Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Indramayu, Pilkada, dan Bratayudha


-dimuat di Kompas Jabar




Oleh SUPALI KASIM

Menjelang perang Bratayudha Jayabinangun, semua keraguan telah pupus. Siapa kawan dan siapa lawan dalam lakon wayang itu makin jelas. Arjuna pun tidak memiliki keraguan lagi ketika harus bertarung dengan kakaknya sendiri, Karna. Seperti kata Kresna, ksatria sejati tidak pernah meragukan tugasnya hanya karena sentimen pribadi atau perasaan keluarganya. Oleh karenanya dalam dunia politik bisa jadi adagium “tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”, tidaklah terlalu benar.


Atmosfer politik dalam Pilkada Indramayu memang menunjukkan hal demikian. Menjelang pelaksanaan 18 Agustus 2010 di padang kurusetra, pengerucutan dukungan makin tampak. Keraguan mulai tersingkirkan. Pemihakan bukan semata-mata karena faktor kepentingan. Terlalu sederhana menempatkan kawan dan lawan secara hitam-putih, kemudian memvonisnya hanya demi kepentingan. Pandangan rasional dalam menentukan pilihan, seperti diungkapkan Kresna, tentu saja bukan karena kepentingan sempit. Ada sikap ksatria yang merujuk cita-cita kebenaran. Secara sederhana, menentukan pilihan mengandung maksud adanya harapan membawa pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan yang lebih baik.

Tentu saja sikap rasional ini bukanlah hal mutlak yang dimiliki semua orang. Pemihakan atas dasar latar belakang keluarga, tetangga, sahabat, atau tergolong “pemilih tradisional” selalu ada dan tidak bisa disalahkan.  Itulah sebabnya dalam lakon Sinta Obong, Kumbakarna tetap setia membela kakaknya, Rahwana, meskipun secara moralitas Rahwana dianggap bersalah melarikan Dewi Sinta.

Kumbakarna mungkin contoh ksatria yang setia pada negara, karena negara diobrak-abrik lantaran rajanya (Rahwana) dianggap melakukan kesalahan. Hal yang sangat berbeda ditunjukkan sikap ksatria adiknya, Wibisana, yang memilih menyeberang ke pihak Rama dengan alasan sebagai kebenaran dan keadilan.

Perilaku aneh
Vonis “hanyalah kepentingan yang abadi” memang menempatkan posisi pendukung atau pemilih menjadi sempit. Seakan-akan tak ada ruang untuk berkembangnya rasionalitas dalam memilih. Seakan-akan tak ada tempat untuk menjatuhkan harapan yang lebih baik. Semua telah digiring menjadi kesetiaan yang membabi-buta. Sumpah-serapah pun seringkali diucapkan sebagai penjilat, kutu loncat, udang di balik batu, dan sebagainya.

Ruang rasionalitas dalam memihak tentu saja terbuka. Dinamika itu bahkan berkembang pesat akhir-akhir ini. Perilaku demikian mungkin dianggap aneh. Ketika Pemilihan Legislatif 2009 di Kab. Indramayu, Golkar menang dengan 24 kursi dari 50 kursi dewan. Hasil ini kontras dibandingkan tingkat nasional maupun Jabar yang dimenangkan Demokrat.

Sebelumnya dalam Pilgub Jabar 2008, Danny Setiawan-Iwan R. Sulanjana (Golkar) menang di Indramayu, padahal daerah lain memenangkan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (PKS-PAN). Lebih aneh terjadi saat Pilpres 2009. Jika merujuk suara mayoritas, seharusnya calon Golkar (Jusuf Kalla-Wiranto) menang, atau jika mengikuti trend akan terpilih incumbent dari Demokrat (SBY-Boediono). Kenyataannya politik bukan matematika, yang menang di Kabupaten Indramayu justru pasangan PDIP (Mega-Prabowo). 24 kursi Golkar ditambah 2 kursi Hanura ternyata tak bisa memenangkan Jusuf Kalla-Wiranto. PDIP yang memiliki 7 kursi dan Gerindra 2 kursi justru bisa unggul.

Secara geografis, Indramayu juga ”dikepung”. Hanya Indramayu yang kepala daerahnya berasal dari Partai Golkar, yang lainnya dari PDIP, yakni Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Kuningan, Majalengka, Sumedang, dan Subang.

Anatomi dukungan
Ketika kini Pilkada memasuki tahap-tahap awal ”perang Bratayudha Jayabinangun”, strategi perang mulai diatur. Mungkin masih ada yang berhitung secara matematis, mungkin juga mengandalkan popularitas, tebalnya kesiapan dana, jaringan tim sukses, atau masih ada yang menekuni model kuno mengandalkan PNS dan menggunakan fasilitas negara.

Pasangan Anna Sophanah-Supendi (”Andi”) dari Partai Golkar (24 kursi di DPRD) dan  PKB (5 kursi) di atas kertas adalah suara mayoritas. Uryanto Hadi-Abas Assafah (”Urab”) dari Partai Demokrat (5 kursi), PKS (4 kursi), Gerindra (2 kursi), PAN, PBB, dan PPRN mengusung perubahan. Pasangan Gorry Sanuri-Ruslandi (”G&R”) dari PDIP (7 kursi) dan Hanura (2 kursi) berupaya mengulangi sukses Megawati dalam Pilpres 2009 di Indramayu. Calon dari independen, yakni pasangan Moelyono Martono-Handaru Wijaya Kusuma, Toto Sucartono-Kasan Basari, Api Karpi- Rawita tentu saja memiliki peluang yang sama.

Sikap ksatria dari para pendukung mungkin akan benar-benar terjadi pada masa kampanye dan hari pelaksanaan. Pertarungan sengit akan mengorbankan perasaan. Anna Sophanah adalah anggota DPRD Indramayu dari Golkar, sama seperti Uryanto Hadi. Anna istri Bupati Irianto MS Syafiuddin alias Yance, Uryanto pernah menjadi Ketua Gapensi menggantikan Yance. Pengurus dan simpatisan Golkar di bawah  terpecah. Perpecahan juga melanda Demokrat. Satu kubu mendukung ”Andi”, kubu lain mengusung ”Urab”. Surat DPP Partai Demokrat akhirnya mendukung ”Urab”, tetapi bukan berarti perpecahan selesai. Gerindra juga tak bulat, karena anggota DPRD dari Gerindra, Kasan Basari, justru maju sebagai cawabup independen.

PKB mendukung ”Andi”, tetapi massa di bawah masih memandang adanya dualisme dukungan. Secara kultural, cawabup Abas Assafah adalah mantan Ketua GP Ansor Kab. Indramayu, yang didukung Ketua PCNU Kab. Indramayu. Apakah nahdiyin PKB lebih patuh pada putusan struktural partai, ataukah lebih melihat pandangan kultural organisasi. Gambaran lain secara struktural, Supendi adalah birokrat yang baru setahun menjadi Sekda. Sangat mungkin didukung PNS, tetapi UU telah membatasinya. Lagipula lawannya, Abas, juga birokrat. Artinya, PNS bisa diibaratkan sebagai floating mass (massa mengambang) yang bisa diperebutkan.

Dalam sebuah pertarungan, memang ada yang kurang diperhitungkan karena beberapa sebab. Pasangan lainnya agaknya  masuk golongan ini, tetapi juga sangat mungkin menjadi kuda hitam yang siap berlari kencang meninggalkan kuda-kuda putih yang lebih diunggulkan. Gus Dur, SBY-JK, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf adalah buktinya.

Perang Bratayudha Jayabinangun pada akhirnya menempatkan seorang ksatria sejati tanpa keluh atau ratap tak berguna. Menang sebagai ksatria pantas dihargai. Bukan kemenangan dengan berbagai cara, seperti politik uang, kampanye hitam, menggunakan fasilitas negara, ataupun menekan PNS. Kalah sebagai ksatria juga pantas dihormati, dan kalaupun memilih beroposisi, mestinya dengan nawaitu demi keseimbangan.

Bennedcit R.’OG Anderson (1965) menyatakan, sebagaimana wayang merefleksikan keanekaragaman hidup manusia dengan dikotomi yang nyata. Ada kiri dan kanan, tua dan muda, Kurawa dan Pendawa, yang pada dasarnya timbul dari adanya dualitas yang nyata dalam alam semesta: pria dan wanita, matahari dan bumi, gunung dan laut, siang dan malam. Atau kata Claire Holt, disimpulkan sebagai suatu dunia yang stabil berdasarkan konflik.***

SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik