Oleh SUPALI KASIM
Dimuat di Pikiran Rakyat/Khazanah
Meski memiliki kekayaan sastra lisan dan sastra yang dipanggungkan, nyaris tidak diketemukan sastra Cirebon dalam bentuk penerbitan media massa maupun buku. Kalaupun ada, hanya dalam bentuk satu kolom kecil di sebuah koran atau buku yang dicetak sederhana dan terbatas. Karya sastra Cerbonan ibaratnya hanya ditulis dan didokumentasikan di rumah penulisnya, tanpa mengetahui harus bagaimana untuk diterbitkan.
Karya sastra yang dilahirkan pengarang sulit untuk dipublikasikan di media massa. Penerbitan buku juga terbentur kecilnya pangsa pasar. Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan karya sastra Sunda maupun Jawa. Beberapa majalah dan suratkabar berbahasa Sunda antara lain Mangle, Galura, Sipatahunan, Kujang, Giwangkara, Cangkurileung, Cakakak. Penerbit yang mendukung bahasa Sunda, antara lain Geger Sunten.
Penerbitan bahasa dan sastra Jawa bahkan lebih banyak lagi, seperti Mekar Sari, Jaka Lodang, Panyebar Semangat, Jaya Baya, Crita Cekak, Pustaka Roman, Kumandhang, Sekar Jagad, Gotong Royong, Cendrawasih, Ekspres, Kekasihku, Baluwerti, Dharma Kanda, Dharma Nyata, Kembang Brayan, Kunthi, Jawa Anyar, Parikesit. Penerbit buku bahasa Jawa antara lain Pustaka Jaya, Kondang, Burung Wali, Firma Nasional, Balai Pustaka.
Dukungan secara akademisi pun cukup signifikan. Perguruan tinggi yang membuka jurusan Bahasa dan Sastra Sunda, yakni di Unpad dan UPI Bandung. Sedangkan jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, antara lain UGM, UNY, UNS, dan UI.
Kondisi yang memrihatinkan ini mungkin seperti nasib Baridin dalam drama-tarling Abdul Ajib, yang cintanya ditolak mentah-mentah karena kemiskinan. Padahal sebagai pribadi, Baridin tergolong pemuda yang ulet dan tulus cintanya. Secara diam-diam, gadis yang ditaksirnya, Suratminah, juga seperti memberikan harapan. Sampai-sampai, guna-guna berupa ”kemat jaran guyang” pun dilakukan untuk menundukkan gadis pujaan itu.
Wilayah kultural
Wilayah kultural Cirebon secara geografis memang tidak begitu luas. Di antara 26 kabupaten/kota di Jawa Barat, hanya tiga daerah yang bernuansa budaya Cerbonan, yakni meliputi Kota Cirebon, Kab. Cirebon, dan Kab. Indramayu. Wilayah lainnya adalah bagian utara Kab. Majalengka, juga sebagian wilayah utara Kab. Subang dan Karawang. Jika ditelisik lebih dalam, komunitas yang menggunakan dan memahami bahasa Cirebon di Kota Cirebon mungkin sekitar 80%, Kab. Cirebon sekitar 75%, dan Kab. Indramayu sekitar 95%.
Selama bertahun-tahun penggunaan bahasa Cirebon teraktualisasikan lewat hubungan sosial-kemasyarakatan, lembaga pemerintahan, pendidikan formal, dan pesantren, maupun dalam kesenian. Hal ini menunjukkan adanya ekspresi bahasa yang memang berbeda. Sastra Cirebon juga menunjukkan adanya esensi yang mengusung nilai-nilai kebahasaan yang spesifik. Untung Raharjo (2005) mencatat adanya kakawen, kidung, gugon tuwon, jawokan (abad 15-17), macapat, perlambang/pralampita, sandisastra, sasmita, panyandra (abad 18-19), wangsalan, parikan, paribasa, sanepa, ukara sesumbar, basa prenesan, basa rinengga/rineka,. (abad 19-20), macapat, geguritan, cerpen, puisi bebas (1950-sekarang).
Aktualisasi melalui media massa memang sulit. Suratkabar lokal yang terbit di Cirebon dan Indramayu hanya menyediakan kolom kecil berupa “guyonan” maupun “pojok” yang ditulis redakturnya. Sisipan dari media lain mulai ada, tetapi itupun terbatas. Sesekali memang muncul puisi Cerbonan.
Untuk penerbitan buku, nasibnya tak jauh berbeda. Buku kumpulan puisi karya Ahmad Syubbanuddin Alwy dkk dalam Susub Landep (2008), Nguntal Negara (2009), Gandrung Kapilayu (2010) yang dicetak sederhana dan terbatas oleh Yayasan Dewan Kesenian Cirebon, lebih bertujuan sebagai naskah lomba baca puisi. Buku kumpulan puisi Nurochman Sudibyo, Blarak Sengkle (2007), Godong Garing Keterjang Angin (2008) dan Bahtera Nuh (2009) dicetak lebih sederhana lagi dan seperti dokumen pribadi. Ada pula karya cerpen Made Casta dan puisi Ahmad Syubbanuddin Alwy dalam buku Wulan Seduwuring Geni, tetapi terbit bersama karya sastra daerah lain.
Selama ini karya bahasa maupun sastra lebih banyak menjadi dokumentasi pribadi penulisnya. Sesungguhnya jumlah penulis bahasa atau sastra cukup banyak, sebut misalnya Salana, Kartani, TD Sudjana, Askadi Sastra Suganda, Nurdin M. Noer, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Sumbadi Sastra Alam, Made Casta, Akim Garis, Masduki Sarpin, Sadiyana, Mansyur, Abdul Ajib, Sunarto Marta Atmaja, Subagio Madhari, Dino Syahrudin, Fathan Mubarok, Jay Ali Muhammad, Chaerul Salam, Untung Raharjo, Roji Hidayat, Mudaim, Syaufah (Cirebon), Warnali, Daro’uf, Sulistijo, Abdul Kosim Muin, Darijo, Tatang Sutandi, Durokhim, Samir Sulanjana, Musa Nurhadi, Yugo Hadi Saputra, Dasuki, Tasman, Supali Kasim, Saptaguna, Nurocman Sudibyo (Indramayu).
Ekspresi seni
Sesungguhnya aktualisasi melalui seni pertunjukan terlihat lebih hidup. Ungkapan sastra melalui wayang kulit ataupun wayang golek cepak/menak sangat berlimpah. Cerita Sastra dalam bentuk sejarah dan babad diungkap seni sandiwara. Sastra kontemporer dalam drama-tarling bermunculan, seperti dalam cerita Saida-Saeni, Baridin-Ratminah, Bayem Kakap, Gandrung Kapilayu, dsb.
Lagu-lagu populer tarling juga menunjukkan berlimpahnya unsur sastra dalam geregap yang tak putus-putus. Pencipta sekaligus pelantun tembang tarling mengambil diksi-diksi dari idiom-idiom sastra daerah. Lahirlah lagu-lagu khas, seperti Gugur Cita-cita, Temon, Warung Pojok, dsb (Abdul Ajib), Saumpama-saumpami, Berag Tua, Melati Segagang, dsb (Sunarto Marta Atmaja), Sepasang Manuk Dara, Cibulan, dsb (Dariyah), Kawin Paksa, Nambang Dawa, dsb (Udin Zhaen), Kapegot Tresna, Pihak Ketiga, dsb (Yoyo Suwaryo), serta ribuan lagu lainnya.
Kemunculan sastra Cerbon mutakhir tampaknya ditandai oleh menguatnya rasa primordialisme Cerbon-Dermayon yang memang memiliki perbedaan dengan sastra daerah lain. Tak bisa dipungkiri, memang ada pengguna bahasa dan sastra Cirebon. Mereka dengan jelas membutuhkan media ungkap untuk mewakili ekspresi kulturalnya.
Perda No.5/2003
Meski penggunaannya dalam masyarakat sudah bertahun-tahun, pemerintah melakukan pengakuan secara formal melalui Perda Jabar No. 5/2003 tentang bahasa, sastra, dan aksara daerah di Jawa Barat, yang menegaskan perbedaan linguistik dan kultural daerah Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi. Secara spesifik, instansi semacam Disparbud dan Disdik (melalui Balai Pengembangan Bahasa Daerah dan Kesenian alias Balai Bahasa) Provinsi Jawa Barat pun sudah seharusnya berorientasi pada Perda tersebut.
Disparbud melalui program tahunan lomba cipta puisi ataupun lomba baca puisi Cirebon, lokakarya sastra Cirebon, hingga kongres Basa Cerbon setiap empat tahun berupaya mengaktualkan Perda tersebut. Begitu pula Balai Bahasa melalui program pelatihan guru bahasa daerah dan lomba bahasa dan sastra Cirebon.
Upaya lain adalah memfasilitasi penerbitkan buku ajar dan buku penunjang bahasa Cirebon di sekolah. Beberapa karya sastra Cirebon, seperti puisi, cerpen, cerita babad, wangsalan, parikan, naskah drama, naskah film, direncanakan akan diterbitkan. Balai Bahasa juga akan lebih elegan, jika program lainnya beradaptasi dengan Perda tersebut, seperti adanya anjangsana sastrawan Cirebon ke sekolah, bimbingan teknis (bintek) tarling, TOT (training of trainer) bahasa, sastra, dan seni daerah Cirebon.
Keprihatinan lembaga dunia yang menangani pendidikan dan kebudayaan, Unesco, akan ancaman kepunahan terhadap bahasa daerah, seharusnya menjadi perihatinan bersama. Dari sekitar 6.000 bahasa daerah di dunia, sudah sekitar 3.000 di antaranya mengalami kepunahan. Oleh karenanya karya sastra jawokan berupa kemat (guna-guna) jaran guyang seperti yang dilantunkan Abdul Ajib dengan meratap perih, akan lebih tepat jika syairnya begini:
Niat isun arep maca kemat jaran guyang / dudu ngemat-ngemat tangga / dudu ngemat wong liwat ning dalan / sing tek kemat pemrentah provinsi lan daerah / uga masyarakat Cerbon, Dermayu, lan sekitare sing duwe kabudayan sing jumblahe lelantakan / yen lagi turu gage nglilira / yen wis nglilir gage njagonga / yen wis njagong gage ngadega / mlayua wewara ning wong sekabeh sedalan-dalan / teka welas teka asih / basa lan sastra Cerbon butuh welas asih saking badan kula sedaya.
SUPALI KASIM, Wakil Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC)
*terjemahan: Saya berniat akan membaca guna-guna “jaran guyang” / bukan mengguna-guna tetangga / bukan mengguna-guna orang yang lewat di jalan / yang saya guna-gunai pemerintah provinsi dan daerah / juga masyarakat Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya yang memiliki kebudayaan yang jumlanya banyak / jika sedang tidur cepatlah bangun / jika sudah bangun cepatlah duduk / jika sudah duduk cepatlah berdiri / berlarilah memberitahu kepada semua orang sepanjang jalan / datanglah rasa sayang datanglah rasa kasih / bahasa dan sastra Cirebon membutuhkan kasih-sayang dari kita semua. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar