Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Nafas Islami dalam Seni Cerbonan



Oleh SUPALI KASIM

Apakah kesenian tarling bernafas islami? Bagaimana dengan wayang kulit, wayang golek cepak, berokan, macapat, tari trebang, rudat, genjring umbul, dan jenis kesenian lain yang lahir atau berkembang di wilayah kultural Cirebon?


Jika ada pendapat kesenian tarling bernafas islami, sangat mungkin merupakan paradoks yang akan ditentang. Secara umum, konotasi seni yang bernafas islami senantiasa mengarah pada hal-hal yang bersifat lahiriah, antara lain busana menutup aurat (jilbab, gamis), jenis musik yang ditabuh dengan cara dipukul, lirik lagu berupa puji-pujian dan atau berbahasa Arab, dengan latar sebagai dakwah. Lalu bagaimana dengan tarling, yang pemain perempuan dan pesindennya berkebaya dan bersanggul; musiknya berupa itar, suling, kendang, tutukan, kecrek, dan gong; lagu-lagu dan ceritanya selain kegembiraan dan cinta, juga rasa kangen hingga putus asa.

Eksistensi kesenian Cirebon seringkali dihubungkan dengan kiprah Sunan Gunungjati maupun wali lainnya sebagai penyebar agama Islam dengan media seni. Beberepa jenis kesenian diyakini ada yang berasal dari inovasi atau kreasi wali dan sahabatnya dengan menggabungkan unsur seni dan dakwah. Wayang kulit, misalnya, merupakan polesan islami para wali dari wujud semula yang kehindu-hinduan. Polesan itu menyentuh dari fisik hingga substantif.

Inovasi islami                                                                 
Jumlah sembilan wali direpresentasikan pada jumlah sembilan punakawan, yaitu Semar dan para anak pepujan (ciptaan), yaitu Curis, Bitarota, Ceblok, Duwala, Bagong, Cungkring, Bagal Buntung, dan Gareng. Jimat Kalimusada dimiliki Yudistira, yang diartikan sebagai kalimah syahadat. Drupadi yang merupakan istri dari lima bersaudara (Pandawa Lima), menjadi hanya istri Yudistira. Srikandi, yang dalam Mahabarata di India adalah laki-laki, menjadi perempuan dan istri kedua Arjuna.

Wayang golek cepak yang dipopulerkan kalangan keraton Cirebon, atau di Jawa Tengah disebut sebagai wayang golek menak lekat dengan nafas islami. Mengambil latar sahabat nabi dan cerita tentang kepahlawanan Islam. Muncul tokoh-tokoh seperti Umar Maya (Amar bin Amaya atau Abu Jahal), Umar Mahdi (sahabat Umar), Menak Kambyah (sahabat Hamzah), dll. Cerita seperti itu dalam tradisi sastra Jawa merupakan kisah kepahlawanan bernafas islami. Cerita Amir Hamzah, misalnya disebut dalam Serat Menak, yang merupakan hasil transformasi dari sastra Melayu sekitar abad ke-17 yang dilakukan kalangan keraton Kartasura. Hikayat Amir Hamzah berinduk dari sastra Parsi, Qissa il Emir Hamza, sebuah cerita kepahlawanan Parsi yang meriwayatkan Amir Hamzah, tokoh yang hebat dan gagah berani selaku penyebar agama yang dibawa Nabi Ibrahim.

Nafas islami pada seni berokan terletak pada maknanya. Apalagi awal mulanya dibawakan Embah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakrabuana dalam dakwah Islam. Secara mitos, berokan sebagai media tolak bala dan kirab sawan (penyembuhan wabah penyakit) yang mendatangkan barokahan (keberkahan). Di sisi lain, berokan yang berwujud mitologi binatang buaya, macan, dan raksasa dengan bunyi ”plak-plok, plak-plok” ini dianggap sebagai upaya menyadarkan masyarakat agar tidak takut terhadap Barong, semacam Calon Arang dari Bali, yang sering meneror masyarakat. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat akan adanya buta ijo.

Berokan yang berwujud seram itu justru menghibur dan mengolok-olok makhluk gaib.  Sebuah upaya simbolik untuk mempertebal keimanan. Lebih dari itu secara filsafat berokan diibaratkan sebagai jasad manusia, sedangkan pemainnya adalah roh. Manakala roh (pemain) masih dalam jasad (berokan), maka akan bergerak kesana –kemari. Apabila roh telah keluar dari jasad, jasad pun akan nglumpruk tak berdaya. Sebuah upaya mengingatkan kehidupan dunia yang penuh nafsu dan kebebasan bergerak, tetapi diakhiri oleh tibanya masa kematian.

Di Cirebon, macapat atau pujanggaan berkembang dari kalangan keraton lalu menyebar ke masyarakat. Seni tembang yang memiliki patokan pada guru lagu (bunyi akhir tiap baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), dan guru gatra (jumlah baris tiap bait) itu sejak abad ke-15 memang sudah dikenal pada zaman Kesultanan Demak dengan sentuhan islami.

Sebelumnya, sejak zaman Hindu pun macapat sudah ada dan tak dapat dipisahkan dari perkembangan bahasa dan sastra di Jawa. Antara gita (tembang kedewataan) dan perkembangan bahasa Sansekertra dari tanah Hindustan atau di Jawa disebut bahasa Kawi (Kawitan, permulaan) dengan macapat bagaikan api dengan nyalanya. Berlatar tentang sejarah atau babad dan legenda, tetapi juga sarat akan ajaran hidup, yang tentu saja kini dengan falsafah islami.

Kesenian Cirebon yang bernafas islami, tentu tak ketinggalan untuk menyebut seni tari trebang atau rudat, genjring umbul, dan brai. Pada tari trebang ataupun rudat, penari berbusana muslimah, posisi awal adalah duduk berjajar seperti shaf sholat. Gerakan tari agak mirip tari Saman dari Aceh, tetapi saat berdiri dihiasi pula dengan perpaduan tari dengan jurus-jurus pencaksilat. Syair lagunya berupa puji-pujian kepada Rasullullah SAW, ”khairu man wa thia tsraa al-musyafaa’ fil waraa...” diiringi tepakan rebana dan pukulan beduk.

Busana penari trebang berupa penutup kepala dengan iket wulung yang meruncing ke atas. Bentuk seperti itu diartikan sebagai simbol Gusti Allah yang wajib diagungkan. Jika trebang menunjukkan sebagai bentuk alat musik, yaitu genjring/rebana berukuran besar, rudat lebih diidentikkan sebagai tari. Rudat konon berasal dari kata ”rawdlah” (taman), sebuah keindahan dari perpaduan estetis, heroik, dan relijius.

Alat musik trebang dan syair yang dicuplik dari kitab Al-Barzanzi lebih terasa sakral pada kesenian brai. Sebelum mulai, trebang dan kendang berbungkus kain putih diletakkan di atas bantal di tengah-tengah arena. Di sampingnya tampak sesajian berupa sega tumpeng, bekakak ayam, jabur werna pitu, kembang-boreh, kendi, endog, dan menyan. Kaum laki-laki dan perempuan melingkari. Ada bacaan taawudz, lalu basmallah dan syahadat. Meskipun berbahasa Arab, lagunya bernada dan ber-cengkok Cerbonan dan Dermayonan. Zikir dan musik menyatu, tubuh bergoyang, tangan bertepuk. Konon brai berasal dari kata berahi, sebuah puncak kenikmatan saat berhubungan dengan Allah Swt. Pendapat lain menyebut brai berasal dari nama pelopornya, yakni Nyi Mas Ratu Brai, murid Syekh Datuk Kahfi.

Setelah pembukaan, lagu-lagunya adalah witing suci (awal kesucian), awal lair kang kadalu (jasad yang pertama kali tampak), awal batin tininggalan (pertama batin yang harusa dilihat), seyogyane wong sedaras (sesungguhnya manusia makluk sosial), wahdatullah sifating ngelmu (manusia harus mempelajari sifat Allah Yang Maha Esa), alam insan (kehidupan manusia), den emut pitutur ingsun (harus ingat petunjukkku), padang wulan (terang bulan, pencerahan). Ada tiga babak pementasan, yaitu pertama berupa dzikir agung, sanggen agung (syahadat, zikir sewu, rumasa), kedua adalah
sekar makam, kelayon, pari anom, sebek, sedangkan ketiga berupa lung gadung dan pengalasan.

Perlawanan
Bagaimana dengan tarling? Tak ada mindset cerita rasul, nabi, atau sahabat nabi. Tak ada skenario dakwah para wali, kiai, ustad, atau santri. Tak ada tari Rumi atau puji-pujian relijius seperti kitab Barzanzi. Secara alami, mindset tarling adalah jeritan rakyat jelata di pedesaan Indramayu-Cirebon. Jeritan akibat terkungkung gaya hidup feodalisme para juragan tani atau nelayan. Seringkali pula tersembul perlawanan kultural terhadap ketimpangan strata sosial yang menjurang antara wong sugih (kaya) dan wong mlarat (miskin).

Meski demikian, tersembul nasehat ’urip tulung-tinulung’ ( hidup saling menolong dan membantu), tersirat nilai ’ala ketara, bener ketenger’ (yang salah tampak, yang benar kelihatan), termaktub juga wasiat, ’tega warase ora tega larane, tega larane ora tega patine’ (tega saat sehat tak tega saat sakit, tega saat sakit tak tega karena mati) dan lebih dari itu adalah ’eling sangkan paraning dumadi’ (ingat asal tujuan hidup). Nasehat, nilai, dan wasiat seperti itu apakah bukan substansi amanat yang islami?***


SUPALI KASIM, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik