Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Carakan Oleh SUPALI KASIM


Dimuat di PR Edisi Cirebon

 

Apalah arti aksara kuna?

Selama berpuluh tahun, mungkin tak ada kepentingan yang demikian mendesak, ketika sesuatu yang dianggap lama, ditinggalkan begitu saja. Tak ada yang melarang, tetapi juga tak ada yang mengajurkan. Dengan demikian, sesuatu yang dianggap lama dan “jadul” bukan lagi “sembako” untuk kehidupan sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.

Lalu, apa artinya aksara kuna semacam Aksara Sunda, Jawa, Bali, atau aksara Carakan Cerbon, jika kehidupan sosial-masyarakat seakan-akan sudah meninggalkannya.  Budaya baru yang tercipta sudah lama tak meliriknya, dan lebih bahagia dengan sesuatu yang bergegas dengan hiruk-pikuk budaya yang konon modern. Demikian pula lalu-lintas ekonomi yang serba cepat, lebih berprinsip mana yang lebih efektif dan efisien untuk menunjang segala aktivitasnya. Pun, kehidupan politik, sesuatu yang akhir-akhir ini semakin keluar dari sumbu kepentingan orang banyak, seakan-akan tak memiliki relevensi sama sekali.

Sekian ribu tahun lalu, setidaknya ini menurut legenda, ketika aksara Jawa tercipta oleh Aji Saka setelah episode melakukan pembebasan dari kolonialisme Dewata Cengkar, mungkin bisa dimaklumi dengan dua hal. Pertama, cerita yang memang kebetulan  bisa di-kirata basa, sebagaimana setiap pemahaman orang Jawa terhadap fenomena tertentu.  Meskipun dalam hati dan otak, perasaan dan pemikiran, estetika dan rasionalitas, kenapa bisa rangkaian sastra itu berjalan berkelindan. Ha na ca ra ka  (ada dua orang utusan) da ta sa wa la (masing-masing berdebat merasa benar) pa da ja ya nya (sama-sama sakti mandraguna), ma ga ba ta nga (mati semua menjadi bangkai).

Kedua, ada pemahaman terciptanya aksara tersebut bukanlah kebetulan semata. Ada rangkaian perjalanan aksara-aksara di dunia yang saling terkait hingga terciptanya aksara Carakan. Menurut para ahli aksara, sebagaimana dikutip dari makalah Doddie Yulianto (2006), Carakan adalah anak keturunan dari huruf Pallawa, salah satu cabang dari aksara Brahmin, yang diturunkan dari aksara Aramea. Aksara Aramea merupakan aksara yang menurunkan aksara Arab, Hibrani, Parsi, Ughur dan Brahmin. Carakan ke Cirebon seiring berdirinya Kerajaan Cerbon pada 1479 M yang disokong penuh oleh Demak dan Giri.

Dus, aksara Carakan Cirebon dengan demikian produk kebudayaan yang bermetamorfosa beribu tahun seiring peradaban manusia. Akan tetapi, hal ini juga yang kemudian menjadikan kita seperti terperangkap dalam ketidaktahuan. Kalaupun tahu, kita terserang amnesia secara hebat, yang pada akhirnya menjadikan kita tak bersikap menghargai karena mengganggapnya tak bernilai. Aksara Carakan Cirebon, kemudian kita anggap antara ada dan tiada.

Agak pelik berpikir, kenapa bangsa Jepang yang kini diakui sebagai bangsa yang maju, demikian menghargai, menghormati, menggunakan, dan melestarikan aksara Kanji dan produk budaya Jepang lainnya. Tak sekadar basa-basi dalam bersurat, atau formalitas penamaan jalan, gedung, dan lainnya. Tak sekadar political will dari pemerintah untuk melarang aksara lain dan bahasa lain sebelum diterjemahkan dalam huruf dan bahasa Jepang. Tak sekadar jargon demi menjaga dan melestarikan. Lebih dari itu, ada kebanggaan, ada percaya diri, dan ada nilai yang bias dipetik dari produk kebudayannya sendiri.

Jepang, Cina, Thailand, India, negara-negera eks Uni Soviet, dan lebih-lebih negara-negara Arab mengakui adanya produk budaya mereka yang unggul. Ketika kembali ke diri kita, terasa ada sesuatu yang hilang dalam diri kita. Jangankan aksara Carakan menjadi aksara resmi daerah dan menjadi kebanggaan daerah, bakan bahasa daerah pun (juga bahasa nasional pun) terasa tidak lagi menjadi kebanggaan.

Ketika kembali ke Cirebon maupun Indramayu, begitu latah penamaan fasilitas umum dengan “residence”, “estate”, “regency”, “village”, “garden”, “townhouse”, “trade center”, “dept. store”, dsb. Penamaan yang tentu saja sah-sah saja, tetapi juga mencerminkan ketidakpercayaan diri. (Supali Kasim)***

1 komentar:

  1. persentuhan lintas budaya global (akulturasi) seringkali meninggalkan jejak. bukan hanya bangsa eropa atau India, Islam pun sama saja. yang perlu kita perhatikan, tanda dibalik nama-nama itu. karena itu adalah representasi dari sebuah kisah kelam, yang terkdang kita malas mengingatnya, seperti jalan Deandles.

    BalasHapus

statistik