Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Hari Jadi Indramayu, Sebuah Kontroversi



Oleh SUPALI KASIM


Tanggal kelahiran atau hari jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.  Dasarnya sebagai momentum “proklamasi”, identitas dan jatidiri daerah. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Hal itu merupakan rangkaian dari penetapan buku “Sejarah Indramayu”. Buku itu disusun Tim Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan SK Bupati Indramayu No. 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13 September 1976. Menurut penelitian tim tersebut, peristiwa itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 1, bulan Sura, tahun 1449 Saka., atau tanggal 1, bulan Muharam, tahun 934 Hijriyah. yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 Masehi.

Argumentasinya adalah Wiralodra datang ke Indramayu tahun 1432 Saka atau 1510 Masehi. Hal itu didasarkan pada penafsiran candra sengkala pada isi lontar: awit wijiling locana / bermara angleng ing tawang / kang lembu pedet nusoni / jong layar sumengkeng wukir / kuda ngerap pandengan ning/ candra ning sangkala tahun / amangun nagara nira / nulya Wiralodra kaki / hajejuluk Prabu Indrawijaya. Bait ke-2 mempunyai nilai angka 2, ke-3 bernilai 3, ke-4 bernilai 4, dan ke-5 bernilai 1 (mungkin yang dimaksud “bait” adalah “baris”, -pen.). Candra sengkala itu bertahun 1432 S atau sama dengan 1510 M.
Kemudian ada alasan pelabuhan Cimanuk mulai ramai sekitar 1513, karena pada waktu itu Pajajaran melarang pedagang Islam memasuki Banten. Tahun 1513, menurut pendapat Tome Pires, pelabuhan Cimanuk belum dipegang oleh orang Islam. Artinya belum dikuasai Wiralodra. Hanya itu kira-kira interprestasi dan argumentasi yang dikemukakan tentang penetapan hari jadi yang jatuh tanggal 7 Oktober 1527. Tak ada penjelasan lebih gamblang tentang dasar yang argumentatif bahwa tanggal 7 Oktober maupun dan tahun 1527 dipilih sebagai hari jadi Indramayu.
Atas dasar itulah setiap tanggal 7 Oktober selalu diperingati sebagai hari jadi. Di satu sisi Indramayu telah memperoleh kepastian akan tanggal lahir sebagai suatu identitas daerah. Di sisi lain, menimbulkan sejumlah pertanyaan akan latar belakang tanggal tersebut itu yang dianggap tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Campur-aduk
Kritik dilontarkan sejarawan Universitas Pajajaran Bandung, Prof. Dr. A. Sobana Hardjasomantri. Kelemahan tanggal itu karena tidak didukung dasar penafsiran yang jelas, bahkan juga terjadi pencampuradukan bulan Sura dengan tahun Saka. Sura adalah bulan dalam kalender Jawa, sedangkan Saka adalah Hindu.
Argumentasi lain juga lemah, yakni penentuan tahun 1527 berlatar belakang setelah Aria Wiralodra dihadang Arya Kamuning, karena dianggap lancang membuka pedukuhan Cimanuk tanpa seijin Sunan Gunungjati. Saat itu Arya Kamuning baru pulang dari medang perang di Rajagalu tahun 1528. Bagaimana mungkin setelah bentrok dengan Arya kamuning, kemudian Wiralodra meresmikan Indramayu tahun 1527?
Dua hal tersebut sangat pokok dan menjadi sesuatu yang fatal dalam pandangan rasio maupun keilmuan. Penentuan Hari Jadi Indramayu ternyata lebih bersandar pada asumsi yang dangkal, meski dicuplik dari kronologi sejarah yang bersumber pada babad Dermayu. Asumsi itu muncul dengan melihat kelaziman para orangtua zaman dulu jika melakukan suatu kegiatan atau upacara besar yang menyangkut kepentingan umum senantiasa mengambil hari yang penting yang dianggap sakral. Kriteria penting dan sakral itu, berdasarkan asumsi, adalah menyangkut kehidupan rohaniah masyarakat, yakni tanggal 1 Muharam atau 1 Sura. Tanggal 1 Muharam merupakan penanggalan awal tahun Hijriyah, sedangkan 1 Sura adalah penanggalan awal tahun Jawa. Islam dan Jawa, setidak-tidaknya merupakan identitas dan icon spiritual yang banyak memberi warna keidupan masyarakat Jawa, termasuk Indramayu. Asumsi yang kemudian lebih banyak diperkuat oleh keputusan bersifat kebijakan (politis) Bupati H.A. Djahari, S.H. secara pragmatis, yang menginginkan Indramayu segera memiliki hari jadi.
Mitologi modern
Hari Jadi, agaknya amat diperlukan sebagai sebuah mitologi baru dan modern untuk legitimasi kekuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kekuasaan, meskipun dalam suasana dan atmosfer demokrasi. Adanya ”hari proklamasi” sebuah daerah, kronologis terjadinya suatu daerah, silsilah keturunan para pendirinya, dijadikan spirit dan ruh untuk pembangunan rakyatnya. Penguasa berikutnya seperti memiliki keyakinan, bahwa apa yang dilakukan hari ini adalah matarantai pembangunan sebelumnya guna mewujudkan masyarakat yang gemah ripah lo jinawi sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk mempermasalahkan kekuasaan yang ia pegang.
Selama ini mitologi di seputar kehidupan raja-raja dahulu menjadi media yang efektif untuk legitimasi kekuasaan. Ken Arok berupaya keras mendapatkan Ken Dedes, karena adanya anggapan siapa yang mempersunting Ken Dedes, akan menjadi puncak sebuah dinasti yang berkuasa berabad-abad. Perempuan cantik itu dianggap memiliki ”takdir” menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Kaisar di Jepang adalah keturunan Dewa Ra (dewa matahari), sehingga kaisar bukanlah orang biasa. Sultan Mataram beristrikan Nyi Loro Kidul (penguasa laut selatan), sehingga sultan bukanlah orang biasa.
Begitu pula genealogi dari wayang seringkali dipakai untuk menegaskan trah Raja, yang ”bukan orang biasa”. Arjuna menurunkan Abimanyu, dan Abimanyu menurunkan Parikesit, serta Parikesit menurunkan raja-raja Kediri.
Yang menarik lagi untuk diperbincangkan adalah ”pemilihan” tahun yang ditetapkan, yakni mengarah pada tahun yang mengandung ”banyak peristiwa”. Tahun 1527 adalah masa kejatuhan Majapahit. Tahun 1527 juga masa dikuasainya Sunda Kelapa oleh Faletehan, yang kemudian diberi nama Jayakarta. Dua momentum yang menyiratkan dua simbol. Pertama, Majapahit adalah simbol kejayaan sebuah kerajaan yang pernah menguasai nusantara, sekaligus simbol kebesaran agama Hindu. Bisa diinterpretasikan ambruknya Majapahit (kebesaran kekuasaan dan agama Hindu) adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam. Kedua, jatuhnya pelabuhan Sunda kelapa dari Kerajaan Sunda dan Portugis, ke tangan pasukan yang dipimpin Faletehan atas perintah Demak. Kerajaan Sunda menyiratkan simbol kejayaan sebuah kekuasaan di wilayah barat Pulau Jawa, sekaligus kebesaran agama Hindu. Pada saat yang sama takluknya Sunda Kelapa pada tahun 1527 adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam.
Entah sengaja atau tidak –karena kronologis penetapan tahun lahir Indramayu pada tahun 1527 hanya perkiraan semata dan tidak argumentatif-- merupakan bentuk pencarian identitas dan eksistensi yang dianggap akan memperkuat jatidiri daerah. Pemilihan tahun yang kurang memiliki dasar yang cukup, justru terjebak sebagai upaya legitimasi kekuasaan semata, yang merupakan bagian dari mitologi modern.
Jika benar Hari Jadi menjadi mitologi modern untuk legitimasi kekuasaan, pantaslah untuk mendapatkan hari sakral itu dicapai dengan berbagai cara, meskipun cara yang dipakai adalah ”pokoknya ada Hari Jadi” dan ”yang penting punya Hari Jadi”. Aspek-aspek kesejarahan, filologis, dan arkeologis pun dikesampingkan. Penentuan Hari Jadi Indramayu mengindikasikan lebih banyak dikarenakan kebijakan dan pertimbangan ”dari atas”. ***

SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik