oleh SUPALI KASIM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Wilayah kultural Cirebon merupakan tempat lahir kesenian tarling. Yang dimaksud wilayah kultural Cirebon adalah daerah tempat orang-orang yang memiliki kebudayaan khas Cirebon dengan ciri berbahasa Jawa dialek Cirebon, yang meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, sebagian wilayah utara Kabupaten Majalengka, sebagian wilayah utara Kabupaten Subang, dan sebagian wilayah utara Kabupaten Karawang.
Kesenian tarling lahir sekitar dekade 1930-1940, dengan alat musik berupa gitar dan suling bambu, yang berbunyi pentatonis gamelan. Buku Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling (Supali Kasim, 2002:14-15) menyatakan, salah satu versi asal-usul kata “tarling” adalah itar lan suling (gitar dan seruling). Versi lain menyatakan “tarling” mengandung filosofi yang juga berasal dari singkatan, yaitu “yen wis melatar kudu eling” (jika sudah berbuat negatif, harus insyaf). Versi kjedua itu dilontarkan seniman tarling, Sunarto Marta Atmadja, yang merujuk pendapat Ketua Badan Pemerintah Harian (BPH, sekarang disebut DPRD) Kabupaten Cirebon pada tanggal 17 Agustus 1962 di Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon.
Perkembangan tarling selanjutnya menunjukkan adanya bagian-bagian dalam kesenian tarling, yakni berupa lagu-lagu klasik, lagu-lagu modern, drama humor, dan drama panjang. Perkembangan lagu-lagu cukup pesat, terutama karena pengaruh musik dari luar wilayah, baik dangdut maupun pop. Sejak dekade 1960-an perkembangan lagu-lagu tarling menunjukkan kepesatan, dengan beberapa cirri yang dinamis, baik dilihat dari musik maupun lirik.
Pada saat sekarang, tarling telah berkolaborasi dengan berbagai musik dan telah memasuki pasaran nasional, bahkan internasional. Kebanyakan lagu yang beredar di pasaran telah menjadi dangdut Cirebonan. Dan kelihatannya, dangdut Cirebonan inilah yang akan tampak bertahan lama, karena karakter dangdut telah menyatu dengan budaya masyarakat Cirebon saat ini, bahkan tarling dangdut Cirebonan sudah dibungkus secara praktis dengan menggunakan organ tunggal (Dahuri, dkk., 2004:141).
1.2 Rumusan Masalah
Pesatnya perkembangan lagu-lagu tarling merupakan respon masyarakat, karena lagu-lagu tersebut bisa menjadi ekspresi kultural masyarakat pantai-agraris. Sejak dekade 1960 tampak sekali ada pergeseran tema, musik, maupun lirik pada lagu-lagu tarling. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, yakni:
1. Mengapa dari dekade ke dekade lagu-lagu tarling mengalami perkembangan yang cenderung berubah?
2. Faktor apakah yang memengaruhi perkembangan dan perubahan lagu-lagu tarling di tiap dekade?
3. Apakah lagu-lagu tarling bisa dimasukkan sebagai materi mata pelajaran di sekolah?
1.1 Tujuan Penulisan
Sebagai jenis kesenian yang lahir, tumbuh, dan berkembang di wilayah lokal Cirebon, ternyata perkembangan selanjutnya tarling juga dikenal di tingkat nasional. Penulisan ini berdasarkan kajian pustaka (buku dan kaset) untuk mengungkap sisi baik dan buruk lagu-lagu yang berkembang dari dekade ke dekade.
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1. Mengungkap beberapa contoh lagu tarling yang dianggap populer di setiap dekade.
2. Menelusuri factor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan perubahan lagu-lagu tarling setiap dekade.
3. Berupaya memberikan alternatif lagu-lagu tarling yang bisa digunakan untuk materi mata pelajaran di sekolah.
BAB II
APRESIASI LAGU-LAGU TARLING
2.1 Apresiasi Lagu-lagu Tarling Dekade 1960-1970
Buku Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling (Supali, 2002:21) menyebutkan kesenian tarling benar-benar mencuat pada sekitar dekade 1960-an dalam blantika hiburan rakyat. Kesenian tersebut mampu berdiri sejajar dengan jenis kesenian lainnya, seperti wayang kulit, wayang golek cepak, sandiwara maupun tayuban. Bahkan sejak 1970-an tarling sudah menerobos papan atas jumlah panggungan maupun rekaman kaset.
Secara esensial tarling menampilkan tiga unsur, yakni pergelaran musik, tembang, dan drama. Ketiganya manyatu dalam pementasan yang mengusung nilai-nilai kedaerahan, baik dalam laras, lagu, tema drama maupun bahasa pengantar yang dipergunakan. Beberapa instrumentalia dan “kerangka lagu” seperti tetalu, bendrong, barlen, kiser, Cerbon pegot, Dermayonan dan sebagainya sudah dikenal melalui alat musik gamelan.
Kondisi psikologis, sosiologis, dan kultural masyarakat agraris-pantai Indramayu-Cirebon merupakan kekayaan terciptanya lagu-lagu tarling, baik yang bersifat klasik maupun nge-pop. Secara spesifik problema sosial-masyarakat, guyonan, percintaan, maupun rumah-tangga, yang merupakan problema klasik masyarakat, merupakan nuansa yang seringkali diangkat menjadi tema lagu-lagu tarling. Tahun 1960-1970-an banyak mengusung lagu-lagu yang mulai nge-pop, tidak lagu yang klasik, dengan tema umum kemasyarakatan dengan irama yang tidak terlalu cepat.
Berikut contohnya:
Warung pojok
Ciptaan: H. Abdul Adjib
Akeh wong pada kelingan................... masakan
Ake wong pada kedanan...................... pelayan
Ora klalen kesopanan
Itung-itung kenalan
Yen tas balik jalan-jalan……………… mingguan
Mumpung bae tas gajian……………….kaulan
Warung pojok nggo ampiran
Ning sekabeh langganan
Reff:
Adu dendenge, mi rebuse
Sega gorenge, daginge sing gede-gede
Adu kopine, tobat bukete
Aduh manise, persis kaya pelayane
Pura-pura mata mlirik……………. menduwur
Padahal ati ketarik……………….... lan mawur
Nginum kopi mencrok nyembur
Dadi nyasar ning cungur
Melati Segagang
Ciptaan: Sunarto Marta Atmdja
Melati segagang
megar ning pekarangan
Angrum aruma wangi
langka sing nduweni
Putih suci murni
kakang kumbang sejati
Yen pengen diparani
Cucrupen madu asli
Du, sun sang kumbang
ngerubung pengen nrajang
Aja watir aja bimbang
Isun melati karang
Duh, sun melati wajib
sing ngati-ati
mene aja kepalang
kumbang sembarangan
2.2 Apresiasi Lagu-lagu Tarling Dekade 1980-1990
Perubahan tema lagu kemudian terjadi saat pada perkembangan dekade berikutnya. Tempo mulai agak cepat, karena mengikuti pengaruh musik dangdut nasional yang mulai merebak. Perubahan kultur semacam ini menurut buku Menusa Cerbon (Nurdin, 2009:10) meerupakan dialektika keterbukaan yang lebih banyak digambarkan, baik ditinjau dari runtut latar belakang sejarahnya. Kesenian tarling dianggap sebagai bentuk seni yang tak patuh pada tradisi. Ia selalu berubah dari masa ke masa sejak kelahirannya. Ketika masik dangdut mengintervensi tarling, maka tarling pun secara pelahan dan mungkin dilakukan tanpa sadar berubah gelar menjadi “tarling dangut”.
Pengaruh dangdut itu tampak dimulai pada dekade 1980-an. Lagu-lagu yang berkembang lebih dinamis. Lirik-lirik mulai bervariasi. Berikut ini contohnya:
Kawin Paksa
Ciptaan: H Udin Zhaen
Mana-mene wong tua bae
Kaya wong wis laka pikire
Priwe enake, priwe senenge
Wong rumah tangga kawin dipaksa
Pilihan wong tua
Bagen batin ora nerima
Nanging sayang ora kuasa
Najan kecewa batin kesiksa
Sabar tek trima bokat suratan
Takdir kang kuasa
Reff:
Mama, duh tegel temen
Maksa wong ora demen
Mama, duh tegel temen
Maksa wong ora demen
Dasar wong tua pancene tega
Tega nyiksa ning badan kula nelangsa
Pemuda Idaman
Ciptaan: Sadi M.
Pemuda idaman dadi impian
Pemuda idaman dadi bayangan
Duh kelingan ning matane
Duh kelingan ning meseme
Oh pemuda pujaan dadi bayangan
Pemuda pujaan semanis madu
Pemuda pujaan manis gemuyu
Duh kelingan ning matane
Duh kelingan ning meseme
Oh pemuda pujaan dadi rebutan
Reff:
Yen bli ketemu seminggu]tiku rindu
Perasaan gemeter seluruh tubuh
Yen bli ketemu semingguatiku rindu
Perasaan gemeter seluruh tubuh
Ha ha ya ya
Ha ha ya ya ya
2.3 Apresiasi Lagu-lagu Tarling Dekade 2000
Mulai dekade 1990-an hingga 2000-an tema lagu-lagu cenderung pada selera pasar. Bukan lagi nilai-nilai klasik masyarakat yang menyukai keindahan dan keserasian dalam kehidupan. Ada semacam “pemberontakan” dalam lagu-lagu tarling yang berirama dangdut, disko, dan sebaginya yang menjungkirbalikan kondisi psikologis dan sosiologis masyarakat melalui lagu-lagu yang bertemakan “keras” bakan cenderung pornografis (Supali, 2002:32).
Boleh dikatakan kata-kata yang dianggap cenderung pornografis itu hanyalah semacam “pembungkus” yang berkadar sensasional dan mengikuti selera pasar, akan tetapi sensasi sebenarnya justru bertemakan hal yang wajar, seperti tema nasehat, ajakan kebaikan dalam nmenjalankan kehidupan. Lagu-lagu seperti Barang Bunder Gatel (barang bundar gatal) sebenarnya tentang tiga daerah yakni Jatibarang-Kedokanbunder-Rawagatel yang dilalui jalur angkotan pedesaan. Lagu Bapuk dikonotasikan amba-empuk (lebar empuk), tetapi sebenarnya rumbah karo krupuk yang bermakna ajakan hidup sederhana. Lagu Dewa dikonotasikan barang gede dawa (besar dan panjang), tetapi ternyata beli gemede berwibawa (sifat tidak merasa sombong tetapi berwibawa).
Di samping menyerempet hal yang porno, tema lainnya juga cenderung liar dan penuh dengan keterbukaan. Berikut lagu-lagu yang sempat populer pada kurun waktu tersebut:
Mabok Bae
Ciptaan: E. Thorikin
Adu pusing, Kang...duh adung pusing
Pusing tujuh keliling
Rumah tangga laka senenge
Sampeyane mabok bae
Coba piker, Kang… dipikir dingin
Apa kakang bli isin
Wong mekaya saban dina
Sampeyane mabok bae
Reff:
Kudu inget ning masa depan
Aja nuruti napsu setan
Minum-minuman, mabok-mabokan
Ngrusak ning badan
Masih mending Kang, mabok dunya
Bisa nyukupi keluarga
Aja maboke mabok minuman
Bisa brantakan
Kucing Garong
Ciptaan: Usin Indra
Kelakuan si kucing garong
Ora kena ndeleng sing mlesnong
Maen sikat maen embat
Apa sing lewat
Kelakuan si kucing garong
Selalu ngolati sasaran
Asal ndeleng pepesan
Wajah bringasan
Reff:
Iku tandane wong lanang
sing sipate kaya kucing garong
awas kudu ngati-ati
yen kucing garong lagi beraksi
2.4 Apresiasi Budaya
Lagu-lagu tarling senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal itu juga karena sifat kesenian tarling yang bukan merupakan kesenian yang berasal dari dalam istana, yang memiliki pakem tersendiri. Kesenian tarling lahir dari tengah-tengah rakyat. Diperkirakan lahir sejak dekade 1930-an dan mulai terus berkembang hingga sekarang dengan mengalami perubahan demi perubahan, termasuk pada lagu.
Dilihat dari perkembangan sejak dekade 1960-an lagu-lagu tarling mulai mengalami perubahan. Awalnya hanyalah lagu-lagu klasik yang berasal dari lagu-lagu yang biasanya diiringi gamelan. Tokohnya yang populer adala Jayana, Abdul Ajib, Sunarto, Uci Sanusi, Dariyah, Asmadi, dan lain-lain. Sejak dekade 1960-an terjadi perubahan dalam irama yang agak cepat, yang menurut H. Abdul Adjib disebut “kiser gancang”. Sejak itu mengalami perubahan lagu karena pengaruh musik dangdut nasional. Bahkan tarling juga berkolaborasi dengan dangdut remix, disko, pop dan irama lainnya.
Syair lagu-lagu tarling bisa diaparesiasi sebagai ungkapan perasaan wong Cerbon Dermayu yang berlatar agraris-pantai. Ungkapan tersebut bertema problema kemasyakaratan, percintaan, ruma tangga, maupun ajakan kebaikan. Meski demikian ada juga yang tampil agak sensasional dengan mengetengahkan seakan-akan pornografi, tetapi ternyata bernada nasehat dan ajakan kebaikan.
Jika akan diketengakan dalam kelas di sekolah, ada baiknya memilih dan memilah lagu-lagu yang memiliki syair yang tidak sensasional. Hal itu supaya siswa tidak memiliki penafsiran yang bermacam-macam atau salah.
Lagu-lagu tarling merupakan produk budaya yang lahir sejak pertengahan abad ke-19 atau sesuatu yang baru. Meskipun baru, ternyata banyak digemari masyarakat Cirebon-Indramayu, karena kedekatan bahasa yanag digunakan yakni bahasa Cirebon-Indramayu. Perkembangannya cukup pesat hingga kini.
BAB III
SIMPULAN DAN PENUTUP
3.1 Simpulan
Tulisan ini dilakukan dengan penelusuran berdasarkan kajian pustaka (buku dan kaset) tentang lagu-lagu tarling dari masa ke masa. Berikut ini simpulannya:
1. Lagu-lagu tarling berubah dan berkembang sejak dekade 1960-an. Di setiap dekade terus mengalami perubahan dan perkembangan, karena tarling bukan kesenian yang berasal dari dalam istana, tetapi lahir dari tengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki pakem tertentu.
2. Faktor-faktor internal (kondisi psikologis, sosiologis, dan kultural masyarakat Cirebn-Indramayu) serta eksternal (pengaruh musik lain seperti dangdut) membuat lagu-lagu tarling mengalami perubahan dan perkembangan.
3. Jika akan dimasukkan sebagai materi mata pelajaran muatan lokal dan kesenian di kelas, sebaiknya dilakukan pemilihan yang selektif pada lagu yang syairnya tidak sensaional dan cenderung pornografis.
3.2 Penutup
Penulisan makalah ini mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk mengungkap sisi budaya dan kearifan lokal Cirebon-Indramayu melalui lagu-lagu tarling dari masa ke masa. Hal ini memperkaya khazanah budaya bangsa Indonesia dan wawasan dalam materi pelajaran di sekolah.
Kepustakaan:
Dahuri, Rokhmin, dkk. 2004. Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.
Noer, Nurdin M. 2009. Menusa Cerbon: Sebuah Pengantar Budaya. Cirebon: Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon.
Kasim, Supali. 2002. Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling. Indramayu: Dewan Kesenian Indramayu.
Kesenian tarling ternyata memiliki banyak falsafah yang bisa kita serap. Lestarikan kesenian tradisional tarling. Jangan lupa kunjungi juga blog musik http://musikindo99.blogspot.com
BalasHapus