Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Konflik Psikologis Seorang Guru pada Cerpen “Bukan Badai di Desa Pantai” Karya K. Usman




Oleh:
S U P A L I  K A S I M

BAB I
PENDAHULUAN


1. 1 Latar Belakang
Dewasa ini peranan guru sebagai pendidik dan pengajar semakin penting bagi anak didik.  Guru merupakan salah satu unsur penting dalam instrumental input yang menggerakkan proses pendidikan berupa pengajaran, pendidikan, pembimbingan, evaluasi, kegiatan ekstra kurikuler, dan pengelolaan kelas. Bersama faktor-faktor lain dari instrumental input (kebijakan pendidikan, kurikulum, kepala sekolah, tata usaha, sarana, fasilitas, media, biaya), raw input (fisik, kesehatan sosial, afektif peer group), dan environment input (lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, lembaga sosial, unit kerja), peranan guru  ikut menentukan output/lulusan, yang bisa dilihat dari unsur pengetahuan, kepribadian, performance/penampilan lulusannya.
Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan adalah suatu sistem, karena banyak unsur-unsur yang menunjang untuk mencapai output yang diinginkan, yakni anak didik yang memiliki pengetahuan, kepribadian, dan penampilan. Sistem tersebut merupakan satu kesatuan yang terdiri dari sub-sub sistem yang masing-masing berfungsi dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain membentuk kesatuan. Artinya, bukan hanya faktor guru semata yang menjadi penentu keberhasilan pengajaran daan pendidikan, meskipun peranan guru juga penting.
Di sisi lain, anak didik atau siswa yang menjadi objek proses pengajaran dan pendidikan bukanlah benda mati, yang bisa diperlakukan seperti bahan mentah dan diproses seperti dalam pabrik, kemudian menjadi barang jadi sebagai output. Siswa adalah makhluk hidup, yang masing-masing memiliki sifat dan karakternya sendiri. Tugas pendidikan, sebagaimana kata Albert Einstein, adalah memanusiakan manusia. Menjadikan para siswa itu memiliki sifat dan karakter seorang manusia.
Dalam hubungan inilah guru harus mampu memahami dan menyelami sifat, karakter, dan perkembangan fisik dan jiwa masing-masing siswa. Untuk memahami dan menyelami hal itu, diperlukan ilmu tersendiri yakni psikologi, yang mempelajari perilaku, termasuk perilaku masing-masing siswa. Pemahaman terhadap ilmu ini sangat penting demi lancarnya proses pendidikan dan tercapainya output sesuai yang diharapkan.
Melalui cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman (Aksara, 1984:157-176) secara struktur bisa ditelisik adanya konflik psikologis guru dalam kedudukannya sebagai instrumental input. Konflik tersebut  mungkin tidak akan terjadi jika sebelumnya ilmu psikologi dikedepankan, terutama bagaimana menyelami dan memahami latar belakang masing-masing siswa terlebih dahulu untuk lancarnya proses pengajaran, pendidikan, pembimbingan, evaluasi, kegiatan ekstra kurikuler, dan pengelolaan kelas.
Meskipun hanya sebuah karangan fiksi berupa cerpen, pada hakikatnya karya sastra merupakan pengejawantaan kehidupan secara nyata. Ia menjadi cerminan kehidupan yang memantul melalui karya sastra. Oleh karenanya, cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman layak untuk dikedepankan sebagai sebuah problema pendidikan yang menuntut pembahasan secara psikologi. Dalam hal ini eksistensi sastra akan dipandang berdasarkan realitas. Eagleton dalam Endraswara (2008:17) menyatakan kejiwaan dalam sastra telah ada sehingga secara intensional tentu bermakna. Keberadaan dan makna tak perlu diperdebatkan. Ada keberadaan tentu bermana. Dalam kaitan ini, memahami kejiwaan sastra secara psikologis berarti sebuah keharusan.

1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang muncul dalam cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman cukup mendasar, yakni konflik psikologis pada diri tokoh utama, Pak Guru Amir. Meskipun hanya sebuah karya sastra, menurut Aminudin dalam Endraswara (2008:17) manusia riil dan manusia imajinatif tetap memiliki kedudukan sama penting. Keduanya tergantung realitas yang membangun makna. Oleh karena itu, jiwa manusia pun memiliki realitas tersendiri dalam sastra.
Kronologi cerpen tersebut bisa dilihat dalam sinopsis di bawah ini:
Pak Guru Amir adalah Wali Kelas III C sebuah SMP di kota kecil tepi pantai. Saat mengisi buku raport yang nilainya berasal dari masing-masing guru mata pelajaran, didapatkan sembilan anak tidak bisa naik kelas, karena angka merah pada beberapa mata pelajaran, termasuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesembilan anak itu sebagian besar anak orang penting dan kaya, serta banyak menyumbang materi untuk sekolah, seperti halnya Theo dan Delilah Syah.
Theo mendapatkan angka merah untuk empat mata pelajaran. Hal itu karena nilai hariannya buruk, kelakukanya tidak terpuji, tidak ikut ulangan umum, padahal ia anak cerdas. Hampir semua guru melaporkan hal itu. Guru Bahasa Indonesia, Ibu Kemala, yang sudah tua selama ini dibenci meraka.
Kesembilan anak yang tidak naik itu adalah Theo, Delilah Syah, Gunawan, Hedi, Sugiono, Ramsiati, Probo, Jabar Kampret, dan Juzuliah. Di mata guru-guru, mereka pongah, tinggi hati, merasa lebih dalam segala bidang. Tidak patuh terhadap disiplin sekolah. Pak Amir menuliskan pengamatannya di buku khusus, cermin pribadi anak. Ditulisnya, sering membolos, lupa kerjakan PR, suka melawan, nilai pelajaran sangat kurang. Agresif, pamer kemewahan yang justru untuk menutupi kekuarangan dalam pelajaran. Kurang cerdas. Sudah pendekatan ke rumah, sayangnya orang tua mereka acuh tak acuh dan menganggap sekolah bertanggungjawab penuh. Orang tua lepas tangan.
Pengalaman tahun lalu ada ada tujuh anak yang tak naik. Orang tua melakukan protes. Kepala sekolah, Pak Komar, diancam dengan surat kaleng. “Bila Bapak tidak menaikkan semua murid Kelas III C…jiwa Bapak taruhannya.” Kepala Sekolah mengundang semua guru untuk berembug. Menurut  Wali Kelas III C, ada 3 tiga anak yang suka menantang, sering membuat onar, dan semua guru dianggap musuh karena selalu memberikan angka yang jelek. Beberapa guru takut, karena khawatir akan nasib jabatannnya.
Pak Amir memiliki sikap yang idealis. Menurutnya, SMP kita berprestasi dalam bidang kesenian, olahraga, dan mata pelajaran lain. Nama sekolah harum di kota kecamatan yang terpencil itu. Oleh karenanya, nama baik sekolah harus dipertahankan. Harga diri guru-guru dipertaruhkan. Kalau sekali menjadi munafik, selanjutnya tak ada apa-apa lagi. Anggap saja ancaman  itu angin lalu.
Pendapat Pak Amir akhirnya diikuti Kepala Sekolah dan guru-guru. Namun setelah itu, ternyata berakibat fatal. Kepala Sekolah dimutasi ke kota kecil lain. Ketika Kepala Sekolah itu pamit, Pak Amir menangis. Ia merasa terbantai tetapi tak berdaya melawan. Dalam batinnya berkata, “Mengapa orang tidak boleh berpendirian untuk mempertahankan kebenaran atas nama keluhuran budi?”
Pak Amir adalah guru sederhana, jujur, idealis. Gambaran guru masa lalu. Naik sepeda tua dengan membawa tak kulit yang sudah usang. Pesan Pak Komar kepada Amir, “baik-baik di sini”, yang bisa ditafsirkan bermacam-macam makna, seperti jangan melawan arus, turuti saja apa kata pemimpin, jadilah pengekor yang setia, dan sebagainya.
Kepala Sekolah yang baru, Pak Ibrahim, teguh pendirian pada janji, tetapi dia hanya onderdil kecil dari kekuasaan yang besar. Dia anak buah atasannya. Menurutnya, kita ini pelayan yang bersikap. Yang diinginkan atasan adalah pelayan-pelayan yang patuh tanpa rasa kritis. Pak Ibrahim bertubuh gemuk, pendek, botak, berjanggut lebat. Ia merasa diperintah oleh atasan. Ia juga suka memerintah. Kebiasaan lainnya adalah mengurung diri di ruangan dan tak ramah pada guru, sehingga menjadi bahan pergunjingan dan ejekan guru.
Pak Ibrahim memanggil Pak Amir di ruangnya. Diperintahkan agar Pak Amir menjadi guru yang tahu situasi dan kondisi. Harus mengerti. Harus dapat menjaga diri, agar hidup menjadi tenang. Intinya supaya tujuh anak itu dinaikkan atau naik percobaan, karena orangtua mereka adalah orang berpengaruh dan banyak memberi sumbangan kepada sekolah.
Pak Amir kaget dan terbatuk-batuk. Pak Ibrahim menawarkan Pak Amir untuk cuti, dan raport diserahkan kepada Kepala TU untuk direvisi. Pak Amir merasa masa pengabdian 30 tahun lebih kini seperti terkena erosi. Idealisme, kejujuran, keteladanan seorang guru menjadi terguncang. Ia akhirnya minta berhenti di sekolah itu dan mengajukan pindah ke sekolah lain.
Permasalaan psikologis yang muncul setelah membaca sinopsis di atas dengan jelas menyangkut berbagai hal yang terlibat dalam penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan. Meskipun secara khusus konflik psikologis itu lebih ditujukan pada tokoh utama, Pak Guru Amir, gambaran umum menunjukkan gejala adanya ketidakberesan dalam raw input, instrumental input, environment input, proses pendidikan, hingga mengakibatkan output yang tidak bagus.

1.3 Rumusan Masalah
Konflik psikologis pada diri Pak Guru Amir merupakan mata rantai dari permasalan di tiap-tiap faktor penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan. Konflik tersebut merupakan akibat semata. Pak Amir merasa wajar, jika sembilan di Kelas III C itu tidak naik, karena berbagai sebab, seperti nilainya kecil, tidak mengerjakan PR, malas, tidak disiplin, suka melawan guru, pamer kemewahan untuk menutupi kekurangan, dan sebagainya.
Kepala Sekolah Pak Ibrahim beranggapan akan fatal akibatnya jika sembilan anak tidak dinaikkan, sebab orangtua mereka adalah orang kaya dan berpengaruh, serta banyak memberi sumbangan kepada sekolah.
Sembilan anak yang tidak naik kelas itu sesungguhnya anak-anak yang cerdas, tetapi orang tua mereka tidak memiliki kepedulian dan menyerahkan pendidikan mereka kepada sekolah sepenuhnya. Orang tua hanya mencukupi kebutuhan materi. Potensi kecerdasan mereka sulit digali dan dikembangkan Akibatnya mereka menjadi anak yang malas, suka melawan, dan bodoh.
Institusi di atas sekolah bersikap mengedepankan kondisi yang tenang. Tidak mau ada ribut-ribut dan tidak ambil pusing dengan argumentasi guru-guru tentang penegakan disiplin, dan konsekuensi tidak naik kelas bagi anak yang nilainya jelek. Atasan bahkan bersikap melakukan tindakan penekanan dengan memutasi kepala sekolah yang dianggap tidak mampu mencipatakan kondisi yang kondusif.
Dari perumusan masalah ini, timbul beberapa pertanyaan, antara lain:
1.      Mengapa Pak Guru Amir bersikap idealis mempertahankan argumentasinya?
2.      Mengapa sembilan anak itu menjadi anak yang bodoh, malas, dan suka melawan?
3.      Bagaimana proses pengajaran dan pendidikan yang semestinya agar siswa tidak malas, berdisiplin, dan menjadi pandai?
4.      Bagaimana peranan guru Bimbingan dan Konseling yang semestinya menghadapi sifat dan karakter anak yang tidak wajar tersebut?
5.      Mengapa Pak Ibrahim, Kepala Sekolah, berpihak kepada atasan dan orang tua siswa yang tidak naik kelas? Mengapa tidak berpihak kepada nilai-nilai idealisme pendidikan seperti yang ditunjukkan guru-guru?

1.4 Metode Penelitian
Untuk menelaah dan menguraikan permasalahan di atas, perlu digunakan metode penelitian yang kiranya tepat. Hal itu agar permasalaan yang sebenarnya dapat diketemukan secara jernih dan bisa ditelaah serta diuraikan untuk menemukan jalan keluarnya.
            Persoalan dalam penelitian ini muncul dari fenomena cerpen “Bukan Badai di Desa Pantai” karya K. Usman yang menggambarkan adanya konflik psikolgis dalam dunia pendidikan, terutama pada tokoh utama Pak Guru Amir dalam hubungannya dengan anak didik, kepala sekolah, orang tua siswa, dan lembaga pendidikan di atasnya. Persoalan itu sangat mungkin berkaitan dengan peristiwa aktual dalam kehidupan nyata. Penelitian dilakukan untuk mempelajari persoalan secara terperinci dengan menguraikan persoalan psikologis pada cerpen tersaebut sebagaimana adanya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode historis dan komparasi. Metode historis merupakan cara penelitian dengan mempelajari fakta, peristiwa, dan peninggalan sejarah masa lalu. Metode komparasi adalah cara penelitian dengan membandingkan kondisi variabel pada suatu tempat dengan kondisi variabel di tempat lain, atau antar masa (sekarang dengan sebelumnya).
Fakta yang dipelajari pada metode historis berupa kondisi psikologis yang terjadi pada diri tokoh-tokoh cerpen, terutama tokoh utama. Peristiwa yang diteliti menyangkut kronologis yang terjadi seperti yang dideskripsikan dalam cerpen tersebut. Peninggalan sejarah masa lalu berkaitan dengan kondisi pendidikan pada saat cerpen itu ditulis, yakni sekitar 1980-an. Gambaran itu bisa dilihat pada sosok tokoh utama Pak Guru Amir, seorang guru yang sudah tua dengan berkendaraan sepeda yang juga sudah tua dan  tas kulit yang sudah usang. Penggambaran ini tidak semata-mata pada sosok seorang guru, melainkan juga mewakili faktor-faktor pendidikan lainnya saat itu, seperti kurikulum yang digunakan, metode pengajaran yang biasa dilakukan, ataupun bentuk bimbingan dan konseling terhadap siswa.
Metode historis berusaha menyingkap fakta, peristiwa, dan peninggalan sejarah masa lalu pendidikan pada cerpen tersebut dengan tujuan memperoleh gambaran utuh persoalan psikologis yang terjadi. Metode komparasi berupaya membandingkan gambaran masa lalu pendidikan dalam cerpen tersebut dengan masa sekarang sebagai upaya memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang mengemuka.































BAB II
KAJIAN TEORITIS

Konflik psikologis yang menimpa tokoh utama Pak Guru Amir dalam hubungannya sebagai guru di sebuah SMP merupakan masalah dalam dunia pendidikan. Dalam hubungan ini penulis mengemukakan anggapan dasar sebagai berikut:
1.      Sikap idealis seperti yang ditunjukkan Pak Guru Amir merupakan prinsip yang utama pada diri seorang guru dan perlu dipertahankan meskipun harus berhadapan dengan akibat-akibat tertentu.
2.      Ilmu psikologi perlu dimiliki guru untuk mengetahui tingkah laku anak didik dan mampu menggali potensi anak didik sehingga menjadi pandai, rajin, dan hormat kepada guru dan orang tua.
3.      Proses pengajaran dan pendidikan harus memerhatikan kondisi psikologis anak didik agar potensi anak didik bisa tergali dan terarah sehingga mereka memiliki gairah dalam belajar, tidak malas, berdisiplin, dan menjadi pandai.
4.      Peranan guru Bimbingan dan Konseling diperlukan sebagai upaya mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah psikologis yang menimpa siswa maupun memberi arahan bagi siswa dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
5.      Nilai-nilai idealisme pendidikan perlu dimiliki seorang kepala sekolah sehingga kebijakan yang dijalankannya berorientasi pada tujuan pendidikan.
Setelah mengetahui anggapan dasar itu penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut:
1.      Ilmu psikologi diperlukan seorang guru maupun kepala sekolah dalam meneliti tingkah laku siswa dan menggali potensi siswa secara optimal.
2.      Metode pengajaran dan pendidikan harus disertai wawasan ilmu psikologi agar tujuan pengajaran dan pendidikan dapat tercapai.
3.      Peranan guru Bimbingan dan Konseling amat diperlukan untuk membantu kesulitan-kesulitan siswa dalam mengatasi masalah dirinya.
4.      Kurikulum dan metode pembelajaran yang tepat membantu siswa dalam mengoptimalkan potensi yang terpendam dalam dirinya.
Pentingnya psikologi pendidikan harus dikuasai guru dikemukakan banyak ahli pendidikan. Modul Orientasi Pembekalan Calon PNS (2004:5) menjelaskan, psikologi pendidikan adalah bagian dari ilmu psikologi yang menitikberatkan pembahasannya pada dunia pendidikan. Ruang lingkupnya sangat luas, menyangkut anak dan perkembangannya, belajar, proses dan jenisnya, mengajar beserta prinsip-prinsipnya. Manfaat yang dapat diambil dari psikologi pendidikan adalah guru menjadi lebih dapat memahami diri dan peserta didiknya sehingga mampu membuat desain instruksional dengan baik dan mampu membimbing serta mengarahkan perkembangan anak didiknya secara efektif dan efisien.






















BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Identifikasi Masalah
Permasalahan psikologis yang menimpa Pak Guru Amir, sejatinya juga menimpa juga pada diri anak-anak yang bermasalah, guru-guru lain, dan kepala sekolah. Meski demikian pangkal masalah adalah tingkah-polah sembilan anak yang mengakibatkan mereka terancam tidak naik kelas. Latar belakang sembilan siswa itu memang anak orang kaya dan sebenarnya anak cerdas, tetapi sikap mereka berlebihan, dan menganggap dirinya istimewa dalam kelompok.
Pendekatan Dreikurs dalam Danim, S. dan Kairil (2010:205) menguraikan empat tujuan sikap tidak layak para siswa. Tujuan ini merupakan tujuan yang salah: 1) mendapatkan perhatian, berupa keinginan untuk mendapatkan perhatian istimewa, 2) mencari kekuasaan, berupa keinginan untuk membuat orang lain melakukan apa yang mereka inginkan atau menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak akan melakukan apa yang diinginkan orang lain, 3) pembalasan dendam, berupa keinginan untuk menyakiti orang lain sebanyak mereka merasa disakiti oleh orang lain, dan 4) menarik diri, berupa keinginan untuk dibiarkan sendiri.
Secara psikologis, permasalahan yang menimpa warga sekolah tersebut bisa diidentifikasi sebagai berikut:
1.      Permasalahan Pak Amir.
      Pak Amir merasa sebagai guru sudah melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan bahkan idealis. Ia tidak mau diintervensi oleh hal-hal di luar pendidikan menyangkut putusan naik atau tidak naiknya seorang siswa, kecuali karena nilai raport. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari nilai harian, ulangan semester, kehadiran, maupun tingkah laku siswa. Ketika ia diintervensi oleh hal-hal di luar pendidikan agar siswa yang tidak naik menjadi naik, ia memilih untuk meninggalkan sekolah tersebut.
2.      Permasalahan sembilan siswa yang tidak naik (Theo, Delilah Syah, Gunawan, Hedi, Sugiono, Ramsiati, Probo, Jabar Kampret, dan Juzuliah).
Meskipun pada dasarnya mereka cerdas, di mata guru-guru, mereka pongah, tinggi hati, merasa lebih dalam segala bidang. Tidak patuh terhadap disiplin sekolah. Sering membolos, lupa kerjakan PR, suka melawan, nilai pelajaran sangat kurang. Agresif, pamer kemewahan yang justru untuk menutupi kekuarangan dalam pelajaran. Kurang cerdas. Sudah pendekatan ke rumah, sayangnya orang tua mereka acuh tak acuh dan menganggap sekolah bertanggungjawab penuh. Orang tua lepas tangan.
3.      Permasalahan Pak Komar
Ia merupakan kepala sekolah yang konsekuen terhadap tugas-tugas pendidikan. Ia juga menghormati putusan guru yang tidak menaikkan siswa yang memang tidak layak naik. Sikap tegasnya itu justru tidak disukai atasannya. Ia dimutasi ke sekolah lain.
4.      Permasalahan Pak Ibrahim
      Teguh pendirian pada janji kepad atasan, tetapi dia hanya onderdil kecil dari kekuasaan yang besar. Dia anak buah atasannya. Menurutnya, kita ini pelayan yang bersikap. Yang diinginkan atasan adalah pelayan-pelayan yang patuh tanpa rasa kritis. Ia merasa diperintah oleh atasan. Ia juga suka memerintah. Kebiasaan lainnya adalah mengurung diri di ruangan dan tak ramah pada guru, sehingga menjadi bahan pergunjingan dan ejekan guru.
Memerhatikan permasalahan-permasalahan tersebut, kiranya perlu dikedepankan psikogi pendidikan, karena disiplin psikologi pendidikan pada dasarnya mencurahkan perhatiannya pada perbuatan atau tindak-tanduk orang-orang yang belajar dan mengajar, karenanya psikologi pendidikan memiliki dua objek riset dan kajian, yaitu:
1.      Siswa: orang-orang yang sedang belajar, termasuk pendekatan, strategi, faktor yang memengaruhi, dan prestasi yang dicapai.
2.      Guru: orang-orang yang berkewajiban/bertugas mengajar, termasuk metode, model, strategi, dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian materi bahan ajar.
Surya (1985:64) menjelaskan karakteristik siswa sebagai pelajar harus diperhitungkan dengan sebaik-baiknya. Di antara faktor yang merupakan karakteristik siswa sebagai pelajar dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) kematangan mental dan kecakapan intelektual, (2) kondisi fisik dan kecakapan psikomotor, (3) karakteristik afektif, (4) pengaruh kondisi rumah dan sutuasi sosial, (5) usia, dan (6) jenis kelamin.
Selain karakteristik siswa, guru harus mengetahui karakteristik dirinya sendiri sebagai sebuah usaha pemahaman terhadap perkembangan psikologis dirinya. Dalam hal ini faktor karakteristik guru ikut memengarui proses belajar, yakni (1) karakteristik intelektual, (2) kecakapan psikomotor, (3) karakteristik afektif, (4) umur, (5) jenis kelamin, dan (6) kelas sosial.
Interaksi guru dan siswa juga merupakan hal yang penting, sehingga tidak terjadi ketidaktahuan guru akan masalah yang diadapi siswa.

Hal yang lebih penting lagi adalah kegiatan pelajar (siswa) dan pengajar (guru) dalam proses interaksi belajar-mengajar. Semuanya memiliki karakteristik yang unik, termasuk di dalamnya tingkah-laku interaksi antara guru dan siswa tidak hanya terbatas dalam bentuk bicara dan berbuat saja, tetapi termasuk proses kegiatan lain seperti pengenalan, berfikir, penilaian, kegiatan, efektif, dan sebaginya (Surya, 1985:79).


3.2 Pembahasan Masalah
Melihat objek riset dan kajian dalam psikologi pendidikan, kiranya permasalahan-permasalahan di atas dapat diidentifikasi sebagai permasalahan dunia pengajaran dan pendidikan umumnya dan warga sekolah pada khususnya. Oleh karenanya pembahasan permasalahan tersebut harus mengupas keseluruhannya, baik siswa, guru, maupun kepala sekolah, serta orangtua.
            Permasalahan yang muncul tersebut dapat dikatakan sebagai permasalahan psikologis, sehingga alternatif pemecahannya dapat dilakukan dengan menawarkan psikologi pendidikan.
Sikap idealis Pak Guru Amir sebagai guru seharusnya dibarengi pula dengan pemahaman perkembangan sosio-emosional siswa, terutama siswa yang dianggap bermasalah. Siswa bermasalah jangan hanya dari sisi akibatnya semata, tetapi arus memahami konflik psikolgis dan perkembangan kejiwaannya. Peranan guru Bimbingan dan Konseling juga diperlukan sebagai upaya mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah psikologis yang menimpa siswa maupun memberi arahan bagi siswa dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Demikian pula nilai-nilai idealisme pendidikan perlu dimiliki seorang kepala sekolah sehingga kebijakan yang dijalankannya berorientasi pada tujuan pendidikan.
Menurut Danim, S. dan Khairil (2010:201) jika masalahnya ada pada siswa, fungsi utama guru adalah mendorong siswanya untuk menjelajahi situasi secara verbal. Untuk mencapainya, dia harus membiarkan siswa mengetahui bahwa guru memahami apa yang diceritakannya dan menerimanya sebagaimana adanya. Untuk mendemonstrasikan secara baik penerimaan maupun pengertian guru mengenai keadaan siswa, dia tidak perlu melakukan apapun, tidak mengatakan apapun, malah mengundangnya untuk berbicara lebih banyak, atau melakukan konsultasi dengan siswa secara aktif. Respon-respon tersebut akan menyebar keadaan emosi apa pun yang dialami siswa dan akan memberikan kesempatan memecakan masalah secara rasional baginya.
Dalam ranah psikologi, semakin banyak mempelajari perkembangan anak semakin banyak pemahaman kita tentang cara yang tepat untuk mengajari mereka. Perlu pemahaman terhadap siswa, yang tengah menapak tahapan-tahapan perkembangan. Pada masa kanak-kanak sebagai masa pertumbuhan dan perubahan yang penting, yang menyangkut psoses biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Pada proses biologis memang tampak perubahan dalam tubuh anak. Tampak juga warisan genetik memainkan peranan penting. Hal itu menjadi landasan perkembangan otak, berat dan tinggi badan, kemampuan gerak, dan perubahan hormonal di masa puber. Sedangkan pada proses kognitif terjadi perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan bahasa anak. Proses sosioemosional terjadi pada perubahan dalm hubungan anak dengan orang lain, perubahan  dalam emosi dan perubahan dalam kepribadian.
Usia anak-anak yang bermasalah itu juga tergolong sebagai masa adolescence (remaja), sebuah transisi dari masa anak-anak ke usia dewasa, yakni usia 10/12 sampai 18/20 tahun. Pada masa usia tersebut, perlu juga diketahui Teori Rentang Hidup Erikson, yakni adanya Identitas versus Kebingungan Identitas untuk remaja (10 – 20 tahun).
Hal lain yang perlu ditekankan yakni tentang Konteks Sosial dalam Perkembangan. Di dalam keluarga, anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda. Perlu juga diketahui gaya pengasuhan (parenting) masing-masing siswa bermasalah, yakni apakah termasuk authoritarian parenting (gaya asuh yang bersifat membatasi dan menghukum, sehingga menghasilkan anak yang tidak kompeten secara sosial) ataukah authoritative parenting (gaya asuh positif yang mendorong anak untuk independen, sehingga menghasilkan anak yang kompeten secara sosial).
Perilaku menyimpang pada diri sembilan anak yang bermasalah, kiranya perlu dengan pendekatan psikologi. Tampaknya tidak cukup dengan pendekatan Aliran Empirisme yang dikemukakan John Locke dengan doktrin tabula rasa (anak sebagai lembaran kosong), yang menekankan arti penting pengalaman. Intinya anak tak punya kemampuan dan bakat apa-apa, anak hendak menjadi apa kelak bergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya. Kiranya perlu juga dilakukan dengan Aliran Konvergensi (Louis William Stern), yang merupakan gabungan antara aliran empirisme dengan aliran nativisme. Aliran ini memandang adanya dua faktor yang berpegaruh terhadap mutu perkembangan siswa, yakni:
1.      Faktor intern: faktor yang ada dalam diri siswa itu sediri, pembawaan dan potensi psikologis tertentu.
2.      Faktor eksteral: hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa dengan lingkungannya.
Sembilan anak tersebut juga harus mendapatkan perhatian khusus dari Guru Bimbingan dan Konseling, karena mereka tergolong sebagai Siswa yang Tidak Biasa (Exceptional). Mereka adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau ketidakmampuan dan anak yang berbakat. Semiawan, dkk. (1992:62) memberikan usulan, dalam hal ini perlu adanya bentuk perbedaan layanan kebutuan pendidikan luar biasa (special education needs) karena sifatnya yang amat khusus, tetapi kategorisasi keunikan tersebut sejauh mungkin hendaknya dihindari. Anak diperlakukan sebagai suatu keutuhan dengan deskripsi yang amat rinci tentang kekuatan dan kelamahan.
Di sisi lain faktor psikologis dan eksistensi guru juga harus diketahui. Menurut Beth Lewis dalam Danim, S. dan Khairil (2010, 258-260), guru-guru baru dan guru menjelang veteran akan bekerja keras untuk bersungguh-sungguh mengindari perangkap umum yang dapat membuat pekerjaan mereka lebih keras daripada yang inheren. Bantulah untuk mengindari perangkap kesalahan secara umum.
Di antara sepuluh kesalahan, tampak dua di antaranya cenderung sebagai penyebab konflik pada diri Pak Amir, teman-temannya, dan kepala sekolah, yakni “tidak menyiapkan organisasi kerja yang benar dari awal” dan “meminimalkan sumbatan komunikasi dan keterlibatan orang tua”.
Setelah mengetahui ilmu psikolgi dan psikologi perkembangan masing-masing siswa yang dianggap Siswa Tidak Biasa, seharusnya konflik-konflik psikologis tidak terjadi lagi. Peranan guru, termasuk Pak Amir, guru BK, dan kepala sekolah bukan hanya menilai apa adanya dari kemampuan dan tingka laku siswa. Lebih dari itu sebelumnya melakukan upaya penelusuran latar belakang permasalaan secara komprehensif, semacam diagnosa untuk mengetahui apa sesungguhnya permasalahan mereka dengan melihat berbagai sisi perkembangan kejiwaan dan kehidupan mereka. Setelah mengetahui, dilakukan bimbingan secara intensif dan terus-menerus untuk menggali potensi mereka dan mengarahkannya sesuai tingkat perkembangan sosioemosional mereka.








BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Simpulan
Melalui cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman, dan pembahasan dari sudut psikologi pendidian, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Meskipun hanya karya sastra, cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman merupakan realitas imajinatif dan realitas riil. Konflik psikologis dalam cerpen tersebut bisa menjadi pelajaran untuk memahami kondisi psikologis guru, siswa, maupun kepala sekolah.
2.      Konflik psikologis yang menimpa Pak Amir, guru-guru lain, sembilan siswa bermasalah, dan kepala sekolah bisa diidentifikasi permasalahannya sehingga bisa diketemukan solusi pemecahannya melalui psikologi pendidikan. Sikap idealis Pak Amir adalah hal yang penting, tetapi yang lebi penting lagi adalah bagaimana memahami karakteristik dan kondisi psikologis anak-anak yang bermasalah sebelumnya.
3.      Pendekatan psikologis perlu dilakukan dalam menghadapi sembilan anak bermasalah sejak dini, sehingga tidak perlu terjadi konflik sebagai akibat penanganan yang tidak komprehensif.
4.      Perlu pendekatan khusus bagi sembilan anak bermasalah. Dalam hal ini mereka perlu diperlakukan sebagai siswa yang mendapat kebutuhan khusus, meskipun tidak secara formal.
5.      Guru Bimbingan dan Konseling (BK) harus mampu mengedepankan fungsi dan peranannya sebagai pembimbing mental dan tempat kolsultasi bagi seluruh siswa, terlebih-lebih bagi siswa yang bermasalah, sehingga bisa diketemukan permasalaan yang melatarbelakangi sikap nakalnya siswa bermasalah itu.
6.      Kepala Sekolah perlu memahami fungsi dan peranannya bukan hanya sebagai bawahan dari atasannya, tetapi lebih dari itu adalah pengayom, pembimbing, dan pengarah bagi guru-guru dengan memahami fungsi guru dan siswa sesuai ranah psikologi pendidikan
 Rekomendasi
Permasalan yang timbul dalam cerpen “Bukan Badai di Tepi Pantai” karya K. Usman, pembahasan, dan simpulannya dapat direkomendasikan untuk:
1.      Guru dan kepala sekolah di seluruh tingkatan, yang sangat mungkin mengalami dan menghadapi konflik yang serupa.
2.      Guru Bimbingan dan Konseling, yang peranan dan fungsinya amat diperlukan ketika menghadapi konflik-konflik semacam ini.
3.      Mahasiswa S-2 Pendidikan agar lebih mampu memahami pentingnya mata kuliah Psikologi Pendidikan.








DAFTAR PUSTAKA

Biro Kepegawaian Setjen Depag RI. 2004. Psikologi Pendidikan (Modul Orientasi Pembekalan calon PNS). Jakarta: Depag RI.

Danim, S. & Khairil. 2010. Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru). Bandung: Alfabeta.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra: Teori, Langkah dan Penerapannya. Yogyakarta: Medpress.

Himpunan Pengarang Indonesia Aksara. 1984. Guru (Kumpulan Karangan Himpunan Pengarang Indonesia Aksara). Jakarta: Aries Lima.

Semiawan, C., Utami Munandar, & Agus Tangyong. 1992. Pengenalan dan Pengembangan Bakat Sejak Dini. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Surya, Moh. 1985. Psikologi Pendidikan. Bandung: Publikasi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik