Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Sebuah Lagu dan Hitam-putih Indramayu


-dimuat di Khazanah Pikiran Rakyat, Des 2006


 
Oleh SUPALI KASIM*                       


Sebuah karya seni berupa lagu dangdut berjudul “Indramayu”, yang diciptakan Endang Raes dan dinyanyikan Ayunia membuat membuat heboh Indramayu. Bupati Indramayu mengecam. Ketua DPRD mengecam. Setali tiga uang juga dilontarkan Kepala Kantor Budpar Kab. Indramayu, Ketua Wadah Artis dan Musisi Indramayu (WAMPI), beberapa penyanyi dan pencipta lagu di Indramayu.

Sejak tanggal 19/11/08 media cetak dan elektronik memuat kecaman-kecaman tersebut. Setidaknya ada 4 (empat) hal yang bisa ditangkap sebagai reaksi terhadap lagu tersebut. Pertama, lagu itu tak sesuai dengan visi Indramayu yang “relijius-maju-mandiri-sejatera” (Remaja). Kedua, liriknya menyudutkan pemerintah dan menyesatkan masyarakat. Ketiga, mempertanyakan maksud lagu itu dan tidak menerimakan terhadap pencipta lagu yang hanya berpikir keuntungan tetapi tidak memikirkan dampak dari karya seni tersebut. Bahkan menuntut pencipta lagu agar meminta maaf. Keempat, masyarakat dianggap tak layak mendengarkan, stasiun radio agar mencekal, lalu diadakan sweeping terhadap lagu tersebut dari kios-kios kaset (Rabu, 26/11).
            Sebagai sebuah fenomena, pencekalan terhadap lagu bukan hal pertama. Karya seni yang dianggap tidak sejalan dengan visi, spirit, atau mainstream yang didengung-dengungkan pemerintah, dianggap “haram”. Presiden Soekarno memberangus lagu-lagu Koes Plus pada dekade 1960-an, yang disebut sebagai musik ngak-ngik-ngok dan tidak sesuai spirit revolusi. Menpen Harmoko mengecam lagu-lagu yang dikategorikan cengeng pada pertengahan 1980-an, seperti lagu Rinto Harahap yang dinyanyikan Betharia Sonatha, karena tak sesuai visi pembangunan nasional, yang konon dinamis.
Visi, spirit, dan mainstream pemerintah juga memaksa lagu Hidup di Bui harus dirubah syairnya. Salah satu barisnya dinggap tak sesuai lagi dengan kondisi zaman yang telah berganti, dari zaman perang ke zaman pembangunan. Sebelumnya pada bait terakhir berbunyi, “Apalagi penjara Cipinang/ masuk gemuk pulang tinggal tulang/ karena kerja secara paksa/ tua-muda turun ke sawah”. Lirik itu kemudian dirubah menjadi “Apalagi penjara zaman perang…,” dst.
Pandangan seni
Lagu “Indramayu” sesungguhnya tidak secara gamblang dan vulgar mengungkapkan citra buruk Indramayu. Meski demikian, dari beberapa liriknya ditafsirkan menggiring pada pencitraan yang buruk. Citra itu adalah seorang wanita “nakal” yang terjerembab dan berkubang dosa di sebuah kota, dan wanita itu berasal dari Indramayu. Begini syairnya: Indramayu kau yang selalu kurindu/ Indramayu masihkah kau ingat aku/ ku pergi ke kota karena terpaksa/ demi hidupku yang terhimpit derita// Ku di dalam kaca menunggu durjana/ siang-malam aku menjadi si hina/ Indramayu kau yang selalu aku rindu/ hati menjerit batin menangis/ tak tahan ku menerima siksaan // Hatiku sakit teriris-iris/ aku diperlakukan bagai hewan/ Sayangku Indramayu aja gemuyu/ sayangku aku ingin kembali ke pangkuanmu.
Kontroversi lagu “Indramayu” menjadi semakin hangat, ketika penyanyi dangdut asal Indramayu, Iis Dahlia, berkomentar (Radar Cirebon dan Lampu Hijau, 20/11/08).  Kata Iis, suatu lagu merupakan cerminan kebebasan dari yang menciptakannya. Itu karya seni, yang tidak ada batasannya. Mungkin yang menciptakan lagu tersebut pernah mengalami hal yang akhirnya ia tuangkan dalam lagu tentang Indramayu tersebut, jadi tidak bisa dipermasalahkan. Sebagai orang Indramayu, Iis tidak mempermasalakannya dan tak ambil pusing. Di sisi lain, ia menampik jika semua wanita  Indramayu ber-imej negatif. Penafsiran terhadap lagu itu, tergantung orangnya. Termasuk pendengar, kalau memang tidak suka, ya tidak usah didengerin. Tak layak untuk dipermasalakan. Masih banyak hal penting lainnya. Seharusnya, ungkap Iis, dengan adanya lagu tersebut masyarakat Indramayu sendiri dapat berkaca, dapat berintrospeksi, untuk bangkit dan menghilangkan imej tsb.
            Sudut pandang yang berbeda antara seniman dengan apresiator (baca: penguasa, masyarakat) memang kerap kali terjadi. Seniman seringkali berpatokan seni untuk seni (art to art). Sebuah karya seni adalah karya seni, yang tidak bertendensi dan tidak mengagungkan atau memburukkan sesuatu. Karya seni adalah curahan hati, ekspresi jiwa, perasaan, pengalaman, penghayatan, pendapat, pandangan, ataupun pemikiran si pengarang akan sesuatu, yang memiliki kemerdekaan tersendiri. Seni adalah tujuan itu sendiri, bahkan lebih dari itu  bagi sebagian seniman menjadi semacam ideologi.
             Perilaku semacam ini seperti mendapat reaksi sebagian masyarakat yang “ketakutan” oleh ideologi tersebut. Kelompok ini berupaya menjauhi seni, menyingkirkan seni, bahkan meng-“haram”-kannya, karena sangat khawatir akan mengganggu dan merusak hubungan dengan Sang Khalik. Karya seni rupa, syair, musik, tari dianggap tak ada, karena kekhawatiran tadi. Bahkan pada model rambut, wajah, busana, dan gaya bicara pun, jika dianggap tak nyeni, tak trendy dan kuno, bagi mereka tak menjadi persoalan asalkan hubungan dengan Sang Pencipta tak terganggu.
            Di antara keduanya, ada pendapat bahwa kesenian adalah media, alat, sarana semata. Ibarat pedang, yang bisa digunakan untuk membabat rumput tetapi juga bisa mencelakakan orang. Ia juga adalah api, yang bisa untuk menanak nasi, tetapi sangat mungkin membuat hutan menjadi terbakar. Kelompok ini senantiasa berpegang pada apa yang dilakukan walisanga di Tanah Jawa dalam berdakwah. Berbagai jenis kesenian dengan segala atributnya (wayang kulit, wayang golek cepak, berokan, tari topeng, tari rudat, brai, genjring umbul, dsb.) menjadi media dakwah yang efektif untuk mengumpulkan massa, lalu mendakwahkan kebaikan dan kebenaran (agama).
            Latar inilah yang senantiasa dipegang pemerintah Orde Baru, bahwa kesenian adalah media pembangunan. Melalui lagu, drama, tari, program-program pemerintah disisipkan dan didengungkan, seperti menyukseskan program KB, Transmigrasi, Panca Usaha Tani, Wajar Dikdas, dsb. Tak pelak jika sah-sah saja ketika melakukan “intervensi” sampai jauh dengan menggariskan kode etik bagi seniman tradisional, yakni Tri Smara Bhakti (seniman harus menggenggam tiga misi: juru pendidikan, juru penerangan, juru hiburan). Celakanya, yang disebut sisipan program pembangunan kemudian menjadi ”kampanye parpol”, yang membuat beberapa lagu daerah, misalnya, harus berganti syair menjadi syair dukungan terhadap parpol tersebut.
            Religiositas
            Lagu berjudul ”Indramayu” dan reaksinya, kurang-lebih menyiratkan dua sisi pandangan yang berbeda antara ideologi seni dengan ideologi pembangunanisme. Esensi lagu itu dianggap bertentangan dengan, terutama, visi religisositas yang tengah digencarkan Pemkab Indramayu. Hingga delapan tahun kepemimpinan Bupati H. Irianto M.S. Syafiuddin, berbagai program yang dikategorikan religius, diutamakan (wajib Madrasah Diniyah Awaliyah bagi siswa SD, berjilbab untuk siswi dan karyawati, busana muslim tiap hari Jumat, mengaji 15 menit sebelum pelajaran di sekolah dimulai, puasa Senin-Kamis, zakat profesi), hingga anugerah Akhlaqul Karimah tingkat nasional.
            Visi itu sebagai bentuk perlawanan terhadap citra Indramayu yang selama ini dianggap negatif, terutama cap sebagai daerah pekerja seks komersial (PSK). Koentjoro (1989:3) menyebutkan Indramayu menempati urutan pertama dari 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota.  Latar dari stigma itu memang tidak lahir dengan sendirinya. Penelitian Wibowo (1989) menyebutkan faktor kemiskinan (46%) dan rendahnya pendidikan (28%) sebagai penyebab utama. Faktor lain juga ”dibentuk” oleh fenomena sejarah, masalah sosial, rendahnya standar moral, sifat hidup konsumstif, dan kawin-cerai muda. Citra buruk yang lain adalah maraknya peredaran miras, yang bahkan Ramadhan lalu menewaskan belasan orang. 
            Faktor sejarah ternyata menjadi sisi gelap yang tidak banyak diungkapkan selama ini dibanding faktor sosial-ekonomi atau agama. Eksistensi perempuan pada masa kerajaan mempunyai arti tersendiri. Perdagangan perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal, yang kemudian bisa dianggap sebagai asal-usul pelacuran modern di Indonesia. Kekuasaan raja sangat besar. Seluruh yang ada di atas tanah Jawa, bumi dan kehidupannya, termasuk air, rumput, dan segala sesuatunya adalah milik Raja. 
Tak heran jika Raja memiliki banyak selir. Ada putri bangsawan sebagai tanda kesetiaan. Ada yang persembahan dari kerajaan lain. Ada pula yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan istana. Anak-anak mereka di kemudian hari akan meningkat statusnya. Sebuah kecamatan di Indramayu merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana terdekat (Terence H. Hull, 1997:2). Faktor lain adalah pembangunan jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, perkebunan, industri gula, proyek pertambangan, dsb. Tak heran kompleks-kompleks pelacuran di beberapa kota berada di sekitar wilayah proyek tersebut.

            Lagu buruk?
            Lagu yang dianggap tidak mencerminkan ”pembangunanisme” di Indramayu sesungguhnya pernah merebak pada dekade 1990-an, yakni pada lagu-lagu daerah berirama tarling-dangdut. Meski tak ada kecaman pemerintah, sebagian masyarakat menganggap syair lagu-lagu ciptaan Yoyo S. maupun Thorikin tersebut bermutu rendah, vulgar, dan menjurus pada pornografi. Lagu-lagu seperti Barang Bunder Gatel (barang bundar gatal), Bapuk (dikonotasikan amba-empuk, lebar dan empuk), Dewa (dikonotasikan gede-dawa, besar dan panjang), Pengen sing Gede (pengen yang panjang), Rangda Angetan (janda masih hangat). Bahkan ada lagu berjudul Tolde, yang diasosiasikan bentuk kelamin lelaki. Lagu lain yang dianggap ”mengganggu” adalah Mabok Bae, yang seakan-akan mencerminkan Indramayu sebagai daerah mabuk.
            Pencipta lagu memang menyukai hal-hal yang bersifat sensasional dan instan, karena massa juga menyukai hal-hal sensasisonal dan instan. Meski cenderung ringan dan mengarah pornografis, ada semacam ”alibi” dari pencipta lagu, bahwa lagu-lagu tersebut hanyalah sebagai ”daya tarik” yang esensinya justru bukan pornografis. Lirik tersebut hanya ”pembungkus” yang justru esensinya bertemakan nasehat dan ajakan kebaikan.
Lagu Barang Bunder Gatel ternyata singkatan angkutan umum jurusan Jatibarang-Kedokanbunder-Rawagatel. Bapuk hanyalah nama makanan rumbah karo krupuk (urab dan kerupuk), Dewa singkatan beli gemede-berwibawa (tidak sombong, tetap berwibawa), Pengen sing Gede dilanjutkan sing gede kasih sayange (yang besar kasih sayangnya), Tolde diartikan nyantole sing gede (saat sawer, cantolkan/berikan uang yang besar untuk penyanyi). Rangda Angetan dikategorikan lagu humor, karena baris terakhirnya berbunyi semono gah guyonan (segitu hanyalah guyon). Lagu Mabok Bae,  ekspresi keprihatinan seorang istri terhadap suaminya yang suka mabuk-mabukan.
Indramayu yang –memiliki sisi hitam-- kemudian oleh pemerintah setempat diupayakan untuk di-”putih”-kan dengan visi religiusnya, tampak mengalami benturan-benturan ideologis pada kasus lagu ”Indramayu”. Bukan hanya ideologi seni ataupun pembangunanisme, juga termasuk idelogi kapitalisme dan pasar yang menjadi latar penciptaan sebuah lagu beraliran populer. Ini menyiratkan sebuah dunia terbuka di era globalisasi, termasuk di Indramayu, yang ditandai dengan makin meningkatnya benturan-benturan ideologis, sebagaimana diprediksi para futurolog.
Aksi sweeping yang dilakukan seharusnya merupakan eksekusi dari keputusan hukum yang, misalnya, melarang lagu (kaset) itu beredar. Tanpa kekuatan hukum yang jelas di negara hukum ini, akan  menjadi preseden buruk bagi dunia seni dan karya cipta. Hanya dengan pandangan subyektif dan selera, orang atau kelompok akan dengan mudah melakukan pemberangusan dan sweeping terhadap sebuah karya cipta.
Lagu ”Indramayu” ciptaan Endang Raes memang bisa ditafsirkan sebagai citra buruk Indramayu dalam pandangan moralitas, tetapi bagaimana dengan pandangan dan keputusan hukum? Lalu, bagaimana dengan beberapa lagu daerah yang selama ini beredar di Indramayu, yang juga banyak mengeksploitir wanita yang tak berdaya, nelangsa, kawin-cerai muda, posisi laki-laki demikian kuat? Apakah tema seperti itu juga tidak termasuk memperburuk citra Indramayu?***

Penulis, pemerhati sosial-budaya, mantan ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik