Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Lakon “Rahwana Sinta” Teater Cassanova: Nota Pembelaan Sang Rahwana



Oleh SUPALI KASIM

Sosok Rahwana sepintas seperti anggota gank motor, atau mungkin juga anak punk. Berjaket dan bercelana jins ketat bolong-bolong, sepatu kets, kaos hitam, syal, sarung tangan, dan rambut bercat biru. Sosok yang, tentu saja, keluar dari pakem. Ia bahkan menggugat perspektif sosial yang memvonisnya bersalah, mengungkap politik picik Dewa-dewa, dan mengapungkan sisi kemanusiaan akan agungnya cinta.


Tafsir kekinian yang sarat muatan psikologis dan filosofis itu diadaptasi dalam problema manusia kekinian. Teater Cassanova, Bandung, menafsirkan dan mementaskannya selama tiga hari (21-23 November 2010) di Panti Budaya Indramayu. Beberapa hari kemudian  dipentaskan pula di Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon. Berdasar cerpen Hermawan Aksan, Sang Angkara, secara substansi gugatan itu sudah dimulai. Gugatan sekaligus nota pembelaan secara ontologis maupun epistemologis.

Sepanjang babak sekitar 90 menit, Rahwana melakukan nota pembelaan itu. Dirinya bukanlah penculik. Sinta yang dibebani rasa ditinggalkan dan sendirian justru tertarik. Dewa-dewa agung melakukan konspirasi politik. Rama dibela Dewa, karena ia sosok yang ideal dan baik. Lalu, ketika perang besar berkecamuk, mengapa hanya Rahwana yang  menjadi kambing hitam yang tengik?

Interaktif
Ocky SandiLemon yang menggarap teks sekaligus menjadi Rahwana dan sutradara, menyuguhkan pertunjukan dengan konsep teater interaktif. Di tangannya, teater tak bertele-tele dan tak repot. Gedung pertunjukan yang sebenarnya adalah aula dimaksimalkan fungsinya. Penonton dan aktor tak berjarak, bahkan menjadi bagian dari pertunjukan. Ada komunikasi, ada dialog. Berkali-kali Rahwana berdialog, mendekat, berbisik, ataupun bersentuhan. Terasa wajar, ketika penonton pun merasa empati dan simpati pada sosok Rahwana. Ketika Rahwana bertanya ’apakah dirinya bersalah’, secara spontan dijawab ’tidak’.

Konsep teater interaktif seperti ini mengingatkan publik Indramayu dan Cirebon pada pertunjukan seni tradisional tarling. Melalui drama berlatar problema sosial-budaya masyarakat, tarling seakan-akan mengajak penonton untuk melakukan apresiasi bersama. Penonton menjadi bagian tak terpisahkan. Penonton menjadi pemain yang kesekian. Penonton pun seringkali bertindak hiperaktif dengan membela tokoh yang teraniaya, dan mengeluarkan sumpah-serapah pada pemain yang dianggap menganiaya.

Itulah sebabnya, nota pembelaan Rahwana dengan mudah diamini penonton, sang apresiator yang hatinya telah tertawan tokoh teraniaya. Penggiringan empati dan simpati terhadap Rahwana bahkan dimulai sejak awal. Kesan pertama Rahwana bukanlah sosok si buruk rupa. Ia bergaya anak muda, lincah, bebas tanpa beban, trendy, dan cakep. Ia beralibi secara retoris, kejahatan kadangkala bukan karena niat. Ada kesempatan, kondisi, dan sejarah. Bahkan judul lakonpun membelanya. Bukan Rama Sinta, melainkan Rahwana Sinta.

Dari sisi humanis, ia seperti mengiba, apakah salah memiliki rasa cinta? dan rasa itu dari seorang yang buruk rupa? Di sisi lain secara flashback, ia salahkan Sinta yang justru membaurkan diri dalam perasaan iba saat dalam tawanan cintanya. Ia juga menyudutkan Rama yang mudah terpancing emosinya lalu mengobarkan perang, yang mengakibatkan kematian ribuan rakyat.

Rama, dengan demikian, serta-merta ditolak hati penonton. Ia bukanlah protagonis. Sebaliknya, Rahwana bukanlah antagonis. Visualisasi hitam-putih yang secara cermat mudah dibolak-balik. Jika pakem pewayangan menyebutkan Rama dibela Dewa-dewa, menjadi sosok yang teraniaya karena istrinya direbut paksa, dan melakukan peperangan karena membela kehormatan, sebaliknya dalam tafsir teater ini. Rahwanalah yang dibela skenario dan sutradara, menjadi sosok memelas karena eksistensi dan cintanya dikerdilkan, dan melayani perang karena keterpaksaan.

Perang dan cinta
Secara kemanusiaan, lakon ini mengingatkan kembali akan bahaya perang. Visualisasi perang antara Rama dan Rahwana, serta rakyat negara Pancawati dan Alengka dicuplik secara apik melalui potongan-potongan gambar perang wayang kulit, Perang Dunia II, perang di Kamboja, Afrika, Bosnia, Iran-Irak, dsb. Akibat perang juga diumbar dengan foto-foto mayat bergelimpangan, tentara yang cacat dan mukanya penuh jahitan, antrian kelaparan, perempuan dan orangtua berdarah-darah, atau anak kecil terluka. Lagu pedih Iwan Fals tentang perang yang mengiringi, menghadirkan kemanusiaan yang tercabik-cabik.

Di balik semua, persoalan terasa demikian sepele dan melankolis: disebabkan cinta?

Memang selama ini terlalu banyak muatan cinta di dalamnya. Tak hanya persoalan rasa atau perasaan. Cinta memiliki dimensi yang luas, bahkan termasuk kehormatan, harga diri, politik, dan perang. Lakon Rahwana Sinta, sekali lagi, terasa terbebani oleh nota pembelaan terhadap Rahwana, tetapi juga terbebani oleh pakem antagonis Rama. Beban yang kemudian terasa asyik ketika kebenaran selalu harus diburu dan dicari. Bahkan kitab sastra jendra dan eksistensi Dewa-dewa ternyata bukanlah kebenaran mutlak. Sangat mungkin pula, pembongkaran terhadap pakem dominan inipun bukan pula kebenaran yang mutlak dan sakral.

Secara aksiologis, benar apa yang diungkapkan Rahwana di akhir cerita, “Aku selalu hidup!”. Ya, perang dan cinta selalu hidup. Petik hikmah itu.

SUPALI KASIM,
 penonton teater, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik