Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Jangan Pernah Takut Berkesenian: ‘Seni Mural’ Mahasiswa IKJ di Indramayu

Oleh SUPALI KASIM


Ada semburan api di atas tangga, ada tetabuhan dari bangku, kursi, kaleng, piring atau gelas ditingkahi celotehan yang bersahutan, ada pula guyuran air dari botol plastik atau percikan api dari korek gas. Di atas sepeda motor Vespa tua, seonggok tubuh telanjang (dengan hanya menyisakan celana dalam), duduk berlenggak-lenggok seakan-akan tengah mengendarai sepeda motor di jalanan.

Mulutnya mendesis-desis menyuarakan berbagai kata dan kalimat. Ada makna keasyikan berkendara, kemerdekaan hidup, kebebasan berkesenian. Ada juga penggambaran realitas geografis jarak tempuh antara Jakarta-Indramayu: oh…panas, oh…hujan,…oh…siang, oh…malam, oh…angin. Di sisi gedung Panti Budaya Indramayu pada malam pekat, malam Minggu (3/3/2007) mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang tergabung dalam Mozarts (komunitas mahasiswa seni penggemar sepeda motor) itu di bagian akhir performace art meneriakkan: Jangan pernah takut berkesenian!
Frasa “kesenian” dan “jangan pernah takut” tampaknya merupakan paradoks dari arus deras pemikiran saat ini, yang telah mereduksi kesenian hanya menjadi seonggok kata benda bernama hiburan. Makna kesenian dikerdilkan menjadi hanya kemasan ‘indah’ dan ‘manis’ semata. Imbasnya tampak benar pada kebijakan pemosisian kesenian di daerah lebih ditempatkan sebagai pemanis acara pembukaan, gunting pita atau pecah kendi peresmian, ataupun hiburan yang melemaskan ketegangan otot dan nina bobo.
“Jangan pernah takut berkesenian” akhirnya secara kimiawi terasa senyawa ketika Dewan Kesenian Indramayu (DKI), Mozarts IKJ, ditambah para penggemar Iwan Fals (OI Indramayu dan Cirebon) seakan-akan melakukan koor kebebasan berkesenian.
Lagu-lagu Iwan Fals yang humanis, satire, dan “melawan” malam itu disuarakan anak-anak OI Indramayu maupun Cirebon, yang sengaja datang dari kota udang menghangatkan suasana. Sebelumnya kebebasan berkesenian juga ditampilkan anak-anak yang bermain piano dari Fahrezi Music Studies, anak-anak yang menari topeng Klana Udeng dari Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah.
Ketakutan tentu saja selama ini menjadi momok tersendiri bagi anak-anak. Takut untuk tampil di depan publik ataupun takut mengalahkan bayangan ketakutannya sendiri. Di tengah pemikiran dunia materialistis dan hedonis, orangtua pun seringkali memiliki ketakutan ketika anak-anaknya menekuni dunia kesenian. Mereka seperti memiliki ketakutan yang lebih serius, apakah kesenian memiliki masa depan yang cerah, misalnya. Fakta ini amat diperkuat oleh kenyataan betapa kesenian hanyalah wilayah marginal dengan para aktivisnya yang ada di pinggiran. Bahkan di sekolah pun, 90% tak memiliki (PNS) guru kesenian dan tiap tahun tak ada lowongan untuk guru kesenian.
Paradoks yang berlangsung bertahun-tahun ini agak sulit menembus telinga kekuasaan, apalagi menembus hatinurani. Akan tetapi lepas dari hal itu, anak-anak band Sagle tetap menyanyi, kelompok musik Nayaga’s yang dikomandani Asep R. Somantri tetap berinovasi dengan gamelan, dan musik modern. Sebuah nomor yang diilhami puisi Kiser Kawin-cerai, kembali disuarakan.

Manusia purba
Seni Mural yang diusung Mozarts IKJ Jakarta pada akhirnya tak sekadar menggambar di tembok gedung Panti Budaya Indramayu. Tak hanya keasyikan berkesenian dan berkelana dengan sepeda motor tua dari Jakarta ke Indramayu. Ada pula suara (yang di tengah kekinian amat dihargai kebebasannya hingga kebablasan) dari dunia jauh tentang kedalaman nurani, kebeningan hati, dan kebenaran sejati.
Di zaman pra sejarah, kegiatan mural dilakukan manusia purba. Bentuk dan simbol kehidupan digambarkan di dinding-dinding goa, seperti dalam gambar binatang, tumbuhan, makhluk hidup, lingkungan, bahkan simbol yang mewakili kepercayaan terhadap dewa-dewa. Kini, mural harus bisa dinikmati masyarakat luas sehingga meninggalkan kesan eksklusif, seperti halnya pada media kanvas.
Beberapa orang Meksiko, seperti Diego Rivera, David Siqueiros atau Jose Orosco adalah seniman mural yang membuat gerakan sangat berarti pada perkembangan mural saat ini. Mereka dikenal dengan sebutan Mexican Muralista. Mural dianggap sebagai alat politik untuk memberi pembelajaran dan pengetahuan kepada masyarakat awam. Pergolakan pemerintahan dan kondisi sosial masyarakat tertuang dalam karya mereka.
Di Indonesia, seperti di kota Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta makin pesat perkembangannya. Bahkan di Yogya, saat masyarakat masih menderita dan trauma akan gempa, aktivis mural melakukan sebuah gerakan kebangkitan dengan seni mural. Tampak di sebuah tembok besar terpampang tulisan “Yogya Bangkit” disertai gambar-gambar yang membangkitkan spirit warga Yogya. Meski bersifat propaganda, mural tetap memiliki nilai artistik sehingga enak dipandang. Bukan memberi kesan kekotoran atau merusak pemandangan.

Kebebasan
Kegiatan mural di dinding Panti Budaya Indramayu tak hanya memiliki nilai seni semata. Lebih dari itu ada nilai lain yang membuncah. Nilai lain itu tampak saat dialog antara DKI, OI, dan Mozarts IKJ, yang makin mengukuhkan kepentingan bersama perlunya sebuah media yang terus-menerus dibangun dengan kesadaran. Media itu adalah kesenian, yang meski tersaruk dan ter(di)pinggirkan, fanatisme dan militansi penggiatnya tak pernah padam.
Mozarts IKJ akan terus menggambar mural di tempat lain sambil berkelana dengan sepeda motor tua. Jika pun di sebuah tempat perlu diberi mural, tetapi mereka tak tahu harus izin kepada siapa, ekspresi berkesenian mereka akan terus dilakukan. Sekalipun hanya izin kepada tukang ojek, yang kebetulan ada di tempat tersebut.
OI Cirebon maupun Indramayu akan terus menjadi penyambung lidah lagu-lagu Iwan Fals, yang memiliki kesamaan nafas dan semangat dalam memandang realitas sosial melalui syair, lagu, dan bagimana harus bersikap. Apakah OI menjadi sebuah isme tersendiri, seperti yang ditanyakan malam itu, atau semacam ‘iwanfalsisme’, mereka tidak begitu mempedulikannya. Apalagi dalam struktur organisasi OI, Iwan Fals hanyalah “salah satu” pendiri dan (menurut istilah mereka) yang lainnya adalah “salah semua”.
Di tengah hingar-bingar politik praktis, dan ada tuduhan DKI berafiliasi dalam dukung-mendukung calon di ajang pesta demokrasi, sikap yang ditunjukkan DKI selama ini dengan memberi ruang kebebasan berkesenian, tentu saja telah menjawab fenomena itu sebagai sifat kekanak-kanakan. DKI, yang selama ini melakukan upaya pembelaan terhadap hak-hak berkesenian bagi seni kontemplatif, baik yang bersifat tradisi maupun kontemporer, tampak benar harus lebih paham dalam memberi ruang yang lebih luas. Ruang itu bernama “jangan pernah takut berkesenian”.***   

*Penulis adalah penyair, penikmat seni









Kisah Para Penyair

Cerpen SUPALI KASIM


Ada yang aneh ketika menginjak kembali kota kecil ini. Bagi saya, lima tahun bukanlah waktu yang lama untuk sebuah perubahan, tetapi yang saya rasakan kota kecil ini demikian berubah dan demikian aneh.
Kabut tipis terus menyelimuti kota kecil ini, meski sinar matahari mulai menyelusup daun dan bunga mangga. Orang-orang berlalu-lalang dengan mantel hingga menutupi kepala. Mobil angkot berseliweran tanpa suara klakson dan teriak kernet. Becak-becak juga melaju tanpa suara. Mobil berplat merah lebih mendominasi dan tampak terburu-buru lebih cepat. Wajah mereka tampak dingin, serius, sedikit angker, dan tanpa senyum. Seperti disergap beribu pertanyaan, saya merasakan adanya perubahan dan keanehan dibanding lima tahun sebelum saya merantau ke luar pulau.
Menjelang siang, angkot, becak, mobil berplat merah, dan orang-orang itu entah ke mana. Jalanan sepi, halaman kantor sepi, halaman sekolah sepi, pasar sepi. Kabut tipis justru mulai tebal dan sinar matahari pagi seperti terhalang. Kota kecil ini, entah kenapa, dingin dan beku. Rasa dingin dan rasa beku yang tidak saya rasakan ketika lima tahun lalu saya masih berkongkow-kongkow di halaman Graha Mahardhika dengan teman-teman penyair dan seniman lainnya di kota kecil ini.
Ketika semalam saya berjumpa dengan teman lama, Abdul Haris, setelah saya turun dari kereta api di stasiun, saya tak merasa ada yang aneh pada dirinya. Saya anggap lumrah saja ketika ia mengatakan tak lagi menulis puisi dan tak mau berbincang seputar sastra. Ia, yang tampak lebih gemuk dan sehat, sekarang lebih menekuni jual-beli HP yang dikelola istrinya.
 “Bagi saya puisi sudah selesai. Sastra sudah anti-klimaks lima tahun lalu, setelah Mas menerbitkan antologi,” ujarnya ringan, kemudian ia beralih dengan topik yang katanya lebih menarik, yakni tentang HP, tak lupa sambil menawarkan model-model HP terbaru.
Pagi ini saya merasakan sikap dan keputusan Abdul Haris yang tak lagi bergelut dengan puisi, seakan-akan tak lagi lumrah. Ada perubahan sekaligus keanehan. Lebih dari itu ada sesuatu yang disembunyikan dan misteri tersendiri. Misteri yang menjerumuskan saya pada pertanyaan, apakah benar lima tahun lalu ketika saya hijrah ke luar pulau, sepasukan berloreng itu mengacak-acak pemikiran teman-teman.
Perubahan, keanehan, dan misteri itu juga saya dapatkan ketika bertemu dengan teman lama yang juga seorang penyair, Atep Syahrial. Saya tak sengaja berpapasan dengannya, ketika ia baru turun dari sebuah sedan keluaran terbaru buatan Eropa. Kulit tubuhnya tampak bersih dibanding dulu dengan busana serasi yang membalut tubuhnya, tetapi gurat wajah dan kepalanya masih tetap Atep Syahrial yang dulu. Saya amat tersanjung ketika justru dialah yang menyapa saya terlebih dahulu. Tas kulitnya segera diletakkan, kemudian memeluk saya erat-erat. Saya diajak dan dibimbing ke ruangan kantornya, yang terletak di lantai tiga.
Ia ternyata salah satu dari sepuluh pengusaha paling berhasil di kota kecil ini. Ia tak mau menjelaskan liku-liku dunia usahanya. Ia juga tak mau menerangkan apa saja yang telah dicapainya. Saya berharap, ia akan berbicara masalah sastra, yang dulu terkenal paling menggebu-gebu. “Ah, kau ini bagaimana, kawan. Puisi dan sastra saya sekarang lebih riil. Dulu hanya imajinasi, sekarang realisasi. Dulu, saya katakan tak ada kata pulang. Sekarang, saya selalu pulang. Pulang untuk keluarga, untuk lingkungan, untuk perusahaan, untuk mengkaji diri, dan untuk Tuhan,” ujarnya lebih menggebu-gebu dibanding dulu.

***

Menebalnya kabut, menghilangnya kendaraan-kendaraan, orang-orang berwajah dingin, dan dua teman saya yang tak lagi menulis atau berbincang tentang puisi, semakin menyergap saya pada misteri sesungguhnya pada kota kecil ini. Ada yang menggebu-gebu di batok kepala saya untuk segera menemui seluruh penyair yang ada di kota kecil ini, yang juga adalah teman-teman saya, yang lima tahun lalu suka berkongkow-kongkow di halaman Graha Mahardhika, yang suka berbicara bukan hanya puisi, sastra atau budaya, tetapi juga politik, ekonomi, hukum, filsafat, dan agama.
“Saya sudah mengatakan jauh sebelumnya, ‘kan?” ujar Alam Akbar, penyair yang dulu aktif di sebuah parpol besar dan kini sudah duduk di lembaga legislatif, “saya berungkali katakan, puisi itu tak menyelesaikan masalah. Bukan hanya terkait ekonomi, tetapi lebih dari itu. Dan sewaktu ente dulu menggugat saya, karena saya mandul, saya katakan membuat puisi tak bisa dipaksakan. Jangan sampai kata-kata itu diperkosa. Saya konsisten sampai sekarang, bahwa ibarat sungai, saya ada di tepiannya dalam memandang peristiwa yang berlangsung. Saya menulis atau tidak, mandul atau tidak, sejauh mana peristiwa itu mampu menarik saya. Ini yang asyik.”
Sikap yang hampir sama juga dikatakan Pratikno, yang lima tahun lalu dianggap anak bawang dalam perpuisian, karena faktor usia yang masih pemula, penulisan yang mentah, dan pergelutannya yang baru sekadar permukaan sastra. Setelah lima tahun anak bawang itu ternyata tak lagi menulis puisi. “Maaf, Mas, yang dikatakan para senior dulu itu, saya anggap nonsens. Mas selalu menekankan pentingnya membuat puisi dan sikap berkesenian, tetapi kini saya anggap nonsens. Begitu pula Mas selalu mengatakan media yang tak memberi ruang pada puisi atau sastra atau budaya adalah media yang seperti tak punya hatinurani. Tapi kini saya anggap nonsens,” ungkapnya tegas, dan tak mau lagi melayani saya karena pekerjaan sudah menunggunya sebagai Pemimpin Redaksi sebuah harian di kota kecil ini.
Teman lainnya, Nursubiandono, yang dulu terkenal sangat produktif dan cekatan dalam bidang seni lainnya, agak sulit saya temui. Di rumahnya tak ada. Di kantor korannya yang dulu, juga tak ada lagi nama dia. Di kantin juga tak ada. Saya justru terharu ketika menemui dia ketika ia tengah asyik mengajar di sebuah SD, yang ada di tengah-tengah kota kecil ini. Seakan-akan bangga sekali ia mengenakan seragam PNS-nya sambil menenteng buku-buku dan penggaris.
Ketika saya menyeret dia berbincang tentang puisi, ia menolak. “Sudahlah, jangan berbicara yang tidak-tidak. Apa yang kau mau dari puisi? Ekspresi? kontemplasi? atau sekadar eksistensi? Saya sudah mendapatkan semuanya. Jadi, apa lagi yang diharapkan dari puisi?”
Misteri itu makin menjadi-jadi ketika saya menemui teman lainnya, Septarengga, yang masih juga menjadi Pengawas Madrasah sambil membuka toko kelontong di rumahnya. Ketika saya tarik pembicaraan tentang puisi, Septa dengan mantap menjawab, “Kamu terlalu tendensius. Kamu terlalu banyak berharap dengan puisi. Makanya, kamu sangat senang dengan jargon John F. Kennedy, bahwa jika politik sudah kotor, puisilah yang akan membersihkannya. Kamu sudah ditipu Presdiden AS itu, ha…ha…ha…. Ibaratnya, seperti lima tahun lalu juga, kamu ini seperti ingin change of the world, ingin merubah dunia melalui puisi, ha… ha… ha….”
Saya berupaya menemui Deni Aprialianto, penyair yang dulu saya anggap paling serius. Dulu, saya mengenalnya sebagai sosok yang hemat bicara, puisi-puisinya dengan diksi yang benar-benar pilihan, dan sangat pelit mempublikasikannya. Agak lama saya menunggu bicaranya, sampai-sampai saya tak sabar untuk segera pulang saja dari rumahnya.
Ia bercerita tak lagi berkantor di Samsat, tetapi kembali ditarik ke Polres. Setelah beberapa menit, setelah kue dan minuman disediakan istrinya, ia berbicara panjang-lebar mengenai puisi. Saya agak terkejut, karena yang dia bicarakan justru tak jauh berbeda dengan pandangan teman-teman lainnya, meskipun agak argumentatif. Intinya, sekarang puisi tak diperlukan lagi.
“Dulu juga, yang kita bicarakan sebenarnya bukanlah puisi. Dulu, lebih banyak berbicara mengenai penyair. Jati diri penyair. Dan tragisnya, adalah jati diri kita masing-masing. Ada egoistis di sana. Ada emosional. Ada subyektivitas. Kalau sekarang saya dan teman-teman meninggalkan, karena kita sebenarnya tidak benar-benar mencintainya. Hanya egoistis, emosional, dan subyektivitas,” tuturnya pelan dan datar.

“Puisi itu lebih sebagai anak kandung kita. Anak yang kita lahirkan. Kita jangan terlalu berharap pada anak kita. Ibaratnya, kita hanya melahirkan, lalu terserah pada orang lain mau menganggap sebagai apa. Apakah menjadi sejarah atau hal yang biasa-biasa saja, bukan kuasa kita,” tutur Anugerah Johansyah, penyair yang dianggap paling senior di antara kami, sambil tangannya menyemprot-nyemprotkan air ke bonsai-bonsai peliharaannya.
Saya menemuinya di gerai bonsai miliknya yang asri dan artistik di lantai dua sebuah supermarket di kota kecil ini. “Ibarat bonsai, kita membentuk, menata, merawat, lalu terserah pada khalayak. Apakah bonsai ini artistik, memiliki nilai jual, atau tak dilirik sama sekali, itu terserah saja,” tuturnya bijak.
“Apakah Mas Johansyah masih menulis puisi?” tanya saya penasaran.
“Menulis atau tidak menulis, itu ‘kan hanya sebuah proses. Saya percaya, bahwa ada orang yang menulis yang sebenarnya ia tidak sedang menulis. Ada orang yang tidak menulis, tetapi sebenarnya ia tengah menulis. Itu ‘kan hanya proses,” jawabnya, yang membuat saya makin penasaran.
“Maksud saya, Mas Johansyah masih membuat puisi ‘kan?” tanyaku menyergah.
Sambil menyedot kretek Ji Sam Soe lalu jemarinya seprti menyisir rambut panjangnya yang sudah banyak beruban, ia menjawab lirih, “Kamu ini bagaimana? Sudah membuat antologi kok pertanyaannya seperti itu. Apakah orang yang menulis puisi itu kamu anggap penyair? Lalu yang tak lagi menulis puisi dianggap mantan penyair, atau veteran penyair, atau potelan penyair?”
Saya seperti masuk dalam labirin yang tak jelas lorong-lorongnya. Sergapan pertanyaan dalam dada dan misteri yang mengepung saya makin menjadi-jadi. Bahkan ketika saya bertandang ke rumah penyair lainnya, Dialamfana, saya seperti masuk dalam lorong kebimbangan dan kegamangan.
“Prinsip saya sejak dulu sudah jelas. Pembodohan, ketakadilan, kebatilan, jahiliyah harus dilawan. Apakah perlawanan itu berbentuk puisi, orasi, atau demonstrasi itu hanyalah pilihan-pilihan. Kamu tak usah bertanya, apakah puisi itu penting dan menulis puisi itu penting, sebab bagi saya sudah jelas, itu hanyalah media semata. Bukan menjadi tujuan,” ujarnya berapi-api, meski dengan vokal yang mengecil.

***

Ada yang aneh ketika menginjak kembali kota kecil ini. Bagi saya, lima tahun bukanlah waktu yang lama untuk sebuah perubahan, tetapi yang saya rasakan kota kecil ini demikian berubah dan demikian aneh.
Kabut tipis kian menebal menyelimuti kota kecil ini. Sinar matahari yang sejak pagi meredup, kini tampak mulai menghilang seiring saat Maghrib menjalng. Daun-daun dan bunga mangga makin tak tampak. Orang-orang berlalu-lalang dengan mantel hingga menutupi kepala. Mobil angkot berseliweran tanpa suara klakson dan teriak kernet. Becak-becak juga melaju tanpa suara. Mobil berplat merah yang saat pagi lebih mendominasi, tak terlihat lagi. Orang-orang masih tetap berwajah dingin, serius, sedikit angker, dan tanpa senyum. Seperti disergap beribu pertanyaan, saya merasakan adanya perubahan dan keanehan dibanding lima tahun sebelum saya merantau ke luar pulau.
Kota kecil ini, entah kenapa, dingin dan beku. Rasa dingin dan rasa beku yang tidak saya rasakan ketika lima tahun lalu saya masih berkongkow-kongkow di halaman Graha Mahardhika dengan teman-teman penyair dan seniman lainnya di kota kecil ini.
Menjelang Maghrib, saya baru sadar, di antara sinar listrik yang mengerlip dari lampu jalanan tampak ada pemandangan yang seragam. Warna cat pada bangunan-bangunan di kota kecil ini ternyata hanya satu warna yang sama, seperti pada gedung perkantoran, gedung dewan, bank, sekolah, universitas, pasar tradisional, super market, bahkan masjid, gereja, dan kelenteng. Tak ada warna lain, apalagi warna-warni.
Patung, monumen, baliho yang ada di kota kecil ini ternyata selalu disertai dan diselipi dengan ornamen yang seragam, yakni bambu runcing yang ujungnya berdarah!

Kota Kecil Itu, 25 Pebruari 2007




Dimuat di Harian Mitra Dialog Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik