Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Temu Sastra Nusantara ke-5 di Lampung Antara Bahasa Cirebon dengan Bali




Oleh SUPALI KASIM

- Di muat di Pikiran Rakyat

Begitu turun dari panggung Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung setelah membaca puisi, seorang penyair Bali langsung menghadang saya. “Mas, mohon puisi bahasa Cirebonnya buat saya. Tadi sewaktu Mas baca di panggung, saya mengapresiasi. Saya mengerti bahasanya karena mirip dengan bahasa Bali ,” ujarnya setengah memaksa.


Puisi Kiser Ki Mardiyah yang saya baca memang berbahasa Cerbon. Sebelum naik panggung, ada perasaan apakah puisi ini dimengerti oleh publik dalam Temu Sastra Nusantara Mitra Praja Utama ke-5 ini. Yang tersembul kemudian, apakah mengerti atau tidak, paham atau tidak, yang penting bahasa Cirebon bisa ditampilkan. Nyatanya penyair dari Tasikmalaya (Nunu Nazharuddin Azhar) juga membacakan puisi bahasa Sunda, serta penyair Bekasi (Ane atau Andri S. Putra) menembangkan puisi bahasa Melayu-Betawi.

Saat pembukaan Temu Sastra Nasional Mitra Praja Utama ke-5 di Aula Bumi Keratun Kantor Gubernur Lampung, bahasa daerah juga banyak ditampilkan. Syair-syair bahasa Lampung dibacakan dan ditembangkan dengan alunan gitar dengan nada-nada kedaerahan oleh penyair tradisional. Begitu pula penyair Madura membacakan puisi berbahasa daerahnya.

Lokal-global, multikulturalisme
Bahasa daerah, juga tema-tema lokal, tampaknya menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dalam skala global. Tak heran saat diskusi di Gedung Olah Seni juga mengusung tema tersebut, yakni sesi pertama bertema lokal-global dalam sastra nusantara bersama Triyanto Triwikromo (cerpenis), Asarpin (esais daerah), dan Jajat Sudrajat (redaktur Lampung Post). Sesi kedua tentang multikulturalisme dengan Jamal D. Rahman (penyair, pemred Horison), Iswadi Pratama (sutradara teater), dan Yanusa Nugroho (cerpenis).

Sesungguhnya tema seperti itu bukan sesuatu yang baru. Sudah beberapa kali didiskusikan, sudah berulangkali diseminarkan. Tetapi setiap kali didiskuskusikan ataupun diseminarkan selalu menjadi menarik dan menuai perdebatan sengit. Kata Jajat, kekayaan lokal seringkali terabaikan. Justru bangsa asinglah yang menyimpan. ”Di Leiden, ada 18 ribu naskah tradisional dari Indonesia. Belum lagi di negara-negara Eropa lainnya. Penjajahan itu menyakitkan, tetapi mungkin juga kita bersyukur, karena dengan demikian naskah-naskah itu diamankan,” ujarnya tertawa.   

Siapa menyangka pula jika manuskrip sastra semacam I La Galigo dari Makasaar berjumlah 6.000 halaman, sesuatu yang sangat banyak dan kaya. Tetapi yang peduli justru orang Barat, dan pernah diteaterkan keliling dunia dengan sutradara dari Amerika, Robert Wilson. Penari dari Indramayu, Wangi Indriya, juga ikut sebagai salah satu pendukung.

Dokumentasi
Pentingnya memahami kekayaan cerita-cerita lokal banyak diperbincangkan Yanusa Nugroho. Bahkan saat ia bekerja di perusahaan susu dari Eropa, ia menawarkan iklan prosduk susu anak-anak agar memberikan bonus berupa cerita daerah. Tradisinya ide itu ditolak oleh direksi dari bangsa sendiri, karena dianggap citranya jelek.. ”Justru yang mendukung direksi bangsa Eropa. Akhirnya cerita rakyat jadi bonus minuman susu, dan anak-anak mengenal lingkungan daerahnya,” tuturnya.

Dalam hubungan ini, ada usulan agar setiap daerah agar membuat dokumentasi cerita rakyar atau hal-hal lain yang bersifat lokalitas. Serbuan global cukup terasa, sehingga perlu ada dokumentasi sastra daerah. ”Manfaatnya akan terasa untuk jangka waktu 5-10 tahun,” ujar peserta dari Bali.

Revitalisasi baasa daerah dan tema-tema lokalitas tampaknya bukan hanya sebagai upaya pelestarian semata. Lebih dari itu ada nilai, makna, dan kekayaan budaya. Tak heran bila Yanusa dan Triyanto dalam cerpen-cerpennya banyak mengungkap latar dan idiom lokal, tetapi tetap memiliki kualitas. Begitu pula Asarpin yang menyebut dirinya pengarang lokal, setia menulis dalam bahasa Lampung, sampai-sampai mendapat penghargaan dari hadiah sastra Rancage.

Saat akan pulang dan menunggu pesawat di Bandar Udara Radin Inten, Lampung, saya bertemu kembali dengan penyair Bali yang meminta puisi bahasa Cerbon itu. Saya kembali tanyakan dan dia kembali menjawab, ”Terus terang saya juga kaget, kok bahasa Cirebon mirip dengan bahasa Bali, ya? Ketika saya baca puisi Kiser Ki Mardiyah ini, saya mengertri artinya,” ujar penyair gendut dan berkepala botak tersebut. ***

Supali Kasim, peserta Temu Sastra Nusantara V di Lampung 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik