Laporan SUPALI KASIM
Tentu tidak semata-mata berdasar pada asumsi Plato (428-348 SM) yang menyatakan Atlatis, benua yang hilang itu, ternyata berada di paparan Sunda. Secara arkeologis, penemuan kompleks situs percandian di Batujaya, Karawang, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-4 dan 5, juga merangsang pemikiran adanya peradaban kerajaan yang lebih tua dari Borobudur .
Konferensi yang membahas kebudayaan Sunda --terutama alam, sejarah, filsafat—mau tak mau terbagi dalam dua pemikiran, antara fenomena benua Atlantis dengan situs percandian Batujaya. Sebuah pembahasan yang cukup melelahkan, terutama karena di satu sisi bagaimana menguraikan secara ilmiah adanya benua Atlantis yang diperkirakan Dr. Frank Joseph Hoff (Atlantis Publication, Inc.) dan Prof. Dr. Stephen Oppenheimer ( Oxford University ), ada di paparan Sunda. Pemikiran itu justru bersumber dari kebijakan filsuf Plato ribuan tahun yang lalu, yang mungkin saja hanyalah mitos.
Di sisi lain suatu tema yang berbeda, yakni hasil penelisikan Dr. Hasan Jafar, arkeolog UI, tentang situs percandian. Peserta sebanyak 6 bus mengunjungi langsung ke Batujaya untuk melakukan apresiasi terhadap candi-candi yang terbuat dari batu-bata. “Kalau selama ini ada anggapan candi yang terbuat dari batu lebih tua umurnya, situs ini telah membantah pendapat itu,” ujarnya menjelaskan sambil berkeliling ke situs candi.
Candi tersebut bukanlah kuburan, melainkan tempat ibadah agama Buddha Mahayana pada waktu Kerajaan Tarumanagara. Sisi-sisi peradaban ditunjukkan candi itu, seperti adanya sestem aliran air, batu beton, maupun teknologi pembakaran batu-bata. Dubes RI untuk Unesco, Dr. Tresna Dermawan Kunaefi mengaku terharu dengan situs yang menunjukkan adanya peradaban dan juga asal-usul kehidupan orang Sunda tersebut. Demikian pula sambutan yang dilakukan Ketua STSI Arthur S. Nalan maupun penyanyi Ully Sigar Rusady.
Tradisional dan ilmiah
Meski demikian, dalam perspektif yang lain, pencarian dan penemuan jatidiri sejarah senantiasa memiliki pandangan yang lain. Hal ini tentu saja sesuatu yang lumrah ketika memandang jatidiri Sunda bersumber pada perspektif yang digolongkan bersumber dari sejarah lisan. Pemaparan budayawan dan peneliti falsafah Sunda, Hidayat Suryalaga, wakil gubernur Dede Yusuf, maupun masukan dari seorang peserta, Samsul Bahri dari komunitas Sunda Nusantara, mengindikasikan hal itu.
Hal yang berbeda ditanggapi ilmuwan Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. (Ketua Komnas untuk Unesco), Prof. dr. Edi Sediawati (guru besar arkeologi UI), dan Dr. Junus Satrio Atmodjo, M.Hum (Direktur Kepurbakalaan Kembudpar). Kata Edi Sediawati, di satu sisi ada budaya nasional yang menjadi milik bersama, tapi kita juga harus mengawal budaya daerah. Bukan untuk unggul-mengguli dan saling mencela.
Terhadap pemikiran bahwa wilayah Indonesia adalah Sunda, bahkan seluruh dunia pun Sunda, Edi Sedyawati tak sependapat. Junus menegaskan, dulu Bujangga Manik malah sudah menguraikan adanya perbatasan Sunda dan Jawa. Bahkan budayawan Radhar Panca Dahana pada sesi yang lain menguraikan semua suku mengaku dialah yang pertama kali ada di dunia.
Arief Raman menandaskan, semua masa lalu adalah untuk kekuatan masa depan. ”Tinggal kita memilih, kearifan yang mana? Yang harus didefisinasikan kita sendiri. Unesco sudah memfasilitasi, selanjutnya Budpar,” ungkapnya.
Negeri maritim
Selain ada pandangan tradisional dan ilmiah, Radhar justru menguraikan perspektif lain. Ada gugatan ontologis, espitemologis, sekaligus aksiologis. “Adanya konferensi ini seharusnya menjadi kontemplasi, dari mana kita berasal? Di mana kita berdiri? Akan ke mana kita melangkah? Buku panduan tentang Sunda berasal dari Tarumanegara abad ke-5, itu salah. Bangsa ini tak diketemukan dari prasasti. Bangsa kita bukan berasal dari perdaban di pedalaman. Itu peradaban Arab,” katanya.
Dalam pandangannya, negeri kita bukanlah daratan (continental) tetapi negeri lautan. Sebelum ada kolonialisme yang dilakukan Aji Saka, ada penemuan kapal yang teknologinya bagus. ”Kolonielisme pertama dilakukan Aji Saka dari bangsa Aria. Berbagai cerita kemudian mengiringi, padahal itu dusta. Siapa Aji Saka? Siapa Dewatacengkar dari India Selatan? Ada kolonialisme, peradaban jadi lenyap. Padahal aku ada, karena aku berpikir,” tegasnya.
Lihatlah suku Bajo, tuturnya, yang rumahnya di laut, halamannya laut, tidur di atas laut. Mereka terbuka, egaliter, kosmopolitan, progresif, modern. Itu Indonesia. Mengenai keaslian suku, Radhar tak sependapat. Semua campuran. Tak ada yang genuine, tak ada yang unik. Tapi masakannya kemudian yang menjadi baru. ***
Supali Kasim, peserta konferensi kebudayaan Sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar