Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Sastra, Politik, dan Dangdut




Oleh SUPALI KASIM


Dengan santai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor berbincang berbagai hal di Cirebon di tengah suara geledek dan hujan membentur-bentur atap gedung Yayasan Dewan Kesenian Cirebon, Sabtu malam (22/11). Seminggu sebelumnya, Sabtu malam ( 15/11/2008), penyair Lampung, Isbedy Stiawan ZS, memburu saudaranya yang --konon asal Kuningan dan sudah puluhan tahun berpisah-- kemudian mendiskusikan puisi di gedung yang sama.

Dengan tergopoh-gopoh penyair Jerman, Martin Janskowski didampingi penyair Solo, Sosiawan Leak, tiba di Indramayu, Kamis (27/11) di gedung Panti Budaya mengumbar obrolannya dengan para siswa, guru, dan penyair setempat. Namun di selasar Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang Cirebon, Sabtu malam (29/11), dari Universitas Tasmania Australia, pengamat sastra Andy Fuller, didampingi penyair Jakarta asal Lampung yang baru tiba dari Korsel, Binhad Nurohmat, ngrasani cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma.
Minggu-minggu yang gegap-gempita, tetapi juga panas, lugas, dan bernas. Gegap-gempita, karena Ahmad Syubbanduddin Alwy di Cirebon menganggap ini sebagai titik balik menuju pergulatan pemikiran merambah ke dimensi lebih luas dan intens. Juga, Acep Syahril di Indramayu berjibaku melawan kepapaan pemikiran di tengah hegemoni kebendaan dan kekuasaan. Panas, bukan karena mendung hanya menggantung di langit dan tak menumpahkan hujan ke bumi, juga persoalan-persoalan sosial begitu sengit dan alot disorot. Pembicara dan penanggap secara lugas melontarkan pernyataan, tanggapan, dan argumentasi yang berujung buah yang bernas.
Problema kontekstual seringkali dituangkan secara tekstual dalam sastra, termasuk dimensi sosial-politik, yang kini tengah hangat-hangatnya. Bagaimana seorang Seno Gumira Ajidarma lewat cerpen-cerpennya demikian tandas dan “tendensius” menyuarakan bunyi kezaliman, sekaligus kepedihan. Bunyi, yang kata Andy Fuller, sebagai icon  kekuasaan dan perlawanan. Karya-karya Seno menjadi “saksi mata”, “saksi telinga”, “saksi hidung”, hingga “saksi hati”  akan berbagai ketimpangan sosial-politik.
Ketika Soeharto tumbang dan Orba runtuh, virus korupsi justru makin menjalar hingga ke semua lini. Kekuasaan demikian menggoda. Untuk menggapai dan mempertahankan kekuasaan, di antaranya perlu uang berlimpah. Kata Machiavelli, raih dan pertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Filsafat ini dicerca banyak orang, tetapi secara diam-diam ajarannya justru dianut, diyakini, dan dijalankan.
Tak heran, jika ada kecurigaan pada demo-demo politis yang dikategorikan hanya “meniti karier”, bukan perjuangan. Demo juga menjadi ajang latihan berteriak lantang. Esoknya, para pendemo kemudian bargaining dan konsensus dengan pihak yang didemo.  Mereka juga, esok hari menjadi bagian dari lembaga yang kena virus korupsi itu. Terjun ke dunia politik praktis seperti hanya berdasarkan syahwat, yaitu keinginan dan niat buruk. Lucunya, para seniman atau aktivis atau mahasiswa yang dikenal bersih dan idealis, yang memutuskan terjun ke dunia politik praktis, yang bertujuan ingin melakukan perubahan, justru bukan lembaga itu yang berubah tetapi dia sendiri yang berubah mengikuti mainstream (kekuasaan yang korup).
Jadi, tidak aneh jika karya sastra kontekstual di Indonesia banyak mengumbar pedih, perih, tangis, teriak yang mengaduk-aduk emosi ketertindasan. Di Jerman atau Eropa, kata Martin Janskowski, lebih banyak bercirikan ide, imajinasi, atau inspirasi yang rasional. Perbedaan ini, tentu saja bukan hanya pengaruh kondisi sosial-politik, lebih dari itu adalah sosio-kultur antara ”dunia timur” yang serba-perasaan dengan ”dunia barat” yang serba-pemikiran. Meski demikian, dunia timur tetap memiliki eksotika tersendiri.
Profesi sastrawan di Barat, justru diposisikan demikian terhormat sejajar dengan profesi lain, seperti filsuf atau pemikir lainnya. Indonesia? Ah, senantiasa diidentikkan sebagai bohemian, pengagguran, pemalas, pemimpi, mengawang-awang, termarginalkan, dianggap tak penting. Ini selaras dengan pandangan umum yang menempatkan seni atau sastra hanyalah hiburan, kesenangan atau pelepas lelah. Bukan karya pemikiran yang inspiratif dan imajinatif. Padahal, seperti diyakini Acep Zamzam Noor, menjadi penyair adalah menjadi ”Nabi”.
Menjadi Nabi?!!
      Persoalannya, apakah penyair sudah siap menerima wayu dan takdir sebagai ”Nabi”.  Tugas penyair bukan hanya menulis, tetapi juga berbuat. Suatu perbuatan yang juga merambah ranah sosial-politik, tidak mesti dalam politik praktis. Yang penting adalah melakukan pencerahan. Kekuasaan bukanlah tujuan. Hal yang penting lagi, bukan berangkat dari ”syahwat”. Tugas-tugas seperti itu hanya Nabi yang bisa melakukannya.
      Jadi, jangan malu untuk menerima ”wahyu” sebagai ”Nabi”. Itu adalah ”hidayah”. Apakah penyair siap menerimanya?
        Serius tidaknya profesi dan karier seorang sastrawan, tentu saja bukan hanya dilihat dari konsistensi dan prestasi. Seperti Acep yang sudah melanglang dengan puisi yang bernas, berkarakter, diterjemahkan dalam bahasa asing dan mendapatkan –di antaranya Khatulistiwa Library Award (Rp 100 juta); Isbedy yang membuat Lampung layak diperhitungkan dalam peta sastra dan masuk ”100 Tokoh” di daerahnya; Leak yang energik menyusuri Eropa, menerjemahkan puisi asing, dan berpuisi dengan segenggam anugerah; Binhad --yang karena puisi-- empat bulan mengikuti program di Korsel dan puisi-puisinya diterjemahkan dalam berbagai bahasa; Seno yang produktif, beberapa kali mendapat anugerah, dan tetap tajam mengupas ketimpangan sosial-politik, bahkan salah satu cerpennya demikian kontekstual, yang kalimat terakhirnya berbunyi, ”... para pembunuh itu sekarang mencalonkan diri menjadi presiden!”
Bagi penyair yang tergolong pemula ataupun mualaf, harus diberitahu bahwa menulis puisi adalah menulis kesia-siaan, tanpa upah. Ini pelajaran mental. Menjadi penyair bukan hanya mengolah kata, tetapi juga mengolah batin, pikir dan mental. Kemudian, janganlah terlalu berkerut-kerut mendukusikan puisi atau sastra secara berat. Lebih baik terlebih dahulu belajar menggosok ”batu akik”, sampai halus, sampai kelihatan keindahan dan karakternya, meskipun lama dan lama. Hanya yang geten, titen, telaten (tekun, berwawasan, sabar), yang mampu melakukannya. Bahkan, lebih dari itu ”batu akik” bisa memiliki ”nyawa”, yang membuat perbedaan harga demikian mencolok.
Begitupun kata-kata dalam puisi, agar berharga dan diperhitungkan, harus diberi ”rumah”, ”nyawa”, bahkan ”khadam”. Bagi sastrawan yang gelisah, tegang, dan penuh syahwat ketenaran dan merasa menjadi bagian orang penting, ada baiknya kembali belajar menggosok ”batu akik”, meski lama dan lama. Ada baiknya juga mencintai musik dangdut. Dangdut adalah realitas Indonesia. Dangdut juga pandai menyuarakan kesedihan dan ketegangan dalam  ekspresi gembira dan cerah. Gembira dan sedih seperti tak ada batas. Bukankah ini sudah masuk tingkatan sufi, yang mampu melakukannya?
            Untuk mengukur apakah puisinya sudah mampu membuat orang lain terpengaruh, bisa digunakan teori ”bulu kuduk” Teori sederhana yang tak berangkat dari teori-teori sastra Kalau sebuah puisi mampu menggetarkan dan membuat bulu kuduk meremang, berarti puisi tersebut sudah bagus.
Tetapi, bukankah hantu juga bisa meremangkan bulu kuduk?
Ya, hantu juga sama dengan puisi, tetapi kalau hantunya kharismatik!!!


*Penulis adalah penyair, mantan Ketua
Dewan Kesenian Indramayu (DKI)

           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik