Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Potret SD di Pelosok Indramayu: Perspektif Sosio-kultural


Oleh SUPALI KASIM












GAMBARAN lembaga pendidikan (sekolah) era kini di Indramayu tak bisa dilepaskan dari perspektif sosio-kultural masa lalu, yang dimulai dari “politik balas budi” imperialis Belanda. Selain rumah sakit dan irigasi, Belanda ”berbaik hati” membangun sekolah-sekolah untuk para bumi putra. Kondisi ini menjadi bertambah, ketika R.A. Kartini maupun Dewi Sartika yang melihat kaum perempuan termarginalkan dalam hal pendidikan, kemudian melakukan terobosan membuat sekolah untuk perempuan. Bila dilihat dari para guru yang mengajar di Indramayu pada awal abad ke-20, yang kebanyakan dari Jawa  Tengah dengan busana tradisionalnya, menyiratkan sebuah kondisi bahwa penduduk Indramayu masih dalam taraf sebagai “murid”, sebagai orang yang diajar dan dididik oleh orang yang berasal dari luar Indramayu. Itu pun tidak semua orangtua mau dan rela menyekolahkan anak-anaknya. Tidaklah heran, jika tingkat buta aksara pada masa itu sangat tinggi. Berbagai penyebab cukup kompleks, yang bermuara pada kemiskinan ekonomi.

Tahun 1933 Indramayu merupakan kabupaten termiskin di Jawa Barat, meskipun sumberdaya alam melimpah. Ungkapan yang tepat untuk fenomena tersebut adalah “ayam mati di atas padi” sebagai gambaran kontradiksi tersebut. Saat itu Bupati R.A.A. Mohamad Sediono harus bekerja ekstra keras menghadapi problema itu. (H.A. Dasuki, 1977: 259).
Lepas dari cengkeraman Belanda, kemudian Jepang, hingga belum stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara pada masa kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan berimbas pada rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indramayu. Potret seperti ini hingga dekade 1960-an bisa dilihat dengan sedikitnya jumlah sekolah yang ada di Indramayu. Jenjang SLA (SMA, SMEA, SPG) hanya ada di tingkat kabupaten, SLP relatif ada di tingkat kawedanan, SD relatif ada di tingkat kecamatan dan desa-desa induk. Ketika pemerintah pusat pada tahun 1974 melalui Instruksi Presiden (Inpres)  melakukan kebijakan membangun SD-SD di seluruh pelosok desa, yang merupakan upaya pemerataan dan kesempatan bersekolah bagi seluruh warga, dunia pendidikan di Kab. Indramayu seperti tersentak. Sekolah yang mencetak guru SD, yakni SPG di Indramayu, hanya satu-satunya. Artinya, dengan banyaknya SD-SD Inpres yang didirikan dan memerlukan guru, tak mungkin tercukupi oleh lulusan SPG Indramayu. Apalagi selama ini guru yang mengajar di SD-SD di Indramayu tak sedikit yang berasal dari daerah Pasundan. Kebijakan Bupati H.A. Djahari pada tahun 1974 adalah melakukan ”impor” guru dari Yogyakarta, provinsi yang saat itu ”surplus” guru, selain dari daerah-daerah lain di Jawa Barat. Sebagai catatan, di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut SPG sudah ada di pelosok kecamatan.
Tampaknya untuk memotret keterbelakangan dunia pendidikan harus pula melihat faktor sejarah dan perspektif sosio-kultural masyarakat Indramayu sejak abad-abad lampau. Historiografi tradisional (Babad Dermayu ataupun Naskah Wangsakerta) menyebutkan pendiri Indramayu, Wiralodra, berasal dari Bagelen Jawa Tengah sebagai utusan Demak pada abad ke-16 (versi lain menyebut sebagai utusan Mataram pada abad ke-17). Secara arkeologis, pengaruh itu tampak di Indramayu Kota, Sindang, dan sekitarnya. Di wilayah lain pada waktu yang bersamaan maupun berbeda, juga memiliki akar sejarah yang berbeda. Ada pengaruh Kerajaan Sumedanglarang pada Lelea dan Kandanghaur. Pada perkembangan selanjutnya, ada pengaruh Pasundan pada sebagian perbatasan Trisi, Gantar, Haurgeulis. Ada pengaruh Cerbon pada Krangkeng, Karangampel, dan Juntinyuat. Ada juga pengaruh Majapahit, Cina, Arab. Bahkan pada awal abad ke-20 terjadi migrasi warga Tegal-Brebes di Indramayu Barat. Artinya, ada kemajemukan warga, yang berakulturasi menjadi Dermayu, yang bukan Jawa dan bukan pula Sunda. Bahkan orang Indramayu menyebut orang Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai wong wetan, dan menyebut orang dari Pasundan adalah wong gunung, untuk menggambarkan dikotomi seperti itu.  Namun satu hal yang patut dicatat, asal-muasal mayoritas orang Indramayu bukanlah keturunan ningrat (bangsawan). Mereka adalah grass-root (wong cilik) yang datang ke Indramayu dengan motivasi yang lebih tertuju pada masalah ekonomi. Tidaklah heran jika “modal dasar” (sumberdaya manusia) warga sangat minim: Buta aksara, terbatasnya wawasan, dan lemahnya tekad untuk menyekolahkan anak.

***

UPAYA menyadarkan orangtua akan pentingnya pendidikan (dimulai dari SD), peran guru dan kepala sekolah di pelosok-pelosok desa di Kab. Indramayu tak bisa dianggap enteng. Aktivitas guru bukan hanya mengajar dan mendidik, kreativitas kepala sekolah tidak hanya mengelola lembaga pendidikan (dan juga mengajar dan mendidik). Lebih dari itu bersentuhan pula dengan kondisi riil masyarakat yang harus disadarkan akan pentingnya menyekolahkan anak-anaknya. Seringkali pula berhadapan dengan beberapa  ketegangan-ketegangan yang bermuara pada sikap apatis dan resistensi masyarakat. Problema dan stigma sosial seringkali menghadang, seperti pada pemeo “tak perlu sekolah, karena sawah cukup luas” atau “buat apa sekolah, karena belum tentu dapat pekerjaan”.
Hadangan lain seperti pada pandangan masyarakat tentang anak perempuan yang tak perlu sekolah tinggi-tinggi, seperti pada pemeo “lebih baik punya anak perempuan yang janda berusia 18 tahun daripada punya anak masih gadis sudah berusia 15 tahun”. Artinya, anak perempuan dianggap sudah “tua” pada usia 15 tahun tetapi belum menikah. Persoalan apakah pernikahan itu langgeng atau tidak, atau kemudian menjanda pada usia 18 tahun, bukan suatu masalah. Stigma seperti itu bertolak belakang dengan upaya pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Jika ditarik akar masalahnya akan berujung pada kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.
Tidaklah heran jika sebagian masyarakat, terutama di pelosok pedesaan, kemudian menganggap pendidikan bukanlah hal yang penting. Setidak-tidaknya ada beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, pendidikan dianggap membuang waktu dan biaya, padahal anak-anak bisa dipekerjakan di sawah atau laut dan menghasilkan uang. Kedua, kurangnya motivasi dan perhatian perkembangan pendidikan anak, karena orangtua buta aksara dan menyerahkan sepenuhnya apa kata guru. Ketiga, rendahnya tingkat partisipasi (berupa biaya, misalnya) akan kelancaran pendidikan anak dan lembaga pendidikan.
Mengelola SD di pelosok desa, seringkali juga harus menghadapi realitas sarana-prasarana yang minim. Gedung tak representatif, halaman seringkali banjir, meja-kursi tak lengkap, alat pelajaran dan alat peraga kurang. Seringkali pula jumlah guru pas-pasan bahkan kurang. Tak ada penjaga sekolah, apalagi staf administrasi.
Secara legal-konstitusional, sebenarnya Negara menjamin warganya untuk mendapatkan hak pengajaran (UUD 1945). Beberapa keputusan di bawahnya juga lebih menegaskan lagi. Pentingnya mengelola pendidikan sesungguhnya sudah diwasiatkan Sunan Gunungjati sejak abad ke-16 melalui kata-kata: “Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin”. Tajug (mushola) bisa diinterpretasikan bukan hanya tempat sholat dan belajar mengaji, tetapi lebih dari itu adalah lembaga pendidikan tempat anak-anak belajar dan dididik. Ilmu yang diperoleh dari lembaga pendidikan haruslah mengarah pada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Orientasi seperti itupun sesungguhnya sudah menjadi perhatian Sunan Gunungjati melalui wasiat: “Yen kiyeng tamtu pareng, yen bodoh kudu weruh, yen  pinter aja keblinger”. Interpretasi bebasnya adalah yen kiyeng tamtu pareng (kalau rajin dan tekun insya Allah akan berhasil) mengarah pada kecerdasan emosional. Yen bodoh kudu weruh (kalau bodoh haruslah belajar dan berpengetahun) berorientasi pada kecerdasan intelektual. Yen pinter aja keblinger (kalau pandai jangan kebablasan dan menggunakan kepandaiannya untuk memperdaya orang lain) merupakan kecerdasan spiritual.
Hingga memasuki abad ke-21, ketika para guru di Amerika sudah terbiasa mempersilakan muridnya mengerjakan PR lewat internet, atau para guru di Jepang menilai karya siswa yang membuat desain hasta karya melalui program-program komputer, atau juga para guru SD di sekolah-sekolah favorit di Indonesia membawa murid untuk study tour ke Singapura dan Malaysia, guru dan kepala sekolah di pelosok desa di Kab. Indramayu tampaknya tak beranjak dari persoalan sosio-kultural yang melekat. 

***

KETIKA pada tahun 2003 saya ditugaskan sebagai kepala sekolah di SDN Sambimaya III Kecamatan Juntinyuat, realitas keterbelakangan itu demikian tampak di depan mata. Realitas itu antara lain:
1.      Gedung sekolah: Ruang kelas dan WC tak ada langit-langit.
2.      Halaman sekolah: Tak berpagar, permukaan lapangan rendah dan mudah banjir. Pedagang bergerombol di depan kelas.
3.      Ruang kelas: Kelas IV tak memiliki meja-kursi, sehingga saat belajar secara lesehan. Ruang kelas I/II hanya memiliki jumlah meja-kursi setengahnya dari siswa yang ada, sehingga mereka duduk berdesak-desakan.
4.      Alat pelajaran, alat peraga, buku-buku: Minim.
5.      Guru: berjumlah 5 orang, laki-laki semua (4 guru kelas, 1 guru agama). Penjaga sekolah tak ada.
6.      Siswa: Berjumlah 150 anak. Rumah siswa tersebar di 3 blok. Rute tempuh dari rumah sekolah melalui jalan desa ataupun pematang/jalan sawah, antara 10 meter sampai 1,5 km.
7.      Prestasi siswa: 2 buah piagam tingkat kecamatan.
8.      Latar belakang pekerjaan orangtua siswa: 10% petani pemilik lahan (10%), buruh tani/kerja serabutan (75%), pedagang (5%), TKI/TKW (10%), PNS/TNI/Polri (0%). Latar belakang sosial-ekonomi orangtua siswa: baik sekali (0%), baik (15%), cukup (20%), kurang (40%), kurang sekali (25%). Latar belakang pendidikan orangtua siswa: Tak sekolah dan ikut Kejar Paket A (5%), tak lulus SD dan ikut Kejar Paket A (50%), lulus SD (30%), lulus SMP (10%), lulus SLA (5%).
9.      Letak SD: Sebelah utara dan selatan adalah sawah, sebelah selatan dan barat adalah rumah penduduk. Jarak dari jalan desa ke SD sekitar 150 meter. Jarak dari ibukota kecamatan sekitar 8 km, dengan kondisi jalan berbelok-belok dan rusak. Secara umum, merupakan SD yang berada di pelosok Kecamatan Juntinyuat.
10.  Nilai kinerja Kepsek sebelumnya (tahun 2001): ”E”.

Kondisi seperti ini bisa jadi merupakan potret sebagian SD-SD yang ada di pelosok Kabupaten Indramayu. Minimnya segala hal berimbas pada motivasi guru dalam mengajar, yang pada gilirannya membuat turun pula kualitas pendidikan. Di sisi lain ada perbedaan perhatian dari pemerintah antara SD dengan SMP/SMA/SMK. Di jenjang SMP/SMA/SMK selama ini ada program DSP Tahunan, pagarisasi, pavingisasi, komputerisasi, tiviisasi, mesjidisasi. Program yang tampaknya belum menyentuh ke SD. Ketika SD harus mengadakan pagarisasi, pavingisasi, dan komputerisasi, mau tak mau yang dicawel adalah orangtua siswa (dan sebagian BOS). Sebuah upaya yang juga berhadapan dengan realitas kemampuan sosial-ekonomi orangtua siswa. Bagi SD yang ada di pelosok dengan latar belakang sosial-ekonomi orangtua siswa yang pas-pasan, tentu saja agak sulit. Jika program itu ”dipaksakan”, hal itu juga dibayang-bayangi drop out siswa karena menganggap ”iuran” sekolah seperti menjadi momok mengerikan.
Fenomena seperti ini, sebagaimana dikemukakan Edgar Faure (Ketua Internatonal Commission on the Development of Education) sebagai problema pendidikan pedesaan, termasuk problema konsep kebudayaan dan pendidikan yang didasarkan atas analisa proses perkembangan dengan memperhitungkan segi kebutuhan masyarakat yang sedang berkembang. Tahun 1950 sekitar 64% penduduk dunia masih menggantungkan kehidupannya dari tanah, dan di negara-negara yang kurang berkembang proporsinya pada tahun 1985 akan mencapai 55% (Louis Malassis, 1981:9-10).
Ketika menghadapi kesan awal seperti itu saat bertugas di SDN Sambimaya III tahun 2003, saya seperti bertanya-tanya: Apakah saat itu sudah tahun 2003? Ataukah masih tahun 1960-an? Ataukah termasuk hidup di negara yang kurang berkembang?

***

LATAR belakang dunia pendidikan di Kab. Indramayu dan realitas yang terjadi di SDN Sambimaya III seperti itu bukan hanya merupakan fenomena yang harus dimaklumi. Lebih dari itu menjadi tantangan untuk dihadapi. Sebagai kepala sekolah, ”amunisi” yang dibekali adalah konsep kepemimpinan. Konsep itu setidak-tidaknya ada pada lima kompetensi kepala sekolah (Permendiknas No. 13/2007). Kompetensi adalah perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan yang dicapai seseorang yang direfleksikan dalam berpikir. Lima kompetensi itu adalah kompetensi kepribadian, manajerial, supervisi, sosial, dan kewirausahaan (KMSSK). Selain itu berpegang pula pada tugas pokok dan fungsi kepala sekolah yakni kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator, dan enterpreuner (EMASLIME).
Nuansa lain tentang kepemimpinan diungkapkan buku Emotional Spiritual Quotient (Ari Ginanjar Agustian, 2005: 161-174), yang memaparkan tingkatan kepemimpinan dari tingkat sederhana sampai sempurna, yakni:.

1. Pemimpin yang Dicintai
Untuk mencapai tingkatan awal ini, pemimpin harus mengedepankan hati dalam memimpin. Ia harus memiliki rasa kemanusiaan (sense of humanity) yang tinggi. Pengejewantahan dari hal tersebut adalah ia demikian menghayati pekerjaannya, mengapresiasi bawahannya, dan tujuan yang hendak dicapai. Timbal-balik dari hal itu, ia pun akan dicintai.

2. Pemimpin yang Dipercaya.
Pada tingkatan ini pemimpin menunjukkan kejujuran, konsistensi, integritas dan komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai pekerjaannya. Jika tahap ini terlampaui, ia bukan hanya akan dicintai, lebih dari itu dipercaya dan diikuti saran, anjuran maupun perintahnya dengan ikhlas.

3. Pemimpin yang Pembimbing.
Keberhasilan seorang pemimpin bukanlah diukur dari luasnya wilayah yang ia pimpin atau banyaknya orang yang dipimpin, melainkan apakah ia mampu menumbuhkan loyalitas yang tinggi dari bawahan tanpa paksaan. Untuk menumbuhkannya, selain telah mencapai tahap dicintai dan dipercaya, yang harus dilakukan seorang pemimpin adalah melakukan bimbingan, arahan, dan tuntunan kepada yang dipimpin. Dari sini akan tercipta proses regenerasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin jangan hanya menjadi ”bunga” yang namanya terkenal dan harum di mana-mana. Ia juga harus menjadi ”biji”, yang kelak bisa menumbuhkan tunas-tunas baru.

4. Pemimpin yang Berkepribadian
Pemimpin yang berhasil biasanya terlebih dahulu mampu memimpin dirinya-sendiri. Meskipun tampak skalanya lebih kecil, memimpin diri-sendiri ternyata bukanlah sesuatu yang mudah. Di dalam diri manusia, yang paling sulit dikalahkan adalah melawan hawa nafsu. Tingkatan ini pun akan membentuk kepribadian dan karakter yang kuat, sehingga anggota yang sudah mencintai, mempercayai, dan terbimbing, selanjutnya akan melakukan pembelaan dan dukungan terhadapnya.

5. Pemimpin yang Abadi
Pikiran, ucapan, dan tindakan seorang pemimpin yang sudah melampaui empat fase, selanjutnya akan menuju fase terakhir, yaitu pemimpin yang abadi. Pada dasarnya memimpin adalah memberi pengaruh. Tingkat pengaruh ini akan teruji benar hingga seorang pemimpin tidak lagi memimpin. Apakah pengaruh dan ajarannya masih diikuti pengikutnya. Banyak pemimpin yang tidak abadi saat ia tak lagi memimpin atau meninggal dunia atau perubahan zaman. Contoh tingkatan ini yang mampu melampauinya adalah Nabi Muhammad SAW.
Konsep kepemimpinan bisa juga belajar dari fenomena alam, seperti dalam filsafat Jawa pada buku Serat Babad Ila-ila 2 (Depdikbud, 1986:35-36), yakni:
1. Belajar pada air
Sifat air mengalir ke bawah. Sekalipun ada kalanya muncrat ke atas, air akan kembali ke bawah. Pemimpin berpikir dan berorientasi untuk kepentingan wong cilik (bawahan, guru-guru, masyarakat), bukan hanya wong elit.

2. Belajar pada laut.
Laut rela menerima segala benda apapun. Laut mampu membasuh segala kotoran. Pemimpin akan menerima dengan ikhas segala kritik, pujian, bahkan kecaman sekalipun. Hal seperti itu dijadikan introsepksi dan dijernihkan.

3. Belajar pada bumi.
Rela diinjak-injak dan menumbuhkan segala macam tumbuhan. Rela bersusah-payah bahkan mendapat kecaman, harus mampu melahirkan tunas-tunas baru regenerasi.

4. Belajar pada angin.
Angin menghembus dan menyelusup ke segala arah tanpa membedakan benda atau ruangan. Pemimpin mampu bergaul dan berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat. Jangan hanya segmen tertentu.

5. Belajar pada matahari.
Pemimpin mampu menyinari, membimbing, menumbuhkan tunas-tunas tanpa mengharapkan balas jasa.

6. Belajar pada bulan.
Memberi keindahan, memaniskan buah-buahan. Pemimpin mampu menciptakan kondisi yang kondusif, memberi ketentraman, kedamaian, dan kegairahan bekerja.

Apresiasi terhadap kepemimpinan dari berbagai dimensi itulah yang kemudian diaplikasikan di SDN Sambimaya III. Secara kedinasan dengan berbagai instrumen pengukuran dan penilaian memang dilakukan, tetapi yang lebih penting lagi adalah secara sosio-kultural adanya pemahaman, pendekatan, dan kebersamaan dalam menghadapi realitas tersebut. Analisis SWOT tetap dilakukan, yakni mengkaji kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang dan tantangan (Opportunities and callenges) serta ancaman (Treath).  Salah satu ancaman sesungguhnya justru ada pada instrumen penilaian dari atas. Amat penting pula dikemukakan, selama ini ada “ketidak-fair-an” dalam melakukan generalisasi sekolah, antara SD di perkotaan dan di pedesaan (terlebih bagi yang berada di pelosok) dan antara SD dengan lingkungan orangtua yang mayoritas mampu dengan tidak mampu. Generalisasi itu ada pada Penilaian Kinerja Kepala Sekolah, Akreditasi, maupun Pemilihan Kepala Sekolah Berprestasi. Ajang seperti itu selain melakukan penilaian terhadap “karya” yang telah dilakukan, juga pada “fasilitas” yang telah dimiliki. Penilaian pada “fasilitas” merupakan ketidak-fair-an” bagi SD miskin di pelosok, karena hampir semua fasilitas yang dimiliki SD maju dan di perkotaan semata-mata karena adanya bantuan pemerintah ataupun lembaga asing. Dengan kata lain ancaman ”nilai rendah” akan melekat, hanya karena kepapaan fasilitas, yang nota bene tidak diberi bantuan.
Upaya yang dilakukan di SDN Sambimaya III mungkin bagi SD yang berada di perkotaan hanyalah langkah sederhana, bukan langkah luar biasa. Intinya, bagaimana beranjak dari keterpurukan dan ketertinggalan dua-tiga langkah sebelumnya. Bagaimana kesan yang tampak bukanlah lembaga pendidikan yang seperti berada di tahun 1960-an yang serba terbatas, tetapi sebenarnya berada di era milenium abad ke-21.
Langkah-langkah pembenahan yang dilakukan di SDN Sambimaya III lebih bernuansa langkah sosio-kultural dengan nilai-nilai kearifan lokal untuk memberi pengaruh dan menggerakkan guru, siswa, orangtua siswa, dan komite sekolah. Setelah hampir tiga tahun ada beberapa peningkatan yang terlihat, antara lain:
1.      Gedung sekolah: 3 ruang kelas dan WC dipasang langit-langit..
2.      Halaman sekolah: tiga kali pengurugan dengan tanah, permukaan lapangan tidak rendah lagi dan tidak banjir. Paving block lapangan bulutangkis.
3.      Ruang kelas: Semuanya sudah memiliki meja-kursi.
4.      Prasarana lain: Jalan dipasang paving block; pembuatan tempat parkir, warung sekolah, ruang perpustaakaan, ruang UKS, gudang, taman.
5.      Sarana lain: 3 lemari, 4 meja-kursi guru, tempat tidur UKS, papan-papan data.
6.      Alat pelajaran, alat peraga, buku-buku: dicukupi.
7.      Guru: berjumlah 6 orang, laki-laki semua (1 sukwan). Tahun 2008 mendapatkan 4 guru baru (sekarang 2 guru dimutasi, karena kebanyakan).
8.      Prestasi siswa: 6 gelar tingkat rayon, 6 gelar tingkat kecamatan (Tahun Ajaran 2006/2007), 8 gelar tingkat rayon, 3 gelar tingkat kecamatan (2007/2008), 3x berlaga di tingkat kabupaten.
9.      Nilai kinerja Kepsek sebelumnya (tahun 2001): C (tahun 2006), A (2007), A (2008).
Jika wajah SD yang ada di pelosok Indramayu terlihat “bopeng-bopeng”, hal itu merupakan realitas yang tak bisa dikesampingkan. Tak bisa ditutup-tutupi dengan “bedak” atau “make up” prestasi SD yang ada di perkotaan, atau prestasi daerah di tingkat nasional. Realitas keterpurukan SD di pelosok merupakan tantangan yang harus dihadapi, dibenahi, dan ditingkatkan kualitasnya menjadi sekolah dengan “standar lokal”.  Bagi sekolah yang ada di kota dan sudah maju, berstandar nasional atau internasional tentu bukan “lawan” yang sepadan dilihat dari dimensi apapun. “Lawan” bagi sekolah-sekolah tersebut seharusnya yang sepadan untuk menjadi motivasi yang lebih tinggi. Sebagai gambaran, bisa diperbandingkan dengan SD Negeri Tunjungmekar I, Kota Malang, Jawa Timur. Dilihat dari sarana, prasarana, kegiatan ekstra kurikuler, dan infrastukturnya, SD tersebut sangat ideal dan merupakan SD dengan sarat pretasi.

Perhatikan prasarana yang telah dimiliki di bawah ini!
Nama Ruang
Ukuran
Kondisi
7 ruang belajar @
5 ruang belajar @
6 X 7 m
8 X 7 m
Baik
Baik
1 ruang Kepala Sekolah
6 X 7 m
Baik
1 ruang kamar mandi Kepsek
2 X 3 m
Baik
1 ruang Tata Usaha
4 X 3 m
Baik
1 ruang Gudang
2 X 3 m
Baik
1 ruang Pramuka
3 X 3 m
Baik
1 ruang Lab. IPA
4 X 5 m
Baik
1 ruang Guru
5 X 8 m
Baik
1 ruang Perpustakaan
6 X 13 m
Baik
1 ruang Lab. Bahasa Inggris
6 X 8 m
Baik
1 ruang Aula
8 X 15 m
Baik
1 ruang Ibadah
10 X 12 m
Baik
5 Kantin @
2,5 m X 2,5 m
Baik
1 ruang UKS
6 X 7 m
Baik
10 Kamar Mandi/WC Siswa @
3 X 2 m
Baik
10 Kamar Mandi/WC Siswi @
3 X 2 m
Baik
1 ruang ganti Siswa
3 X 2 m
Baik
1 ruang Koperasi Siswa
3 X 3 m
Baik
1 ruang Gugus
3 X 3 m
Baik
1 ruang Diskusi Gizi
3 X 3 m
Baik
1 ruang Keterampilan
3 X 3 m
Baik
1 ruang Stasiun Radio UKS
4 X 6 m
Baik


Perhatikan pula infrastrukturnya!
Infrastruktur
Jumlah
Ukuran
Kondisi
Kebun Sekolah
1
240 m2
Baik
Lapangan Bolavoli
1
162 m2
Baik
Lapangan Lompat Jauh
1
160 m2
Baik
Pagar Keliling
1
316 m2
Baik
Menara Air
1

Baik
Tiang Bendera
2

Baik
Bak Sampah Permanen
5

Baik
Tempat Pembuangan Akhir
2

Baik
Tong Sampah
27

Baik
Saluran Primer
1
30 m2
Baik
Saluran Keliling
1
480 m2
Baik
Tempat Parkir Guru & Siswa
2
35 m2
Baik
Tempat Parkir Kepsek
1
15 m2
Baik
Tempat Pembibitan
1

Baik

Prestasi tingkat Propinsi dan Nasional:
Jenis Lomba
Juara ke
Tahun
Kejuaraan Funakoshi
I Propinsi
2002
Menyulam
II Propinsi
2005
Paduan Suara
II Propinsi
2005
Sekolah Sehat
I Nasional
2007
Sekolah Model Adiwiyata
I Nasional
2008

            Potret SD terbelakang dan di pelosok Indramayu pada satu sisi merupakan fenomena yang riil dengan segala problematikanya. Menghadapi hal seperti itu tidak sedikit yang bersikap apatis, ”pager doyong pribasane, ya apa gebrage bae!” Ada pula yang menerapkan manajemen “lillahi ta’ala”, tetapi tak sedikit pula yang melakukan beberapa terobosan untuk mengangkat keterpurukan. Di sisi lain, potret SD yang maju atau favorit atau unggulan atau berstandar nasional atau di perkotaan merupakan dinamika yang terus berkembang. Persoalannya adalah selama ini yang dilihat lebih banyak hanya model SD di sekitarnya yang setaraf atau bahkan lebih rendah. Sikap yang muncul kemudian adalah berpuas diri dengan apa yang telah diraih!
***

Bongkoh-kupat, jangan bendara
Bilih lepat, nyuwun pangampura

Ikan hiu sambal terasi
Thank you, terima kasih
BIODATA:

Nama                           : Supali Kasim
Tempat Lahir               : Indramayu
Tanggal lahir                : 15 Juni 1965
Pendidikan                  : SDN Juntinyuat I (lulus 1976)
                                      SMPN Karangampel (lulus 1980)
                                      SPG PGRI Indramayu (lulus 1983)
                                      FKIP Unwir Indramayu (lulus 1999)
Riwayat Pekerjaan       : Guru SD di Kecamatan Anjatan (1985-1988)
Guru SD di Kecamatan Juntinyuat (1988-2006)                   :   
Kepala SDN Sambimaya III (2006-sekarang)
Alamat                         : Griya Paoman Asri, Jl. Jati 7 Indramayu

Karya Tulis                  :
- di Media Massa         : Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, Mitra Dialog, Bandung Pos, Pikiran 
                                      Rakyat, Dermayon, Indrapos, Grage Pos, Media Pantura, Mulih 
Harja, Republika.
- dalam bentuk buku   : Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-suling, Fenomena dan
                                      Dinamika Seni Tradisi, Kamus Basa Cerbon. Antologi Puisi Bersama:
                                      Kiser Pesisiran, Dari Negeri Minyak, Susub Landep, Nguntal Negara.
                                      Antologi Puisi Tunggal: Bergegas ke Titik Nol. Biografi:Wong Dermayu
                                      Ngomong, Cinta yang Keras Kepala. Novel Anak-anak: Bintang Lapangan.    
                                      Dalam proses penyelesaian: Sisi Gelap Sejarah Indramayu.
Kunjungan luar negeri : Thailand (2001)

Prestasi                      :
Urutan I Pemilihan Kepala SD Berprestasi Kab. Indramayu (2008)
Urutan IV Pemil. Kepala SD Berprestasi Prop. Jabar (2008)
Urutan I Koleksi Kliping Terbanyak (1999)
Urutan I Lomba Cipta Puisi (1995)

Organisasi                 :
Ketua Forum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (FK3S) Kec. Juntinyuat, 2007-2012
Wakil Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC), 2007-2011
Sekbid Kesenian, Kebudayaan dan Olahraga PGRI Kab. Indramayu, 2006-2011
Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kab. Indramayu, 2005-2008
Dewan Penasehat Meduluran Dalang Wayang Golek Indramayu (Medalwangi), 2006-2009
Ketua Umum Dewan Kesenian Indramayu (DKI), 2001-2004
Sekbid Organisasi PGRI Cabang Kec. Juntinyuat, 2002-2007
Sekretaris LSM “Solid”, 1999-2004
Bid. Politik DPD KNPI Kab. Indramayu, 1996-2000
Divisi Humas Forum Sastra Indramayu (FSI), 1993-1995
Sekretaris BP KNPI Kec. Juntinyuat, 1990-1992
Ketua Umum Karang Taruna ”Gema Karya” Desa Juntinyuat, 1988-1991
Anrutekpram Gerakan Pramuka Kwarran Juntinyuat, 1988-1991
Sekretaris PGRI Ranting Juntikebon, 1988-1992
Sekretaris Gerakan Pramuka Kordes B2MS Kec. Anjatan, 1985-1988
Anrutekpram Gerakan Pramuka Kwarran Anjatan, 1985-1988 
 

Potret SD di Pelosok Indramayu:
Perspektif Sosio-kultural










MAKALAH









Oleh
SUPALI KASIM





Disajikan dalam Seminar Sehari
”Peningkatan Mutu Sekolah melalui
Manajemen Pendidikan yang Aplikatif”

Aula Unwir Indramayu, 1 Maret 2009





FORUM ILMIAH PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
(FIPTK)
KABUPATEN INDRAMAYU

1 komentar:

  1. wah, potret yang menyedihkan. semoga sekarang sudah lebih baik pak. salam kenal

    BalasHapus

statistik