Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

“Awak-awak, Iwik-iwik, Owok-owok” Oleh SUPALI KASIM


-dimuat di PR Edisi Cirebon


Hajatan besar Pilian Bupati Indramayu sudah di depan mata. Agendanya, setelah penetapan calon (18/7/2010), kemudian hari nyoblos (18/8/2010) atau seminggu awal bulan Ramadhan. Bisa jadi, pelaksanaan pada bulan Puasa karena sudah sesuai jadwal. Bisa jadi pula sebagai suatu kesengajaan yang bertujuan meredam suhu politik yang memuncak.

Enam pasangan sudah ditetapkan. Dari jalur partai adalah pasangan Anna Sophanah-Supendi (”Andi”) diusung Partai Golkar (24 kursi DPRD) dan PKB (5 kursi), pasangan Uryanto Hadi-Abas Assafah (”Urab”) didukung Demokrat (5 kursi), PKS (4 kursi), Gerindra (2 kursi), PAN, PBB, PPRN, pasangan Gorry Sanuri-Ruslandi (”G&R”) disokong PDIP (7 kursi) dan Hanura (2 kursi). Dari jalur indepnden adalah pasangan Moelyono Martono-Handaru Wiijaya Kusuma, pasangan Toto Sucartono-Kasan Basari, dan pasangan Api Karpi-Rawita.  

Menentukan pemingpin Dermayu pada bulan puasa, mungkin ada hikmahnya untuk direnungkan. Bukankah sabda Nabi, "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Pada tahap ini, meminjam pendapat Yudi Latif, setiap individu harus memasuki fase kenosis (kekosongan). Suatu momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme.
Ibadah puasa merupakan suatu usaha kenosis yang mengajak setiap individu untuk berjarak dari tarikan duniawi demi memulihkan realitas dunia.

Yudi benar. Fase kekosongan akan membuat cabup-cawabup memasukkan renungan sebanyak mungkin. Lebih dalam lagi, apakah maju dalam pilian bupati lebih banyak didorong syahwat kekuasaan. Lebih luas lagi, diingatkan dalam pribasa Cerbon-Dermayon adanya  ”awak-awak, iwik-iwik, owok-owok”. Awak-awak berarti mengandung risiko yang besar dan memakan biaya yang banyak. Iwik-iwik diartikan bisakah melakukan manajemen keuangan yang baik dan hati-hati. Jangan sampai yang terjadi adalah owok-owok. Ketika gagal, meratapi biaya yang hilang percuma. Ketika menang pun,  saat menjalankan pemerintahan ora puguh alias be-je-be-ka (beli jelas beli karuan). Rakyatlah yang akan celaka.

Lebih arif lagi ucapan Ali bin Abi Thalib: "Rakyat tidak akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya, dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, maka akan kuatlah kebenaran di antara mereka, dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan."

Cermin besar
Pilkada pada bulan Puasa seperti memantulan cahaya dari cermin besar.  Para cabup-cawabup, mau tak mau harus berkaca pada cermin besar bernama puasa. Apakah sebelum kampanye hingga masa kampanye, syahwat (kekuasaan) bisa dikendalikan. Syahwat kekuasaan, sangat mungkin dalam berbagai wujud: politik uang, kampanye hitam, penggunaan fasilitas negara, hingga penggiringan dan penekanan pada pegawai. Sebagaimana nafsu syahwat, akal sehat dinihilkan dan nurani jernih dihilangkan. Sesuatu yang tersisa adalah bagaimana bisa berkuasa atau mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang menabrak peraturan, mengenyahkan etika, bahkan tutup mata terhadap hukum agama.

Cermin besar itu juga memantulkan peringatan, jangan sampai politik hanya dipahami semata-mata sebagai permainan yang kotor. Hanya dipahami sebagai upaya dengan berbagai cara apapun, untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan.  Ada pantulan lain, siapa yang berhasil mengendalikan hawa nafsu, dialah yang menjadi pemenang sejati dan berhak mendapatkan kemuliaan. Bukan siapa yang mengobarkan hawa nafsu (berkuasa) dan dengan cara apapun kemudian menjadi merasa menang.

Keterbukaan dan demokratisasi memang sesuatu yang baru di negeri kita, karena selama 32 tahun dikunci gembok rapat-rapat. Saat itu sulit menemukan politisi sejati, sebab yang ada hanyalah politisi model ”angglak, anggluk, engglek” (manut dan patuh  apa yang didinginkan dari atas). Akibatnya anggota dewan dikenal hanya ”datang, duduk, dengar, duit”.  Aspirasi rakyat tak terdengar. Saluran demokrasi macet.

Merah-putih
Pemilihan tanggal 18 Agustus bisa juga direnungkan dalam momen proklamasi. Klebet yang berkibar tentu diartikan sebagai keberanian berlandaskan kesucian. Ketika kran keterbukaan dan demokrasi terbuka, memang ada kegembiraan yang meluap-luap. Euforia yang seringkali kontraproduktif. Ada semacam keberanian yang menjadi-jadi, tetapi landasan kesuciannya sangat kecil. Jangan sampai terjadi warna merah dalam bendera lebih besar ukurannya, tetapi jangan pula sebaliknya.  Serasi, seimbang, dan selaras lebih tepat.

Keseimbangan juga perlu dalam memilih calon. Wong Dermayu seringkali mengedepankan teori ”babat, bibit, bebet, bobot”, yang bisa pula ditafsirkan sebagai akuntabilitas, keturunan biologis atau ideologis, kredibilitas, dan kualitas. Janganlah hanya memilih berdasarkan prasyarat salah satu saja. Semuanya harus menjadi bahan pertimbangan.

Muara semuanya tentu saja akan diukur, apakah rakyat menjadi sejahtera lahir-batin. Ataukah kemudian yang sejahtera lahir-batin hanya keluarga, kerabat, dan pendukungnya saja? Jika yang terjadi hanya mengedepankan nepotisme, haruskah bercermin pada konsep kepemimpinan tradisional yang memiliki kearifan lokal?

Amma Toa, misalnya. Pemimpin suku Kajang di rimba Sulawesi ini selalu mengedepankan filosofis, ”jika saya terpilih terpilih menjadi kepala suku, yang pertama sejahtera adalah rakyat dan yang terakhir sejahtera adalah kepala suku.” Bukan sebaliknya. Di balik filosofi ini tentu berkaitan erat dengan konsep kepedulian sosial, kasih sayang terhadap rakyat, dan mengenyahkan kepentingan keluarga dan kerabat.

Konsep ini dalam khazanah sastra Cerbon-Dermayu dikenal sebagai ”wutah-wutuh, gemi-gemet”. Wutah berarti mau dan ikhlas memberi. Tidak sulit bersedekah, zakat, dan peduli pada rakyat. Jika wutah, akan wutuh, sebab rakyat akan membela dan membentengi pemimpin dari marabahaya. Sapa sing gelem wutah, tinemu wutuh.

Orang yang tidak mau wutah atau gemi dan medhit, tidak akan mendapat balasan yang setimpal. Medit dalam arti luas, mencakup harta, kepedulian sosial, maupun kepemimpinan yang tidak arogan, tidak otoriter, dan tidak nepotis. Marabahaya yang datang kepada pemimpin model gemi dan medhit ini, akan dibiarkan oleh rakyatnya. Bisa jadi sampai hartanya habis, citranya rontok, dan kemulyaannya sirna, karena awalnya tak ada cinta kepada rakyatnya. Sing sapa gemi bakal tinemu gemet.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik