Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Lingkungan Hidup, Kebudayaan, dan Nilai-nilai Kearifan Lokal



Oleh SUPALI KASIM


Pada dasawarsa 1950-an, ketika industri Jepang menggeliat dan bangkit setelah kalah perang, problem lingkungan mulai terasa. Pencemaran atau Kogai diartikan sebagai “gangguan umum”. Pencemaran itu tampak pada:

-          Asap dari pabrik-pabrik menghamburkan jelaga ke seluruh daerah.
-          Asap dari pertambangan yang mematikan pepohonan.
-          Air yang tercemar mencemari tanah dan merusak hasil pertanian.

Bukan hanya itu, dampak yang luas adalah:
-          Air limbah juga menggerogoti tubuh manusia, seperti minamata.
-          Pemompaan air untuk industri menyebabkan bidang-bidang tanah runtuh di beberapa tempat.
-          Desa-desa pertanian dulu menjadi korban pencemaran, sekarang menjadi sumber pencemaran.
-          Peningkatan produksi mendorong digunakannya pupuk kimia dan obat-obat kimia pembunuh serangga.

Boleh dikatakan pada saat peningkatan produksi secara cepat, peningkatan pencemaran secara cepat pula. Berbagai peraturan dan UU segera dibuat yang intinya adalah melarang pengotoran dan dan kerusakan lingkungan, yang menekankan perlunya pengembangan ekonomi sesuai dengan alam dan menetapkan patokan-patokan yang menyangkut tingkat-tingkat pencemaran udara, air, dan suara (Tadashi Fukutake:1988).

Problem Jepang sesungguhnya adalah problem semua negara industri. Bahkan dampak secara nyata juga menggerogoti seluruh negara di dunia.  Hal ini berkaitan dengan gaya hidup manusia di negara-negara industri yang menjalar ke negara-negara dunia ketiga. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme secara tidak langsung pada akirnya berkaitan dengan dampak lingkungan hidup (Emil Salim:1999).

Dasawarsa 1980-an dunia seola-olah terbagi dalam dua kubu besar, yaitu:
-          Kubu Pertama adalah negara industri yang penduduknya sekitar 1 miliar jiwa atau 20% dari penduduk bumi yang mencapai 5,3 miliar jiwa.
-          Kubu Kedua adalah negara berkembang dengan penduduk sekitar 4 miliar jiwa.

Kubu pertama dalam konsumsi hidupnya menggunakan:
-          2/3 dari persediaan global untuk baja
-          2,3 persediaan global untuk aluminimum, tembaga, nikel.
-          3,4 dari persediaan global untuk energi
-          daging sebanyak 4 X konumsi daging negara berkembang.

Bagi mereka tahun 80-an adalah dasawarsa konsumsi yang berlebian, seperti tercermin pada meledaknya penggunaan mobil, AC, televisi berwarna dan barang elektronik lainnya. Pengaruh secara sosial budaya tampak pada:
-          Perkembangan periklanan yang mencetakkan pengarunya pada budaya-populer.
-          Budaya shopping yang memakan bagian besar waktu manusia.
-          Arus mode yang memberi tekanan pada pergantian barang konsumsi menurut musim.
-          Perkembangan teknologi transportasi yang memacu mobilitas jangkauan ruang dengan laju konsumsi.
-          Budaya konsumsi, bukan lagi mencari kebutuhan tetap memuaskan keinginan. Bagi negara berkembang, dasawarsa 80-an adalah “dasawarsa yang sirna” (te lost decade). Asia Barat dan Afrika menderita penurunan pendapatan per kapita akibat turunnyabahan ekspor utama dan tingginya pelunasan utang luar negeri. Arus uang keluar dari negara berkembang ke negara indistri rata-rata 39 miliar dollar setahun. Jumlah ini berarti tersedotnya asil alam dari negara berkembang ke negara maju. Bencana kurang pangan, kurang air, penyakit melanda kawasan ini, sehingga tingkat hidup penduduk dalam keterbelakangan. Tumbuh budaya kemiskinan.

Negara industri dengan budaya konsumsi berlebih dan negara berkembang dengan budaya kemiskinan, membuat lingkungan hidup berada dalam keadaan terjepit. Timbul kerusakan lingkungan yang tercermin pada:
-          Makin naiknya suhu bumi dengan rata-rata 0,3 celcius per 10 tahun. Diperkirakan taun 2100 suhu bumi akan naik 3 derajat celcius.
-          Naiknya permukaan laut dengan rata-rata 6 cm per 10 taun. Diperkirakan taun 2100 mencapai 1 m.
-          Menipisnya lapisan ozon di atas kutub antariksa. Sinar ultra violet tidak lagi tersaring dengan baik, sehingga timbulnya penyakit kanker kulit dan katarak mata.
-          Ketidakpastian perubahan iklim.
-          Menyusutnya keanekaragaman hayati, yang mengakibatkan jumlah fauna dan flora terancam kelangkaan.
-          Proses penggurunan pasir, terutama di Afrika Utara. Angin kencang membawa pasir.
-          Kelangkaan air tawar, karena berkurangnya kemampuan alam menyerap air hujan, akibat pembangunan yang menutup permukaan bumi.
-          Meningkatnya Limbah Berbahaya dan Beracun, yang sulit mendapatkan tempat pembuangannya. Bahkan Singapura membuah bahan ini ke Indonesia.
-          Kotoran dan sampah manusia semakin banyak.
-          Tumbunya daera kumuh akibat proses urbanisasi, karena penduduk tidak bisa hidup dari hasil tanah.

Pola pembangunan konvensional negara industri berdampak luas ker seluruh dunia. Ada beberapa pendekatan baru bagi negara berkembang yang bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal:
-          Ditegaknnya etika lingkungan yang mengendalikan akal budi dan akal pikiran. Membeli mobil bukan lagi sebagai alat transportasi, tetapi lebi dari itu sebagai prestise dan jati diri. Apabila orang membangun rumah, tentu perlu kayu. Ingatlah, kayu dari hutan.
-          Nilai-nilai kearifal lokal tampak pada masyarakat tradisional. Ada tradisi mencintai bumi. Di Kab. Lamongan ada tradisi Sanggring. Di Tuban dan Bojonegoro ada tradisi sedekah bumi Manganan. Di Solo, Yogya, Kediri, Ngajuk ada Nyadran. Di Palu Sulteng ada ritual Lalabuh Sakaya (larung perahu). Di Indramayu ada Sedekah Bumi, Mapag Sri, Nadran, Ngarot, Di Kuningan ada Seren Taun. Beberapa daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir serupa, seperti ruwatan.
-          Ada beberapa tradisi mengusir kemarau panjang dengan adat “perang” atau “pertarungan” orang per orang. Tradisi ojung di Banyumas dan Madura diadakan jika hujan belum juga turun. Hal ini hampir sama dengan tradisi bandringan di Kapringan Kec. Krangkeng. Bahkan di Papua, perang harus diadakan lantaran bermakna simbol kesuburan dan kesejahteraan. Penyelesaiannya pun dengan ritus suci yang dihormati, diakui, dan dijunjung tinggi suku yang bertikai.

Keraifan lokal ini seringkali berubungan dengan hal-hal mistis, sebagai pengejawantahan dari dunia. Hal ini seringkali berebenturan dengan nilai-nilai agama (Islam) sebagai sesuatu yang bersifat bid’ah bahkan musyrik. Di balik itu kita harus mencari makna rasionalitasnya. Ritual nadran, sedekah bumi, mapag sri, ngarot yang memiliki dimensi mistis, harus diterjemahkan dalam pengertian dan makna secara rasional.

Indramayu, 24 Oktober 2007


*Disampaikan pada  kegiatan Sosialisasi Lingkungan Sehat oleh Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Provinsi Jawa Barat di Aula Kantor Kec. Sindang dan SMKN  II Indramayu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik