sebagai adipati di Karawang, sedangkan Wiralodra ditempatkan sebagai adipati di Indramayu.
Merunut catatan historis seperti itu mungkin bisa memetakan jatidiri sesungguhnya Tari Randu Kentir. Apalagi tari tersebut, konon merupakan media syiar Islam oleh Mbah Kuwu Sangkan (nama lainnya: Walangsungsang, Pangeran Cakrabuwana, Pangeran Cakrabumi, Ki Somadullah, dan Abdullah Iman). Fakta ini tentu tidak segaris dengan pengaruh dari Kerajaan Sumedanglarang (abad ke-9), Majapahit (abad ke-15), dan  Sunda/Pajajaran (abad ke-16) yang Hindu-Buddha. Fakta ini juga cenderung tidak sesuai dengan pengaruh Mataram Islam Sultan Agung, karena secar tegas disebutkan adanya faktor Mbah Kuwu Sangkan.
Yang paling memungkinkan pengaruhnya adalah dari Kesultanan Cirebon ataupun sebelum berdiri resmi menjadi kesultanan.  Peran Mbah Kuwu Sangkan mau tak mau harus dicatat dalam catatan tersendiri.

Sisi Sosisologis
Peran Mbah Kuwu Sangkan demikian menonjol dalam syiar Islam di Jawa Barat pada abad ke-16, termasuk di Indramayu. Bukti arkeologis bisa ditunjukkan dengan adanya 60 makam Ki Gede dari desa-desa di Indramayu yang dimakamkan di Astana Gunungjati Cirebon. Ada latar belakang keterpengaruhan, tetapi juga di situ ada pengakuan adanya “imam”, “seba”, dan “kepatuhan” terhadap Mbah Kuwu Sangkan.
Sisi solisologis inilah yang bisa jadi Tari Randu Kentir bukanlah tari yang secara akarnya berdiri sendiri di Indramayu. Sebagaimana diketahui, Randu Kentir merupakan salah satu jenis dari Tari Trebang. Sebuah tari yang lekat akan dimensi syiar Islam, yang juga bisa ditemui dari daerah Cirebon hingga Banten. Pada tataran ini bisa disejejarkan dengan jenis kesenian lainnya yang cenderung berperan sebagai syiar, seperti Tari Rudat,  Berokan,  Wayang Golek Cepak/Menak, Wayang Kulit Purwa, Tari Topeng.
Sebagai kesenian yang memiliki sisi peran syiar Islam, harus bisa diketemukan simbol-simbol apa yang menunjukkan karakter ke-Islam-annya. Apakah dari sisi gerakan yang menunjuk adanya keesaan, busana yang Islami, ataukah tetabuhan yang lebih mengandalkan perkusi.
Sisi Kultural
Sebagai produk budaya, seni tari tentu saja merupakan olah pikir dan olah rasa kreatornya. Dimensi lain yang melatari hanyalah setting semata. Kerja otak dan kerja batin-lah yang selama ini menjadikan Tari Randu Kentir terasa memiliki estetika tersendiri. Sebagai produk budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, Tari Randu Kentir senantiasa terbuka menerima penyempurnaan demi penyempurnaan. Hal yang sangat berbeda dengan kesenian yang berasal dari pusat keraton dengan pakem yang ajeg dan penuh ritus.  
Yang muncul selama ini diketahui tari tersebut berkembang di Kecamatan Losarang, yang konon dikembangkan seorang rakyat biasa. Asal-usul gerakan yang konon dari sebatang kayu randu yang kentir (hanyut) dianggap merupakan gerakan estetis tersendiri dalam tari tersebut. Latar kultural ini demikian melegenda. Tari Randu Kentir sebenarnya merupakan pengembangan dari Tari Trebang, yang merupakan jenis tari, yang bisa diketemukan di daerah lain.
Akan tetapi tari ini meniliki kekhasan tersendiri. Jika dihubungkan dengan seni Islami lainnya, terasa ada sesuatu yang berbeda. Dalam khazanah tari yang berkembang pada saat perkembangan Islam di Indonesia, semisal rudat, saman, atau zafin, tari ini memang agak berbeda. Hal yang sangat berbeda pula jika dihubungkan dengan tari tradisional lainnya, misalnya srimpi atau tayuban.
Rudat, saman, atau zafin sangat kental sekali pada nuansa kultural Timur Tengah. Bahkan Rudat merupakan raudloh yang bisa diartikan sebagai taman, kebun, atau juga latihan. 
Tari Randu Kentir justru lebih mendekati tari topeng gaya Carpan dari Cibereng Cikedung. Hal ini mungkinkah karena persoalan jarak sosiologis Cikedung dan Losarang yang berdekatan, kemudian memberi pengaruh kultural. Ada nuansa lokal yang terimbas, tetapi juga ada nuansa seni trebang secara akarnya.

Revitalisasi terhadap Tari Randu Kentir dianggap perlu untuk memetakan kembali tari tersebut ke dalam ikon daerah. Penataan terhadap sebuah karya seni tidak hanya berfungsi “bagaimana karya seni bisa tampil secara lebih estetis dan artistik”. Lebih dari itu “bagaimana penataan itu juga menyentuh penataan terhadap person-nya”. Person itu menyangkut penari, penata tari/koreografer, pembina sanggar tari, dan instansi yang menanungi, ataupun sekolah-sekolah yang bisa menerapkannya dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) ataupun kegiatan Pengembangan Diri (PD). Pendeknya, menata tari seharusnya beriringan dengan menata diri.
Penataan ini amat penting. Meski kelihatan hanya menyangkut hal-hal bersifat teknis semata, pada akhirnya yang menjadi tujuan utama akan menyentuh esensi tari itu sendiri. Bagaimana sebuah tari ditarikan seorang penari bukan lagi karena bergeraknya badan, tangan, kaki, kepala, mulut, atau mata. Akan tetapi bagaimana sebuah tari secara estetis dan artistik ditarikan seorang penari karena jiwa.
Ya, menari dengan jiwa! Sebagaimana ikon penari Indramayu, Carpan ataupun (alm.) Rasinah.

*disampaikan pada gladi pementasan dan diskusi Tari Randu Kentir
di Aula PKPRI Losarang Kab. Indramayu, 18 Juni 2011.
**Tari Trebang Randu Kentir, seminggu kemudian dipentaskan
di Taman Budaya Jawa Barat, Lembang Bandung
***Supali Kasim, pemerhati seni-budaya, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI).


1 komentar:

statistik