Oleh SUPALI KASIM
Agak sulit memprediksi tendensi apa di balik rencana pembuatan film berlatar sejarah Indramayu. Film tersebut akan dibiayai APBD Indramayu dan menurut rencana akan menjadi “tontonan wajib” bagi anak sekolah di Indramayu. Di sisi lain justru tak berbanding lurus dengan hasil Seminar Sejarah Indramayu (2007) yang merekomendasikan perlunya penelitian dan penulisan ulang sejarah Indramayu.
Karya film memang media yang efektif untuk mengingatkan kembali suatu memori atau bahkan menyebarkan suatu ideologi. Media gambar dan suara yang dimiliki dianggap lebih mudah dicerna oleh khalayak. Pemerintah Orde Baru pada momen-momen tertentu bahkan mewajibkan stasiun televisi untuk memutar film “Pemberontakan G 30 S/PKI” dan “Janur Kuning”. Latar sejarah tersebut justru dianggap kontroversial, pemutarbalikan fakta, dan cenderung menguntungkan pihak tertentu.
Rencana pembuatan film “Perang Bubat” yang akan diproduksi Pemprov Jabar hingga kini terlihat mandeg, karena beberapa sebab. Kalangan sejarahwan maupun arkeolog berbeda pandangan dalam hal substansi cerita. Tujuan film yang diharapkan bisa menjunjung harkat masyarakat Sunda sekaligus menjalin persahabatan lebih erat dengan masyarakat Jawa, justru dikhawatirkan menuai hasil sebaliknya. Ada juga yang menganggap dana miliaran dari APBD tersebut lebih baik untuk mengentas kemiskinan atau menanggulangi bencana.
Sebuah film berlatar sejarah pasti memiliki tendensi tertentu. Film berlatar sejarah Indramayu juga pasti memiliki agenda tertentu, baik tersembunyi maupun tidak tersembunyi. Hal ini amat terlihat dengan langkah-langkah yang serius dalam pertemuan di Dinas terkait dan dengar-pendapat dengan DPRD dengan hanya melibatkan tokoh yang menganggap legenda sebagai sejarah yang final. Rekomendasi Seminar Sejarah Indramayu tidak dilirik sedikitpun.
Menebak tendensi
Tendensi kru film tentu saja tidak lepas dari keuntungan material. Tanpa mengeluarkan modal, biaya produksi akan ditanggung APBD. Tanpa bersusah-payah mengedarkan, film akan ditonton ratusan ribu anak sekolah karena menjadi “wajib tonton” yang akan “dipaksa” gurunya berdasarkan “pemaksaaan” atasannya. Tendensi para tokoh yang menganggap legenda sebagai sejarah yang sudah final adalah perolehan legitimasi. Pemkab dianggap melegitimasi pemikiran tersebut. Masyarakat pun diberi pandangan bahwa versi sejarah inilah yang valid. Suatu ideologi yang sebenarnya merupakan perlawanan terhadap rekomendasi seminar.
Pemkab yang selama lebih dari dua tahun bersikap tidak mau dan merasa tidak mampu merealisir rekomendasi seminar, tetapi tiba-tiba mau dan merasa mampu membiayai film sangat mungkin memiliki agenda tersendiri. Bukankah selama ini naskah Babad Dermayu yang kemudian dimodifikasi menjadi buku Sejarah Indramayu (1977) semata-mata untuk legitimasi kekuasaan.
Legitimasi itu terlihat dengan adanya urutan nama-nama bupati sejak 1527, ketokohan Wiralodra, Endang Dharma, dan tokoh-tokoh lainnya, dan penetapan 7 Oktober sebagai hari jadi. Tiga hal utama tersebut justru dalam seminar sejarah dianggap tidak valid dan cenderung mengada-ada. Buku Sejarah Indramayu dianggap hanya berisikan babad dan legenda, tanpa melalui proses heuristik, kritik intern dan ekstern, interpretasi, hingga historiografi.
Selama ini babad, legenda, dan mitologi senantiasa dibuat untuk menguntungkan para penguasa. Berdasarkan silsilah babad, tokoh Wiralodra berhulu pada Gajah Mada, sedangkan Endang Dharma Ayu berhulu pada Nabi Muhammad SAW. Suatu pencitraan yang berujung pada kebesaran tokoh pemersatu nusantara di satu sisi dan pembawa agama Islam di sisi lain. Wiralodra juga dianggap reinkarnasi dari Arjuna, karena merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara dengan dua adiknya adalah kembar layaknya Pendawa Lima. Arjuna adalah sosok yang cakap, ganteng, dan sakti.
Satu hal yang sangat mungkin terjadi adalah ketidakmengertian dan merasa lebih mengerti tentang perbedaan babad dan sejarah. Ketidakmengertian dan merasa lebih mengerti itu tampak pada pemugaran makam Wiralodra, misalnya. Tanpa melibatkan arkeolog, pemugaran itu akhirnya bisa dianggap sebagai perusakan, karena artefak seperti batu-bata lama yang berukuran besar justru dibuang, dan diganti batu-bata baru.
Kontraproduktif
Sulit untuk tidak menyebutkan tidak ada tendensi khusus dari film berlatar sejarah. Pengabaian terhadap rekomendasi seminar, pengindahan mainstream legenda sebagai sejarah yang final, pembiayaan APBD, dan rencana ”wajib tonton” bagi anak sekolah merupakan gejala-gejalanya.
Gejala-gejala tersebut adalah upaya kontraproduktif di tengah gencarnya menghapus doktrin-doktrin yang cenderung menyesatkan. Rekomendasi seminar sangat jelas berdasarkan analisis ilmiah pembicara dari UI Depok, Unpad Bandung, maupun Cirebon dan Indramayu yang melihat kerancuan dan manipulasi sejarah Indramayu. Bagi anak sekolah, transformasi film tersebut cenderung berakibat pada stagnasi pemikiran yang melihat sejarah daerahnya penuh dengan hal-hal yang mistis dan irasional.
Secara prinsip, sulit menerima pendapat jika APBD digunakan untuk memupuk dan menunjang hal-hal yang mistis dan irasional. Sulit menerima kenyataan jika APBD itu diloloskan oleh para birokrat dan wakil rakyat yang justru bergelar sarjana dari bidang keilmuan yang ilmiah.
SUPALI KASIM, pemerhati budaya, tinggal di Indramayu.
-dimuat di Kompas Jabar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar