Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Dari Dokumen ke Monumen: Tradisi Baca Puisi di Indramayu



Catatan SUPALI KASIM

Tradisi (lomba) baca puisi di Indramayu, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari tradisi serupa di tingkat Jakarta (baca: nasional). Rendra, penyair yang kemudian dijuluki si burung merak, yang baru pulang dari Amerika pada tahun 1960-an itu, memperkenalkan dan menyebarkan virus tersebut.


Sebagai penyair sekaligus dramawan, Rendra piawai. Penampilannya memesona dan menghipnotis, seperti mengalirkan ruh yang tidak hanya melulu puisi, sastra, ataupun seni. Ruh itu adalah kebutuhan manusia, bangsa, dan rakyat Indonesia saat itu sebagai aksi, ekspresi, maupun kontemplasi. Ruh itu berdimensi pada kehidupan yang lebih luas: sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ideologi.

Tradisi baca puisi akhirnya menjadi menarik. Beberapa penyair lainnya mengekspresikan dengan berbagai cara dan nuansa. Berbagai lomba baca maupun deklamasi makin marak digelar. Ajang baca puisi bahkan menjadi semacam entertain, yang laku dijual. Meskipun tiket masuk tergolong tinggi di gedung-gedung pertunjukan, penonton antuasias mengapresiasi. Saya beruntung ikut menyaksikan pentas “Rendra Baca Puisi-puisi Cinta” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sekitar tahun 1996. Penonton membludak di lantai dua dan satu hingga tepi panggung. Melalui puisi, Rendra menyihirnya, dan penonton terdiam, hening, tersenyum, tertawa, puas. Esok harinya, lembaran-lembaran budaya di koran-koran ternama mengulasnya.


Virus baca puisi juga menyebar hingga ke kota kecil di pantai utara Jawa Barat bernama Indramayu. Sesungguhnya di wilayah tersebut, tradisi sastra yang berkembang selama bertahun-taun (mungkin juga bebada-abad) adalah sastra daerah, yakni berupa tembang macapat atau pujanggaan. Ada juga yang menyanyikan lau-lagu klasik daerah diiringi alunan seni tarling ataupun seperangkat gamelan. Unsur sastra yang tersirat antara lain parikan, wangsalan, dan pasibasa.

Lalu, baca puisi?
Agaknya puisi, jika setuju dikategorikan, merupakan genre baru dalam sastra Indonesia, yang tidak terlepas dari sosok penyair ‘si binatang jalang’, Chairil Anwar pada tahun 1940-an. Ada kebebasan dan kemerdekaan di dalamnya dalam mengekspresikan perasaan dan pemikiran si pengarang (penyair). Tidak lagi dibatasi oleh persamaan bunyi akhir (rima), jumlah suku kata dalam tiap baris, dan jumlah baris dalam tiap bait. Bahasa Chairil pun tidak lagi bernuansa kedaerahan dan mendayu-dayu seperti halnya sastra lama Melayu sebelumnya. Chairil, melalui puisi, menjadikannya sebagai bahasa yang lugas, modern, dan dinamis.

Ketika sastra genre baru itu makin digemari, dan baca puisi juga makin disukai, ada semacam perkawinan yang ideal bagi perkembangan sastra, khususnya puisi, di tanah air. Di Indramayu pada dekade 1970-an hingga 1990-an bahkan “perkawinan” tersebut tiap tahun dirayakan dengan adanya ajang berbagai lomba baca puisi. Yang paling fenomenal adalah tradisi acara “Panen Puisi”, sebuah ajang lomba baca puisi yang digagas sekelompok anak muda yang tergabung dalam Kreasi (Keluarga Remaja Pencinta Sastra Indramayu). Setiap tahun lomba digelar, dan puisi dipanen. Laiknya panen padi, karya dan pemikiran penyair Indonesia dipetik, dijemur, ditumbuk, dimasak, dan dicerna. Hampir seluruh penyair besar Indonesia dari berbagai angkatan, hadir melalui karya-karyanya.

Ajang tersebut tentu saja secara linear bukan hanya sebuah perhelatan sastra belaka. Di situ ada sebuah proses: apresiasi, sosialisasi, regenerasi, dan organisasi. Bagaimana mengapresiasi karya sastra melalui pembacaan yang dilakukan generasi, yang bahkan termasuk generasi awal dan awam terhadap sastra.  Bagaimana  karya sastra bermutu dipilah, dipilih, dan dijadikan materi lomba yang secara tak langsung sebagai upaya sosialisasi karya puisi bermutu yang akhirnya banyak diapresiasi. Bagaimana sastrawan nasional dan lokal dihadirkan melalui karya atau sebagai bintang tamu, ataupun sebagai anggota dewan juri, yang sangat mungkin menjadi ajang dialog dan berimbas pada obsesi peserta lomba. Bagaimana mengadakan dan me-menej sebuah ajang lomba sebagai sebuah seni berorganisasi yang mengukuhkan kesetiakawan, pertanggungjawaban, dan meraih visi ke depan.

“Panen Puisi”, mungkin menjadi rentetan sejarah sosial dan budaya di Indramayu. Ia menjadi ada karena suburnya daya artistik para penggagasnya, daya estetik para pesertanya, dan daya kritik materi puisi terhadap bangsa yang dicintai penyairnya. Ketiganya, tentu saja, menyampaikan kebenaran-kebenaran. Pada tataran demikian, ajang tersebut bisa jadi merupakan sebuah karakter yang mewakili zamannya dalam merespon upaya menyampaikan kebenaran sosial. Karya-karya puisi yang terkumpul dalam ajang selama bertahun-tahun bisa jadi pula merupakan “dokumen karena merupakan monumen” (document because they are monuments).  Dokumen-dokumen tersebut, yang dengan sabar, tekun, dan penuh cinta dikumpulkan penyair Yohanto A. Nugraha, dedengkot kelompok “Kreasi”, sangat mungkin merupakan monumen sastra di kota tersebut, atau bahkan Indonesia.
Paoman, 15 November 2010  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik