Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Migrasi Tarling ke Organ Tunggal


Oleh SUPALI KASIM

Pada awalnya seni tarling yang tumbuh sejak dekade 1930-an di wilayah kultural Dermayu-Cerbon merupakan migrasi bunyi dari gamelan ke gitar-suling. Boleh jadi kini melakukan migrasi pula, yakni migrasi bunyi dari gitar-suling ke organ tunggal. Sebuah penanda, betapa tarling memiliki ekspresi lugas, bebas, bahkan liar.


Tarling seakan-akan menjadi semacam katarsis bagi kehidupan masyarakat petani dan nelayan dalam mengekpresikan kepedihan maupun kegembiraan. Melalui petikan gitar, alunan suling, tembang klasik, tembang pop, dan drama, problematika kehidupan tertumpah di panggung. Jurang sosial antara buruh tani dan majikan atau antara bidak dan juragan nelayan, melebur dan luluh dalam apresiasi kebersamaan.

Sebagai teater tradisional, tarling menempatkan penonton tanpa ada jarak. Tarling acapkali melibatkan pentonton dalam pertunjukan drama secara spontan, seperti halnya seni Lenong di Jakarta atau Ludruk di Jawa Timur. Suatu adonan dramaturgi yang mampu menyedot penonton. Sebuah kekuatan yang tiba-tiba mengedepankan tarling bukan hanya sebagai sebuah tontonan. Lebih dari itu adalah sebuah oase untuk melakukan kontemplasi, introspeksi dan ekspresi kemarginalannya.

Siapa sangka di era kini orang di luar Cirebon-Indramayu menyangka tarling hanyalah deretan tembang-tembang dangdut berbahasa Cerbon-Dermayu semata. Siapa sangka pula, lagu-lagu tersebut justru makin dikenal di tatar nasional. Setelah lagu Warung Pojok (Abdul Adjib) tahun 1967, era 1990-an hingga sekarang  publik nasional mengenal lagu-lagu semacam Pemuda Idaman (Sadi M.), Mabok Bae (E.Thorikin), dan Kucing Garong.

Budaya pop
Sebagai bentuk seni kerakyatan, seni tarling tumbuh dan berkembang tanpa adanya pakem atau ketentuan baku lainnya. Generasi Mang Sugra di Indramayu pada dekade 1930-an bereksperimen memindahkan bunyi dawai gitar Eropa menjadi nada-nada pentatonis gamelan Dermayu-Cerbon. Ditingkahi seruling bambu dan tembang gamelan, seperti Dermayonan, Bendrong, atau Cirebon Pegot, bunyi tersebut melahirkan kesenian itar-suling

Generasi Jayana dan Raden Sulam di era 1950-an mampu membawa tarling sebagai sebuah pertunjukan yang bernas. Peristiwa hajatan dalam keluarga, menjadi bermakna dengan tampilan tarling. Suguhan drama humor, drama keluarga, tembang klasik maupun nge-pop memberi warna pada estetika masyarakat. Sejak dekade 1960-an tarling menanjak pada lagu-lagu yang agak nge-pop, tetapi tetap bertumpu pada nada dasar klasik daerahnya. Lagu-lagu seperti Warung Pojok, Penganten Baru, Supir Inden, Sumpah Suci, Temon (Abdul Adjib), Melati Segagang, Saumpama-saumpami, Berag Tua, Aja Dumeh (Sunarto Martatmadja) mampu merebut penonton, yang tampaknya juga keranjingan budaya pop.

Dinamika itu makin bergeser dengan tengara mulai ditinggalkannya nada dasar klasik daerah. Sejak dekade 1980-an, ketika Rhoma Irama menjadi isme tersendiri yang mengusung percampuran musik melayu, India, dan rock, pengaruh itu juga berimbas pada lagu-lagu tarling. Termasuk penampilan para senimannya yang suka berjenggot, rambut keriting-gondrong, memakai jubah kebesaran, dan menenteng sebuah gitar –layaknya Rhoma Irama.

Beberapa lagu masih setia dengan nada dasar klasik, tetapi lebih banyak lagi yang mengekspresikannya secara bebas sebagai lagu dangdut nasional berbahasa Cerbon-Dermayu. Awalnya beberapa lagu seperti Sepasang Manuk Dara (Hj. Dariyah), Kawin Paksa (Udin Zhen), Pemuda Idaman (Sadi M.), Lanang Sejati (Herman Top), Kapegot Tresna (Yoyo S.), Tetes Banyumata (Agus Salim/Eddy Bentar) ataupun Angin Sore (Acing C. Pribadi) tetap mengusung nada dasar klasik pada tembang pop-dangdut tersebut. Lagu-lagu lainnya mulai meninggalkan nada dasar tersebut. Ciri khas kedaerahan pada akhirnya hanya menyisakan pada unsur bahasa daerah.
Bebas dan Liar
Berbeda dengan seni yang tumbuh dari keraton yang memiliki pakem dan nilai-nilai kesakrakalan, seni tarling berkembang dengan dinamika yang lugas, bebas, bahkan liar. Perubahan demi perubahan sangat tampak, misalnya, dalam wujud lagu. Jika pada nada dan tempo makin terasa dinamis, begitu pula pada syair-syairnya. Perkembangan sosial, budaya, dan geregap kehidupan lainnya pada masyarakat tampaknya berpengaruh pada syair-syair yang cenderung mudah dicerna.

Sastra Cerbon-Dermayu masa lama hingga baru, semisal jawokan (mantra), panyandra (ibarat), dan paribasa (peribahasa), mungkin dianggap kurang dinamis. Syair lagu lebih banyak bernuansa wangsalan dan parikan (pantun), yang lebih memasyarakat. Dinamika juga terjadi pada tema dan judul lagu yang mudah mengikuti trend.

Trend dekade 1960 hingga 1970-an cenderung menyuarakan problematika sosial, cinta yang agung, dan nasib wong cilik dengan bahasa yang puitis. Hal ini berbeda dengan dekade 1980 hingga 1990-an yang menyuarakan tema-tema tersebut dengan lugas, blak-blakan, dan bombastis. Bisa jadi kini organ tunggal dianggap sebagai metamorfosis seni tarling dengan menyisakan ciri bahasa daerah pada lagu-lagunya, yang kerap dianggap sebagai lagu tarling-dangdut. Karakter mengikuti trend tampaknya tetap berlangsung.

Entah karena kerasnya kehidupan sosial, gonjang-ganjing politik, degradasi budaya,  atau seperti diungkap pujangga dan Raja Kediri, Jayabaya (1135-1157) sebagai ”akeh wong mbambung, akeh wong limbung” (banyak orang menggila, banyak orang limbung). Lagu-lagu tarling dangdut era kini lebih suka mengambil judul dengan personifikasi binatang, seperti Kucing Garong, Uler Kilan, Ula Pucuk, Mujaer Mundur, Dedali Putih, Capit Yuyu, Pindang Urang, Gagak Abang, dan Buaya Ngesod.***

SUPALI KASIM, penulis buku “Tarling: Migrasi Buku dari Gamelan ke Gitar-suling”, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu.

-dimuat di Kompas Jabar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik