Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Perempuan dalam Kultur Dermayu

Oleh SUPALI KASIM
Ujung tahun ini seakan-akan menegaskan kembali betapa penting keberadaan perempuan Dermayu. Kiprah politik Ny Anna Sophanah ditahbiskan secara formal sebagai Bupati Indramayu. Pemilu kepala daerah telah dimenanginya. Gugatan di Mahkamah Konstitusi dari para lawannya, yang notabene lelaki, telah dipatahkan. Tanggal 12 Desember 2010 Gubernur Jawa Barat melantiknya. Ia pun menjadi ”mimi” (ibu, bahasa Cerbon-Dermayu) bagi 2 juta warganya.
Perempuan dalam konsep kultur Dermayu memang menempati ruang yang terhormat. Upacara adat mapag sri, sedekah bumi, dan ngarot, yang dianggap berkorelasi dengan sosok perempuan, menempati posisi yang sangat penting. Folklor tentang Nawangwulan menunjukkan sisi penting kiprah seorang perempuan. Komunitas aliran kepercayaan Bumi Segandu (Dayak Losarang) juga mengagungkan perempuan dalam falsafahnya. Legenda Nyi Mas Endang Dharma Ayu malah dianggap sebagai cikal bakal nama Indramayu.
Mimi Bupati Anna Sophanah dengan demikian bukan sesuatu yang mengejutkan. Secara kultural ada sesuatu yang bisa ditarik benang merahnya. Perempuan dianggap menyemaikan dan menyuburkan kehidupan lewat sisi-sisi transendental. Ia berada di balik asal-usul padi, makanan pokok rakyat. Ia menyelinap sebagai tanah, pemberi kesuburan tanaman. Ia menjadi titik penting pusereng urip (pusat kehidupan). Ia juga memberi roh spirit jati diri dan langkah ke depan.
Padi dan kesuburan
Berabad-abad lamanya mitologi Dewi Sri tumbuh subur dalam masyarakat pertanian. Melalui tradisi lisan ataupun cerita ki dalang wayang, Dewi Sri bertalian erat dengan asal-usul padi, sesuatu yang paling dekat di hati masyarakat.
Melalui sang dewilah kehidupan diberi anugerah untuk terus berkelanjutan. Oleh karena itu, tanaman padi harus dijaga dengan tradisi mapag tamba (pengobatan). Diadakan juga mapag sri (menjelang panen). Wujud mulang trima (berterima kasih) diungkapkan melalui sedekah bumi, dengan menyandingkan dua sosok pengantin dari untaian bulir-bulir padi di depan pertunjukan wayang kulit di balaidesa.
Adapun upacara ngarot menegaskan kesuburan secara sim- bolik. Seusai arak-arakan bibit tanaman padi oleh para gadis desa dan alat-alat pertanian oleh jejaka desa, kesenian yang ditampilkan adalah simbol persilangan yang mengawinkan dua jenis kelamin berbeda. Gadis desa dihibur tari topeng lanang, sedangkan jejaka desa disuguhi tari ronggeng ketuk. Persilangan itu menghasilkan kesuburan tanah. Sementara kesuburan menumbuhkan kehidupan adalah peran perempuan.
Sosok bidadari Nawangwulan hidup dalam pemahaman masyarakat Indramayu, terutama di Desa Penganjang, yang konon berasal dari kata anjang-anjang. Bidadari tersebut seakan-akan mengajarkan bagaimana seorang istri harus berkiprah. Bagaimana mengolah padi menjadi gabah dan beras, lalu memasaknya menjadi nasi. Bagaimana membuat anjang-anjang (rangkaian kayu atau bambu yang diikat) sebagai tempat menggantungkan ayunan untuk meninabobokan bayi.
Dimuliakan, dihormati
Sosok perempuan demikian diagungkan pada komunitas aliran kepercayaan Bumi Segandu pimpinan Takmad Diningrat. Ibu Ratu atau Dewi Ratu, dalam pemahaman makrokosmos mereka, menempati posisi demikian sen- tral dalam kehidupan. Penghayatan mikrokosmos mereka menunjukkan bahwa ibu, istri, ataupun anak gadis harus dimuliakan, dihormati, dan tidak boleh disakiti. Implementasi lain adalah tanah harus dijaga, diolah, dan dipetik hasilnya secara optimal (vegetarian).
Nama Endang Dharma Ayu, dari legenda yang ditulis dalam beberapa manuskirp Babad Dermayu, konon menjadi nama daerah Darmayu, Dermayu, in-Dermayu, dan Indramayu. Sampai-sampai nama sosok perempuan itu diabadikan menjadi nama gedung olahraga, aula di sebuah universitas, nama perusahaan daerah air minum, nama apotek milik pemerintah, dan lain-lain.
Interpretasi kultural atas perempuan Indramayu memang bisa dideskripsikan dengan masif. Pengarusutamaan bisa berpusat pada revitalisasi sosok perempuan melalui pencitraan dewi, ratu, bidadari, endang, ataupun bumi. Kini, dalam jagat nyata kehidupan, sosok Mimi Bupati Anna Sophanah tentu saja tidak hanya berproses dalam pencit- raan secara kultural. Ada sisi-sisi lain yang juga penting menyangkut banyak hal, terutama bagaimana posisi seorang bupati, rakyat, dan daerahnya.
Secara politis, naiknya Anna Sophanah tak bisa dimungkiri terutama karena satu hal, yakni di belakangnya ada sang suami, bupati saat itu, Irianto MS Syafiuddin alias Yance. Jadilah ia seperti petahana. Ketika melangkah pun kini bayang-bayang itu tampaknya sulit lepas. Kultur masyarakat Indramayu, yang dilihat dari sisi indeks pembangunan manusia berada di urutan buncit se-Jawa Barat, dengan mudah diarahkan pada sosok petahana.
Pada situasi inilah Anna Sophanah naik. Kini, setelah menduduki kursi bupati, secara sosiokultural tentu saja ia bukan hanya perempuan yang diangankan legenda dan mitologi. Ia adalah pemimpin rakyat, bupati de facto dan de jure.
Kekhawatiran orang-orang akan mantan bupati yang bisa jadi mengalami post power syndrome, selalu memberi bayang-bayang, dan membuatnya hanya bupati de jure bisa dilihat dari langkah-langkahnya selama lima tahun ke depan. Begitu pula kekhawatiran akan terjadinya patriarki hingga dinasti (monarki). Hal ini seharusnya bisa menjadi energi yang melontarkannya melesat dalam program, kebijakan, dan pembangunan yang prorakyat.
Modal awal dari kultur Indramayu yang menempatkan posisi perempuan demikian agung mungkin menjadi pintu gerbangnya. Proses mengolah kultur inilah yang bisa dijadikan energi besar. Jika tidak, tuntutan kultur yang tinggi ini justru akan menjadi beban sejarah dan politik.
SUPALI KASIM, Mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu

1 komentar:

statistik