Oleh SUPALI KASIM**
Pergulatan untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup dalam komunitas pesisir di Kabupaten Indramayu berlangsung cukup keras. Ombak, gelombang, angin, dan badai tak hanya terjadi di lautan sebagai penghambat laju nelayan mencari nafkah. Di daratan, pergulatan tampak lebih seru dengan mengetengahkan tema persoalan lebih kompleks, dari masalah sosial, budaya, ekonomi, hingga tarik-menarik politik praktis.
Secara kuantitas, keberadaan masyarakat yang berada di pesisir dan menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan di Kabupaten Indramayu cukup besar. Kaum nelayan berjumlah sekitar 30% dari 1,6 juta penduduk Indramayu atau sekitar 480.000 jiwa. Sumbangan dari sektor tersebut untuk pendapatan asli daerah (PAD) juga cukup signifikan, yakni sekitar 15%. Meski demikian, sekitar 95% dari jumlah nelayan berada di garis kemiskinan, sedangkan yang 5% lagi adalah para juragan pemilik perahu/kapal 1).
___________________________
*) Makalah pada Diskusi bertema “Budaya Pesisir”, kerjasama Harian Kompas dengan STAIN
Syech Nurjati Cirebon, 24 Pebruari 2010 di Aula STAIN Syech Nurjati Cirebon.
**)Pemerhati sosial-budaya
1) Hasil wawancara dengan seorang Kasi di Diskanla Kab. Indramayu, 15 Pebruari 2010.
Kemiskinan kultural cukup mendominasi, karena sikap hidup yang konsumtif serta terlilit lintah darat. Akan tetapi kemiskinan struktural juga tak bisa dipandang sebelah mata, yakni karena kurangnya keberpihakan pemerintah ataupun bank. Saat Orde Baru, dalam struktur pemerintahan pusat tak ada Departemen Kelautan dan Perikanan. Bidang itu berada di bawah Departemen Pertanian. Secara political will, pemerintah tidak melakukan keberpihakan meskipun luas wilayah Indonesia lebih banyak lautan dibanding daratan, dan jumlah nelayan cukup besar. Nelayan juga dibebani sekitar 12 surat ijin untuk melakukan pelayaran, yang masing-masing surat seringkali masa berlakunya berbeda. Permodalan atau pinjaman dari bank juga tak berpihak, karena usaha kapal/perahu dianggap tidak memiliki prospek yang pasti. Kapal/perahu tak bisa menjadi agunan 2). Di era reformasi, memang ada Depkanla. Otonomi daerah juga melakukan regulasi dengan menggratiskan segala jenis perijinan melaut.
Keberadaan KUD tak mampu “bersaing” dengan pengijon, karena keterbatasan modal. Pengijon boleh dikatakan mendominasi sekitar 70% modal bagi nelayan/juragan. Mereka juga dengan cepat segera melayani, kapanpun dan di manapun.
Belajar pada alam
Selama ini nelayan sangat arif belajar pada fenomena alam sebagai bagian untuk tetap survive. Tradisi menjadi pecilen berlangsung secara turun-temurun, yang membuat stamina tubuh nelayan menjadi kuat dan tahan cuaca. Pecilen adalah sebutan nelayan anak-anak (usia 12 tahun ke bawah) yang tugasnya selain sebagai pembantu, juga menjadi “patok-patok” yang dijeburkan ke tengah samudera sambil memegang jaring yang ditebar. Pecilen seakan-akan menjadi sistem kawah candradimuka bagi kader-kader nelayan dengan menggodok fisik, psikis, pengenalan lautan, dan apresiasi betapa kerasnya pekerjaan para orangtua.
__________________________
2) H. Mustakim (Ketua KUD Mina Sumitra), makalah “Mengapa Nelayan Jaman sampai Jaman Usia 53 Tahun Hidup di Alam Merdeka Masih Tergolong Masyarakat Miskin”, 2000
Penghayatan semacam itu menghasilkan komunitas yang memahami arti alam sebagai lahan nafkah, berat dan kerasnya pekerjaan, dan terciptanya rasa kesetiakawanan dan kegotongroyongan. Aktivitas kiteng, misalnya, yang merajut kembali atau menambal jaring yang sobek berlangsung dengan penuh tanggungjawab dan gotong-royong di daratan. Selama seharian penuh, hanya diberi makan dan tak ada upah dari majikan, karena sobeknya jaring adalah tanggungjawab bersama.
Keterampilan mencari arah mata angin berlangsung dengan bantuan bintang di langit (astronomi). Tak ada alat kompas atau navigasi modern. Alam seakan-akan telah memberikan segala-galanya untuk menunjukkan arah ke tempat berkumpulnya ikan, atau ke tempat perlindungan dari badai di antara pulau-pulau kecil, arah berangkat atau pulang. Bahkan saat gelombang besar, hujan, dan halilintar seringkali diajak untuk berdialog dan bercanda. Di situ ada penyatuan (kemanunggalan) antara manusia dengan alam, ketika dalam diri manusia sudah menyerahkan dan menerima apa yang diperoleh dan diberikan kepada alam.
Implementasi keterampilan pada era kini juga merambah pada bidang lainnya, seperti halnya industri. Tumbuhnya industri pembuatan perahu/kapal, pembuatan ikan asin, hingga rumah makan ikan bakar merupakan hasil akulturasi yang kreatif. Adanya home industry batik di Desa Paoman, yang awalnya dikerjakan kaum istri yang suaminya bekerja di pelabuhan atau sebagai nelayan, juga menyiratkan hal serupa. Kerajinan tersebut diduga merupakan perembesan budaya melalui jalur laut dengan daerah Lasem, Demak, Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari motif batik Paoman yang identik dengan batik Lasem.
Pemahaman, kemanunggalan, dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya kemudian dituangkan dalam sebuah upacara adat nadran, yang melambangkan rasa syukur kepada laut yang telah memberi kehidupan yang tak pernah habis, memberi tantangan sekaligus harapan. Persembahan kepala kerbau yang dilarung ke laut melambangkan kemakmuran nelayan yang tak pernah lupa untuk mulang trima (berterima kasih) kepada yang memberi kehidupan. Pertunjukan kesenian berupa wayang kulit dengan lakon wajib Budug Basuh juga mengingatkan akan asal-usul ikan di laut, yang kemudian menjadi pendamping menu nasi dalam makan sehari-hari. Pada dewasa ini, upacara adat semacam itu tetap berlangsung dibumbui doa-doa secara Islam. Seringkali pula disikapi tak lebih sebagai bagian dari hiburan dan pariwisata.
Sebagaimana wong Dermayu-Cerbon, apresiasi terhadap kesenian berlangsung secara kontinyu melalui hajatan dan upacara adat desa. Apresiasi tersebut tak hanya menempatkan kesenian sebagai hiburan belaka. Lebih dari itu daya estetika juga menjelajah hingga pemahaman akan etika, kontemplasi, dan filsafat kehidupan dari nilai-nilai kesenian tersebut. Betapa wayang kulit banyak mengetengahkan drama-sastra, filsafat hidup, dan konflik politik yang demikian menarik. Betapa tarling memberikan kaca benggala akan realitas sosial-masyarakat pada kehidupan rumah tangga, antartetangga, antarwarga, hingga liku-liku dua sejoli pedesaan. Betapa sandiwara menampilkan kilasan-kilasan fenomena dan peristiwa babad dan legenda. Tidaklah heran, jika pertunjukan kesenian menjadi kebutuhan tersendiri, apalagi bagi nelayan yang merasa kesehariannya hanya berteman dengan laut dan laut.
Jika estetika merupakan media kontemplasi sekaligus ekspresi, bisa jadi hal ini berpengaruh pada seni rupa yang diketemukan pada komunitas nelayan. Pada perahu atau kapal motor, misalnya, ekspresi tersebut sangat tampak pada pemilihan warna-warna cat yang kontras dan menyala. Hal seperti ini bisa jadi sebagai pengejawantahan ekspresi yang lugas dan bergejolak.
Keseluruhan realitas kehidupan pesisir seperti itu bisa jadi bukan hanya telah membentuk fisik dan stamina yang kuat. Lebih dari itu juga membentuk pandangan, karakter, dan kultur yang keras, pantang menyerah, lugas, blak-blakan, dan terbuka. Solidaritas kelompok juga menonjol, tetapi penerimaan terhadap pendatang juga terbuka.
Latar sejarah
Panjangnya pantai yang ada di Kabupaten Indramayu, yakni sekitar 114 km yang melintasi 12 kecamatan (Sukra, Patrol, Kandanghaur, Losarang, Cantigi, Sindang, Pasekan, Indramayu, Balongan, Juntinyuat, Karangampel, Krangkeng), sangat berpengaruh pada konstelasi kehidupan secara keseluruhan di wilayah tersebut. Antara kultur nelayan dan petani berbaur dalam pergulatan kehidupan yang dinamis. Secara historis, keberadaan nelayan di Indramayu tak bisa dilepaskan dari keberadaan muara dan pelabuhan, serta keterpengaruhan dari pendatang sejak zaman Demak. Sedangkan keberadaan petani, sangat mungkin berasal dari Mataram Sultan Agung, yakni ketika salah satu laskarnya, Wiralodra, seusai kegagalan penyerangan ke Batavia (1628-1629) diperintahkan untuk melakukan translok (transmigrasi lokal) ke wilayah Cimanuk (Indramayu) lalu menyebarkan budaya sawah.
Catatan pengelana Portugis, Tome Pires (1512) menyebutkan adanya pelabuhan dan sungai Cimanuk, serta jung-jung (perahu/kapal) yang menandaskan adanya kehidupan yang berhubungan air di wilayah tersebut. Pada kurun waktu tersebut, pelabuhan Cimanuk berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, terbukti kepala pelabuhan atau syahbandarnya adalah orang Pajajaran (beragama Hindu). Meski demikian, penduduk setempat sudah beragama Islam. Wilayah tersebut juga dipengaruhi Kerajaan Majapahit dan Palembang. Bukti peninggalan tersebut terlihat pada makam Pangeran Selawe di Desa Dermayu Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu, sekitar 500 meter dari sungai Cimanuk. Pada nisan makam tersebut bercirikan motif Surya Majapahit.
Pangeran Selawe adalah legenda penduduk setempat sebagai sebutan untuk Pangeran Guru dan 24 anak buahnya, sehingga jumlahnya 25, atau dalam bahasa Jawa-Indramayu disebut selawe. Dalam naskah Babad Dermayu, Pangeran Guru diidentikkan sebagai Arya Damar atau Arya Dillah dari Majapahit. Beberapa naskah mengenai Majapahit menyebutkan Arya Damar atau Arya Dillah adalah putra Brawijaya V atau Prabu Kertabhumi, yang ditempatkan sebagai bupati Palembang.
Pengaruh juga tampak pada beberapa daerah lain. Adanya batik Paoman di sekitar kelurahan Paoman Kecamatan Indramayu yang identik dengan batik Lasem, seakan-akan menandaskan keterpengaruhan dari daerah Jepara (Jawa Tengah) melalui hubungan antarnelayan.
Bahasa Jawa dan Sunda
Keterpengaruhan atau secara politis bagian dari suatu kerajaan/kesultanan tertentu, amat berpengaruh pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indramayu. Pengaruh Pajajaran tidak tampak, sebab wilayah Indramayu hanya dijadikan sebagai pelabuhan dengan menempatkan syahbandar yang berasal dari Pajajaran, tetapi tidak disertai dengan hegemoni politik dan budaya. Masyarakat sekitar tidak memiliki kesamaan budaya, bahasa, ataupun adapt-istiadat lainnya. Budaya, bahasa, dan adat-istiadat masyarakat lebih cenderung pada kultur Jawa.
Kultur Jawa itu bersumber pada pengaruh Kesultanan Demak, Cirebon, dan Mataram Sultan Agung. Demak dan Cirebon berkongsi dalam hegemoni politik dan syiar agama (Islam), termasuk wilayah yang sekarang disebut Kabupaten Indramayu. Keberadaan pendiri Indramayu, Raden Aria Wiralodra, dalam naskah Serat Babad Dermayu disebut-sebut sebagai utusan Demak tahun 1510 dari Bagelen untuk mematai-matai Pajajaran di pelabuhan Cimanuk. Di sisi lain, Naskah Wangsakerta menyebutkan, Wiralodra adalah laskar Mataram Sultan Agung tahun 1528-1529 dari Bagelen yang ikut menyerbu Batavia. Penyerangan dua kali yang gagal itu kemudian dievaluasi, dengan hasil karena kurangnya logistik. Wiralodra dan sejumlah penduduk dari Bagelen diperintahkan untuk bermigrasi ke wilayah Indramayu dan menanam padi. Wiralodra kemudian menjadi cikal-bakal pendiri Indramayu. Dua latar belakang tersebut tentu saja cenderung berlainan. Antara Demak dengan Mataram Sultan Agung memiliki perbedaan waktu sekitar 100 tahun. Meski demikian, dalam ilmu sejarah, kedua naskah itu tergolong sekunder yang belum bisa dijadikan rujukan utama, sebelum ada naskah primer atau artefak yang mendukungnya.
Dilihat dari penggunaan bahasa daerah hingga sekarang, tampak di Indramayu ada dua bahasa daerah, yakni bahasa Jawa (dalam Perda jabar No. 5/2003 disebut bahasa Cirebon) dan bahasa Sunda. Beberapa sumber lain mengidentifikasi apa yang disebut bahasa Cirebon adalah bahasa Jawa dialek Cirebon-Indramayu, artinya bahasa Cirebon identik dengan bahasa Jawa. Bukan bahasa daerah yang berdiri sendiri atau bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa.
Bahasa Sunda yang berkembang di Indramayu digunakan oleh sekitar 5% penduduk Indramayu. Secara garis besar bahasa Sunda digunakan dikarenakan:
a. Berasal dari garis keturunan yang berasal dari daerah Pasundan, misalnya masyarakat Blok Karangjaya Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan.
b. Berasal dari hubungan sosial atau garis keturunan pada masyarakat yang berada di perbatasan Kabupaten Indramayu dengan kabupaten lain yang berbahasa Sunda, misalnya pada sebagian masyarakat di Kecamatan Gantar, Haurgeulis, dan Terisi.
c. Berasal dari bekas wilayah Kerajaan Sumedanglarang, yang pengaruhnya hingga wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur. Meskipun di wilayah tersebut sekarang tidak berbatasan langsung dengan wilayah Pasundan, hingga kini sebagian warga beberapa desa masih menggunakan bahasa Sunda. Warga desa itu antara lain di Kecamatan Lelea (Desa Lelea dan pemekarannya, Tamansari) dan Kecamatan Kandanghaur (Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir).
Wilayah pesisir Kabupaten Indramayu yang menggunakan bahasa Sunda adalah Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandanghaur. Meski demikian kekhasan bahasa Sunda tidak tampak sekali, seperti tidak ada undak-usuk (tingkatan bahasa), beberapa kosakata berbeda dengan bahasa Sunda pada umumnya, dan cenderung dwibahasa (masyarakat sekitar bisa berkomunikasi dengan bahasa Sunda dan Jawa-Dermayu).
Masyarakat termiskin
Realitas secara sosial-ekonomi, nelayan senantiasa diidentikkan sebagai the poorest on the poor (masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat miskin lainnya). Meskipun demikian, komunitas masyarakat lain selalu bertanya-tanya, bukankah penghasilan nelayan cukup lumayan bila dibandingkan dengan petani, misalnya. Dalam hitungan nominal, penghasilan petani lebih rendah dibandingkan nelayan.
Secara ekonomi, mungkin benar, tetapi secara sosial gaya hidup petani cenderung penuh perhitungan yang matang, bahkan cenderung irit, medit, dan kucrit (kikir dan kikir sekali). Pada dekade 1960-an hingga 1970-an di Kabupaten Indramayu, bingkai pemikiran petani selalu didominasi oleh realitas bahwa panen padi hanya bisa berlangsung sekali dalam setahun. Itupun jika berhasil. Artinya sebuah kegembiraan atau ritual pesta panen dalam komunitas petani hanya bisa digelar dalam jangka waktu antara satu sampai dua bulan saja (hajatan ataupun upacara adat mapag sri). Dalam bahasa percakapan sehari-hari, ada kalimat parikan, “pindang blanak pasar senen, mangan enak mumpung panen”.
Dua bulan makan enak. Sepuluh bulan lainnya adalah hidup dengan style yang irit, medit, hingga kucrit. Apalagi jika bulan-bulan seusai musim tanam padi, yang disebut paila (sikap prihatin karena ketiadaan bahan pangan). Saat itu persediaan padi mulai menipis, musim hujan sedang deras-derasnya, pekerjaan nyaris tak ada, sedangkan musim panen masih lama.
Sikap prihatin kemudian menjadikan kultur petani penuh dengan perhitungan matang. Untuk makan sehari-hari, misalnya, bahan baku harus diupayakan secara mandiri. Sayuran dan rempah-rempah cukup dari pekarangan. Ikan dari kali atau balong. Tak ada ikan, yang lainnya pun jadi, seperti welut (belut), kraca (keong kecil), bahkan yuyu (ketam). Bahan baker cukup dari hasil rencek (mencari patahan-patahan kayu atau ranting pohon di pekarangan). Dulu, ada juga yang menggunakan dedak (kulit gabah) hingga kotoran sapi atau kerbau yang sudah dijemur.
Kultur petani seperti itu memang cukup kontradiktif dengan nelayan, yang menganggap musim panen adalah setiap waktu, setiap pulang melaut. Karena “panen” setiap waktu, seringkali “pesta” pun setiap waktu pula. Seringkali pula tak sempat berpikir bahwa dalam setahun ada musim yang tak bersahabat, yakni musim baratan (angin berhembus sangat kencang dari arah barat, menimbulkan gelombang besar disertai hujan bahkan badai) dan timuran (suasana yang serupa, tetapi angin dari timur). Saat itu nelayan tak bisa melaut, karena hujan terus-menerus, gelombang cukup besar disertai angin atau badai. Dalam situasi seperti itu, ketika perut harus diisi, barang apapun yang dimiliki akhirnya harus dijual. Ada istilah cul dayung adol sarung (lepas dayung, terpaksa menjual sarung), karena kepapaan saat musim paceklik bagi nelayan.
Panorama seperti itu bisa jadi hanya masa lalu yang sudah berlainan dengan situasi masa sekarang. Bisa jadi kultur “suka pesta” juga ada pada kaum petani masa kini. Bisa jadi pula kultur ”suka irit” juga ada pada kaum nelayan masa kini. Yang tampak sekarang, tak sedikit nelayan yang mampu melepaskan diri dari lilitan kesulitan ekonomi. Mereka mampu menjadi juragan yang memiliki belasan kapal dan membawahi ratusan bidak (anak buah kapal). Harga kapal tersebut berkisar Rp 1,5 miliar / unit.
Pada akhir dekade 1970-an teknologi mesin merasuki dunia nelayan. Dayung dan perahu layar sudah tergantikan mesin. Musim baratan atau timuran nyaris bukan lagi halangan untuk melaut. Kesejahteraan pun relatif meningkat. Adagium cul dayung adol sarung tak ada lagi. Pergulatan menaklukkan lautan seakan-akan sudah mencapai hasilnya. Apalagi keberadaan koperasi juga ikut menunjang kesejahteraan. Upacara adat sedekah laut atau nadran, yang sudah berlangsung secara turun-temurun sebagai rasa syukur terhadap Sang Pencipta yang telah menghamparkan lautan dan memberikan kehidupan kepada nelayan, sejak dekade tersebut makin meriah.
Nadran tetap mengetengahkan pertunjukan kesenian wayang kulit, tetapi pertunjukan lainnya juga diadakan hingga 3 hari 3 malam atau bahkan 7 hari 7 malam, seperti kesenian tarling, sandiwara, dangdut, genjring akrobat, sintren, juga turnamen sepakbola, balap perahu, dan panjat pinang. Di luar acara adat tahunan, ada pula pergelaran bulanan pada saat bulan purnama, yakni kesenian dongbret. Kesenian itu berupa tetabuhan perkusi, lagu, dan tari yang cukup menghibur. Belakangan pertunjukan tersebut dilarang, karena cenderung ke arah perbuatan asusila, karena panari perempuan bisa ditarik ke luar arena oleh penonton yang menyawer dan melakukan tindak kurang senonoh (penari bisa diciumi). Dongbret kemudian diolok-olok sebagai sebelendong olih njambret (satu belendong uang, bisa untuk menyeret penari perempuan ke tempat gelap).
Di sisi lain sesungguhnya karakteristik nelayan terbentuk oleh pandangan hidup yang “musim panen setiap hari”, kebiasaan hidup yang konsumtif dan suka pesta, serta menggampangkan berhutang. Ada anggapan rezeki dari laut ibarat jenggot. Dipangkas pagi, sore tumbuh kembali. Dipangkas sore, pagi tumbuh kembali. Jadi, mengapa harus menyimpang/menabung uang berlama-lama. Padahal realitas sesungguhnya, kehidupan secara sosial-ekonomi tak sedikit yang sudah dicengkeram para tengkulak dan ijon. Seringkali modal perbekalan melaut adalah hasil hutang, bahkan ada juga yang jaringnya adalah hasil hutang. Hal ini berpengaruh pada harga dari hasil tangkapan, yang amat ditentukan oleh tengkulak atau ijon tersebut, dengan harta di bawah standar.
Fenomena seperti itu ditengarai sebuah kesengajaan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Kekuatan ekonomi rakyat harus dipreteli dengan kebiasan boros dan suka pesta. Karakteristik rakyat harus dilemahkan dengan sikap suka berhutang, sebab esok pagi masih ada laut yang melunasinya. Kesenian dongbret dipresentasikan secara negatif untuk melemahkan sisi psikologis masa remaja para nelayan dan cenderung merusak dapur rumah tangga. Tengara ini tentu harus lebih dipertajam lagi dengan bukti yang lebih valid.
Sesungguhnya kehidupan berkoperasi bagi nelayan di Kabupaten Indramayu sudah dikenal sebelum pra kemerdekaan. Pada dekade 1920-an koperasi berdiri di Desa Dadap Kecamatan Juntinyuat. Hal serupa juga di Desa Eretanwetan Kecamatan Kandanghaur, misalnya. Koperasi nelayan di desa tersebut berdiri tahun 1926. Piagam dan Panji sebagai koperasi tertua itu diberikan Menteri Perikanan RI tanggal 6 April 1965. Di desa tersebut pada tanggal 26 Mei 1926 didirikan Koperasi “Boemi Poetra”, kemudian berubah nama menjadi Koperasi Tijang Boemi Pendetan Oelam “Misaya Mina” pada tanggal 26 Mei 1931. Istilah koperasi berubah sesuai peraturan pemerintah pusat, yakni menjadi Koperasi Perikanan Indonesia (KPI) “Misaya Mina” pada tanggal 16 September 1961, lalu pada tanggal 2 September 1968 menjadi Koperasi Perikanan Laut (KPL) “Misaya Mina”, kemudian tanggal 28 September 1985 menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) “Misaya Mina. Nama KUD kini kembali lagi menjadi KPL. 3)
__________________________________
3) lihat profil singkat KUD Misaya Mina Eretan
Pola yang sama tampaknya juga tak jauh berbeda dengan koperasi nelayan lainnya, seperti di Desa Karangsong, Brondong dan Singaraja Kecamatan Indramayu, Glayem dan Dadap Kecamatan Juntinyuat, serta yang lainnya.
Sistem ekonomi model koperasi tampaknya sebagai jawaban gerusan tengkulak yang juga berperan sebagai pengijon. Meski demikian praktek ijon tidaklah serta-merta lenyap dengan adanya koperasi. Fenomena hingga sekarang tampak praktek koperasi berjalan, tetapi lintah darat pun tetap hidup. Akibat masih merebaknya lintah darat tersebut, harga ikan menjadi rendah karena harga dikendalikan dan terserah kemauan tengkulak yang merangkap pengijon. Realitas seperti ini tentu saja bukan hanya terjadi pada kaum nelayan, tetapi juga pada profesi lainnya seperti petambak ataupun petani semangka.
Karakter dan kultur komunitas pesisir yang keras dalam bekerja tetapi lemah dalam cengkeraman tengkulak, justru dalam pemikiran politik tidak mudah dikendalikan secara pragmatis. Ada semacam pandangan, dalam hal berpolitik (praktis) mereka memiliki wilayah kebebasan untuk memilih. Berbagai bendera parpol (dan caleg) yang dipasang di tiang perahu/kapal menyiratkan adanya kedewasaan dan kebebasan dalam memilih. Hal ini berbeda dengan kultur petani, pedagang, dan pegawai negeri yang justru mudah ditekan dan digiring oleh elit penguasa ke parpol tertentu. Hasil Pemilu dan Pilpres lalu suara terbesar dari komunitas ini diberikan kepada partai yang berslogan membela wong cilik. Hal ini menyiratkan adanya ekspresi sekaligus obsesi keberadaan mereka yang cenderung sebagai wong cilik agar diperhatikan oleh penguasa.
Badai di daratan
Jika badai di lautan bisa dihindari atau dilawan, justru menghadapi badai di daratan justru mereka terkapar. Fisik yang prima, jiwa yang mandiri, pemikiran yang bebas, justru tak mampu menghadapi cengkeraman lintah darat berjubah tengkulak. Beberapa prosen memang mampu dihadapi secara bersama, termasuk peran koperasi, seperti pemberian modal untuk perbekalan melaut, sistem dana paceklik yang dibuka saat nelayan tak mampu melaut, dan sisa hasil usaha (SHU) yang dibagikan tiap tahun. Akan tetapi, prosentase itu tak cukup menghadapi pemodal dari para tengkulak yang nilainya jauh lebih besar dan mudah dihubungi.
Di sisi lain, kebebasan mereka seringkali juga tidak berpikir untuk jangka panjang dan cenderung disalahtafsirkan. Ada kalanya mereka bersikap mbalelo dan sekarep dewek (seenaknya sendiri). Ketika diberi modal oleh koperasi, justru menjual ikan ke koperasi lain di daerah lain, atau tengkulak karena “gali lubang tutup lubang”. Ada kalanya pula mendarat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) daerah lain, karena di tempat tersebut disediakan hiburan berupa kesenian dongbret, seperti halnya di beberapa KUD Kabupaten Subang (Blanakan dan Ciasem). Konon mereka merasa dihargai dan dihormati sebagai pekerja dan sebagai lelaki oleh pengurus KUD dan awak dongbret tersebut. Cara menarik nelayan dengan sistem seperti itu tampaknya suatu kesengajaan, karena di daerah tersebut relatif tak memiliki nelayan, tetapi banyak menarik nelayan dari daerah lain (Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal).
Satu hal yang sulit terbantahkan kini adalah perbedaan yang jauh antara hasil tangkapan ikan oleh kapal dari dalam negeri (Indramayu, dsb.) dengan kapal dari luar negeri (Thailand, Filipina, Korea, dsb.), meskipun beroperasi di lautan yang sama. Di kapal luar negeri tersebut tak sedikit yang berasal dari Indramayu sebagai anak buah kapal (ABK) dengan penghasilan sekitar Rp 4 juta/bulan. Penghasilan tersebut cukup besar jika dibandingkan bekerja di kapal dari desa sendiri. Sistem penghasilan dari kapal desa sendiri berdasarkan hitungan tradisional, yakni hasil keseluruhan dikurangi modal perbekalan, kemudian sisanya dibagi 40% untuk juragan dan 60% untuk pekerja (komposisinya 2 bagian untuk nakhoda, 1,5 bagian untuk juru mesin, dan 1 bagian untuk ABK atau bidak). Sistem bagi hasil seperti ini seringkali berjumlah sedikit bagi nelayan, karena hasil tangkapan yang berkurang.
Fenomena sekarang tak sedikit nelayan yang bekerja untuk kapal asing, dengan wilayah tangkapan seluruh dunia, termasuk di perairan Indonesia. Kapal asing sudah memanfaatkan teknologi canggih sehingga selalu memperoleh hasil tangkapan yang lumayan. Dari segi sumber daya manusia, nelayan Indramayu dapat diandalkan karena fisik, psikis, keterampilan, dan kecintaan mereka pada laut sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak. Di sisi lain disiplin yang diterapkan kapal asing juga berpengaruh untuk mengikis ruang-ruang kemalasan, sikap mbalelo, dan kebebasan menurut diri-sendiri. Secara reward, sistem gaji bulanan ternyata bagi mereka lebih menguntungkan.
Kalaupun di daerah-daerah nelayan dan pesisir kini terlihat kehidupan ekonomi yang tetap menggeliat, tampaknya bukan hanya karena penghasilan nelayan yang bekerja di kapal-kapal asing. Para perempuan (gadis, janda, atau berstatus istri) ternyata tak tinggal diam. Tak sedikit yang bekerja sebagai TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Hongkong) sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Meski seringkali berimplikasi sosial dan budaya yang negatif, semacam penyiksaan atau pemerkosaan majikan, gaji tak dibayar, terkena hukuman, hilang tanpa kabar, rumah tangga berantakan, terkena sakit, hingga kematian, tampaknya itulah jalan yang dipilih sebagai bagian dari pergulatan kehidupan.
Pergulatan untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup memang berlangsung keras. Ketika badai di lautan mampu dihindari atau dilawan, ternyata badai di daratan lebih dahsyat. Badai pun tidak pasti berlalu.
Indramayu, 16 Pebruari 2010
Disampaikan dalam Diskusi Budaya, diselenggarakan Harian Kompas
di UIN Syekh Nurjati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar