Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Maestro Seni dan Tradisi Regenerasi

-dimuat di Kompas Jabar

Oleh SUPALI KASIM

Maestro-maestro seni di tatar Cirebon-Indramayu memang pada akhirnya satu persatu pergi, karena takdir kematian. Sebuah takdir dengan berbagai sebab: usia renta, penyakit, atau bahkan kecelakaan lalulintas. Di sisi lain regenerasi seni menjadi bagian amat penting akan keberlangsungan seni tradisi, karena ketiadaan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang khusus mempelajari seni  Cerbon-Dermayon.

Tranformasi seni Cerbon-Dermayon selama bertahun-tahun berlangsung dalam lingkup keluarga seniman. Regenerasi dan sentuhan modernisasi dilakukan secara alamiah, tanpa ada eksplorasi apalagi pengkajian ilmiah. Hal ini berbeda, misalnya dengan eksistensi kebudayaan Sunda yang banyak ditopang pendidikan formal di Bandung seperti di STSI, UPI, atau Unpad, dan kebudayaan Jawa yang disokong STSI Surakarta, ISI dan UGM Yogyakarta, bahkan UI Jakarta.

‘Kawah candradimuka’ untuk penggondokan seniman di Indramayu dan Cirebon biasanya dilakukan oleh seniman maestro terutama terhadap anak-cucunya. Metoda pun bervariasi, dari pendekatan hati hingga sabetan rotan. Secara garis keturunan, anak-cucu tersebut memang menderas darah seniman. Ibaratnya, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Lingkungan rumah tiap saat juga bernuansa kesenian. Pengaruh yang sangat kuat adalah pendidikan informal secara hati maupun rotan tersebut.

Regenerasi maestro
Maestro seni Indramayu, Mama Taham (75) yang pernah memperoleh anugerah seni dari Gubernur Jabar maupun Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, salah satu contohnya. Sebenarnya tak hanya anak-cucunya, mereka yang di luar lingkungan keluarga pun tak sedikit, karena sikap keterbukannya, atau istilahnya, “baka gelem, menea, diblajari!” (kalau mau, ke sini, diajari). Darah seninya juga berasal secara turun-temurun, dari ayah-kakek-buyut-cangga, dst.

Anak, cucu, menantu dan keponakan mampu dididik menjadi seniman, seperti Sidem Permanawati (pesinden, penari), Wangi Indriya (perempuan dalang wayang kulit, penari, pesinden), Suheti (penari, pesinden), Sunanah (penari), Suparma (dalang wayang kulit), (pengukir), Haris (pembuat keris), Dasma Hadiwijaya (seniman macapat),  maupun Rakidi, Cucun Yan, Tayo, Sidu (pengukir). Beberapa cucunya ada yang lulusan atau tengah menimba ilmu di STSI.

Hal serupa juga pada keluarga Rasmin (dalang wayang kulit) dan istrinya Suminta (penari topeng), yang menurunkan putra-putri, Tomo (dalang wayang kulit), Tarih (pesinden, penari topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (pesinden), Darsinih (wiyaga), Rusdi (dalang wayang kulit), Encin Rosinta (pesinden), Duniawati (pesinden, pemain tarling),  puluhan keponakan, cucu dan cicit yang bergelut di dunia yang sama.

Meastro tari topeng Rasinah yang juga sudah mendapatkan anugerah seni dari gubernur maupun menteri, juga tak jauh berbeda. Didikan keluarga amat disiplin sejak kecil, termasuk melakoni berbagai puasa, seperti mutih (puasa hanya dengan makan nasi dan air putih saja), ngetan (saat berbuka hanya nasi ketan), ataupun puasa wali (puasa berturut-turut selama tiga hari atau tujuh hari, dst.) Suaminya, Amat, sangat mendukung sebagai pengendang. Anak-cucunya, yakni Wacih dan Aerli, kini melanjutkan eksistensinya.

Puluhan atau bahkan ratusan seniman lainnya memiliki latar belakang yang sama. Generasi demi generasi lahir. Maestro berbagai seni selalu bermunculan. Dalang Abyor, Warih Priadi, Akirna Hadi Wekasan, dsb. pada wayang kulit, Dalang Tayut, Taram, Asmara, Tarjaya, dsb. pada wayang golek cepak, pembuat kedok Royani hingga Sunewi, pesinden Carinih hingga Kamsiyah.

Meski demikian secara biologis tak sedikit pula yang tak mampu menciptakan regenerasi seniman, karena berbagai sebab. Ahmadi (dalang wayang golek), Domo Suraji, Salmin, Gendut Rumli (seniman sandiwara), Dariyah, Dadang Darniyah (pesinden, seniman tarling), Dirman Tjasim (seniman sintren), Jayana, Sugra (wiraswara tarling), adalah di antaranya. Meski demikian anak-anak secara ideologis tak sedikit jumlahnya.  Hampir semua seniman tarling bersentuhan dan dipengaruhi oleh Sugra, Jayana, Uci Sanusi, Abdul Ajib maupun Sunarto Marta Atmaja. Seniman sandiwara banyak berguru kepada Domo Suraji, Salmin, dan Gendut Rumli. Pesinden maupun wiraswara mengikuti petunjuk Carinih, Dariyah, Dadang Darniyah maupun Aam Kaminah. Dalang wayang berpusat pada komunitas sanggar di Tambi, Lohbener, Gegesik, dan lainnya.

Pendidikan formal
Ketika beberapa maestro sudah meninggal dan beberapa lainnya sudah uzur digerogoti usia, eksistensi mereka memang seakan-akan tak tergantikan. Seniman –dengan berbagai cabang seni pertunjukan-- dalam khazanah Cerbon-Dermayon identik disebut sebagai dalang. Sebagai seniman, para maestro sudah mencapai tingkatan dalang mukti (seniman yang juga melakukan syiar kebaikan dan kebenaran) dan dalang sejati (tak  semata-mata karena upah). Generasi berikutnya tak sedikit yang masih dalam taraf dalang makarya (lebih karena upah) dan dalang micara (melakukan kegiatan seni tanpa memahami filsafat dan karakter penokohannya).

Totalitas penghayatan, pengabdian, dan kecintaan terhadap seni dan kehidupan dianggap belum dicapai generasi berikutnya. Faktor waktu, pengaruh lingkungan sosial-budaya, godaan pragmatis dan hedonis sangat berpengaruh kuat dalam menghambat totalitas tersebut. Apalagi selama ini transformasi berlangsung secara alamiah. Tak sedikit pula yang awalnya atau pendalamannya secara otodidak. Kata kunci dari totalitas itu cenderung sebagai “cinta yang keras kepala” terhadap bidangnya.

Ke depan, tentu saja, jangan hanya bergantung pada regenerasi yang bertumpu pada transformasi kekeluargaan semata. Institusi pendidikan formal amat diperlukan. SMKI Pakungwati Cirebon yang sudah berdiri, agaknya perlu nutrisi baru agar tak lesu darah. Apalagi jika dikaitkan dengan fenomena ragam seni-budaya Cerbon-Dermayon yang dianggap berbeda dengan Jawa maupun Sunda. Pengkajian dan pendalamannya tidak tepat jika bergantung pada pendidikan formal di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, ataupun Jakarta. Sudah saatnya perguruan yang mengkhusukan seni-badaya Cerbon-Dermayon berdiri di Cirebon dan Indramayu untuk ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dan dikembangkan. ***

SUPALI KASIM, pemerhati budaya, tinggal di Indramayu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik