Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Saweran Dana dari Kadana



Oleh SUPALI KASIM

Peribahasa Cirebon-Indramayu, “Kebo nyusu gudel” agaknya tepat untuk menggambarkan fenomena kini tentang permintaan dana, yang justru dari wong gede kepada wong cilik. Kerbau menyusu kepada gudel (anak kerbau) adalah suatu perilaku terbalik yang berimplikasi sangat luas: kemiskinan makin menjadi, pemerasan terselubung, korupsi, dan bahkan hilangnya rasa malu.


‘Kebo nyusu gudel’, mungkin awalnya hanya bumbu penyedap pergaulan adat ketimuran. Seperti juga kebiasaan sawer (pemberian) dana, yang berkonotasi sebagai tips belaka. Lama-lama menjadi kebiasaan, tradisi, budaya, dan mungkin ideologi yang menyimpang. Penyimpangan itu terjadi, seperti sawer yang dipaksakan untuk memberi prosentase dana ketika mendapatkan bantuan. Kebiasaan sawer juga dilakukan saat promosi naik pangkat, mutasi pekerjaan, atau bahkan promosi jabatan.

Saat pemeriksaan keuangan kantor, para pemeriksa biasa diberi  ‘dana transport’. Saat penilaian suatu lomba di daerah, penilai dari propinsi atau pusat sengaja ditempatkan di hotel mewah dengan segala fasilitasnya. Pulangnya diberi uang saku dan oleh-oleh istimewa. Ada juga berita Anggota DPRD menerima sawer dari anggaran. Terungkap pula adanya kongkalingkong antara petugas pajak dengan pejabat penyetor pajak, yang efeknya merugikan negara. Jadi, apa kata dunia?

Fenomena Gunung Es
Sawer dana demi pembebasan atau minimal berkurangnya hukuman bukan pula rahasia. Sawer dana pun dianggap sesuatu yang lumrah. Sebuah jalan pintas yang sebenarnya tergolong sesat, karena menihilkan proses hukum dan menganggap uang sebagai panglima segala-galanya. Tragisnya, seringkali yang bermain dan mempermainkan adalah orang-orang yang mengerti hukum.

Pada episode ini Kadana, wong cilik yang berasal dari pelosok Indramayu tersedot permainan. Kadana yang dipidana tujuh tahun atas tuduhan pembunuhan dan keluarganya yang kemudian tinggal di kandang kambing yang disulap menjadi rumah, memang orang kecil. Terlepas benar atau tidak benar perbuatannya, terbukti atau tidak terbukti di mata hakim, orang kecil itu tergiur melakukan jalan pintas untuk membebaskan hukumannya. Jalan pintas itu adalah sepakat memberikan sawer dana melalui oknum polisi, yang memang memberinya janji manis pembebasan.

Mungkin suatu kebetulan belaka ketika kasus itu kemudian mencuat. Jika saja tak ada Satgas Anti Mafia Hukum, jika saja tak ada keberanian untuk melapor, jika saja masalah ‘markus’ tidak sedang populer, mungkin ceritanya akan lain. Ada beberapa kebetulan lain, yang mengantarkan kasus Kadana seperti fenomena gunung es.

Kadana kemudian menjadi peristiwa yang istimewa. Seakan-akan hanya dialah yang dipermainkan ‘markus’ seharga Rp 14,3 juta. Seakan-akan hanya dialah yang menjual tanah lalu anak-istrinya terpaksa berumah di kandang kambing. Seakan-akan hanya dialah yang dimitai sawer dana demi pembebasan hukuman. Seakan-akan ketika Satgas Mafia Hukum turun tangan, selesailah masalahnya.

Sebagaimana gunung es, fenomena itu memang hanya tampak di permukaan. Bagian bawah gunung es sesungguhnya lebih besar. Kadana-kadana lain, sesungguhnya masih banyak, yang kebetulan tidak tahu harus melapor ke mana. Kalaupun tahu, kebetulan  tidak memiliki nyali untuk melaporkannya.

Menyimpang
Istilah dan tradisi sawer memang berasal dari pertunjukan kesenian. Sawer lebih bertujuan sebagai tips belaka. Penonton yang ikut menari dalam seni tayub, ketuk tilu, jaipong, hingga organ tunggal, biasa memberi tips seadanya kepada penari. Penonton juga memberi tips agar pesinden melantunkan namanya dalam pertunjukan wayang kulit, sandiwara daerah, ataupun tarling.

Sebagaimana sawer, tak tampak jual-beli layaknya perdagangan, apalagi perdagangan terselubung. Hanya ada tendensi sekadar berbagi kebahagiaan dalam sebuah prosesi kesenian. Meski demikian, elemen psikologis ikut pula mengiringi, seperti eksistensi ingin diakui atau menonjolkan diri. Lantunan tembang klasik pesinden di tatar Cerbon-Dermayu, seperti “Mama Kuwu, kulane melu...” (Bapak kepala Desa, saya ikut….), seperti menunjukkan penghormatan dan eksistensi kepala desa dalam perayaan kesenian.

Sawer juga menjadi sarana keakraban, kekerabatan, dan kekeluargaan yang hangat. Tampaknya penyimpangan mulai terjadi ketika problem eksistensi dan ego pribadi mulai menyergap warga semi perkotaan. Sawer seperti dipaksanakan dan jor-joran demi popularitas semu, seperti peribahasa “anak bogor , biar tekor, asal kesohor”. Seringkali pula, ajang pertunjukan kesenian seringkali menyulut keributan karena berebut kesohor, sebab yang terjadi kemudian, “entok modal kari akal, entok akal kari okol” (habis modal tinggal akal, habis akal keluarlah kekuatan fisik).

Lebih menyimpang lagi, ketika sawer justru diberikan atau diminta secara paksa dari bawah ke atas. Anak kerbau yang seharusnya menyusu kepada induknya, justru yang terjadi sebaliknya. Pemerasan, pungli, kongkalingkong, dan ragam perilaku lain  menempatkan wong cilik sebagai obyek penderita dan disedot “susu”nya. . Tanpa malu, tanpa sungkan, tanpa ragu.

Kasus saweran dana dari Kadana, seharusnya saweran dana untuk Kadana dan Kadana-kadana lainnya. Saweran  juga  harus diartikan bukan hanya pemberian dana semata, tetapi lebih dari itu adalah keberpihakan secara sosial, pembelaan secara hukum, dan memosisikannya dalam derajat tinggi  kemanusiaan.***

SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu
-dimuat di PR Edisi Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik