Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Batik Paoman dan Perlawanan Kultural



Oleh SUPALI KASIM

Mungkinkah karya kerajinan batik menjadi media ekspresi perlawanan rakyat selama beratus-ratus tahun?

Di Kabupaten Indramayu, perlawanan rakyat secara kultural teradap imperialisme Belanda dituangkan menjadi motif-motif batik. Dari sekitar 140-an motif batik yang diketemukan, hampir setengahnya merupakan motif bercorak perlawanan. Secara impresif rakyat merespon gegap-gempita penjajahan dengan simbol-simbol tertentu lewat coretan-coretan canting di atas kain mori.


Pada akhirnya  terciptalah motif-motif perlawanan tersebut hingga sekarang. Ketika kain batik itu kemudian menjadi baju atau gaun untuk ke sekolah, kantor, kondangan, atau jalan-jalan, tentu saja bukan untuk merayakan penjajahan atau peperangan. Bukan pula merayakan ratap sedih rakyat yang terjajah.

Mungkin secara tidak sengaja ikut mendukung perlawanan secara kultural yang ditunaikan sang seniman batik atas rekam-jejak rentetan  peristiwa di sekitarnya. Akan tetapi bisa juga tak berkaitan dengan misi sama sekali. Hasil dari daya kreasi dan estetika motif batik telah menghapus adanya misi dan ekspresi kultural itu.

Simbol perlawanan
Tafsir perlawanan itu diartikan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Indramayu terhadap puluhan motif batik Paoman, batik yang ada di Indramayu, dalam buku Motif Batik Indramayu dan Sejarahnya. Agak nyleneh memang, tetapi itulah tafsir yang dikemukakan.

Kekuatan penjajah Belanda digambarkan melalui berbagai motif, misalnya motif Dan Liris sebagai gambaran tentara Belanda yang sedang berbaris. Motif Golden diartikan mata uang yang diberlakukan penjajah Belanda, gulden. Kekuatan penjajah tersebut membuat para pribumi harus tunduk dan patuh, yang tertuang pada motif Manuk Bengkuk (burung membungkuk) sebagai ketakutan rakyat.

Perang antara rakyat dengan Belanda banyak dituangkan dalam berbagai motif. Perang Teja, misalnya, sebagai peperangan rakyat yang berkobar. Iwak Petek sebagai rakyat kecil yang melakukan perlawanan. Pada Iwak Etong, bentuk ikan tanpa kepala atau berkepala kecil sebagai simbol wong cilik tetapi ulet dalam perjuangan. Liku-ilku perjuangan tertuang dalam motif Kliwed, yang menceritakan mondar-mandirnya para pejuang melawan penjajah.

Ada juga motif Jati Tumbang sebagai cara membendung laju tentara Belanda dengan menumbangkan pohon-pohon jati dan dihalangkan di tengah jalan. Kebersamaan rakyat kecil dalam melawan penjajah disimbolkan dalam motif Tambal Sewu. Tempat persembunyian di Desa Cemara yang banyak pohon-pohon cemara ada pada motif Cemara.

Sebagai bentuk tafsir memang sah-sah dilakukan untuk mengartikan sesuatu, termasuk motif batik. Persoalan apakah tafsir ptu masuk akal, ilmiah, atau memang sesuatu yang berlatar belakang pernah terjadi, mungkin persoalan lain. Begitu pula tafsir motif batik perlawanan ini.  Kronologis per episode perlawanan terhadap penjajah itu digambarkan secara berurutan.

Motif batik Merak Brunding ditafsirkan sebagai perundingan antara Belanda dengan pribumi. Maskotan sebagai rasa bela sungkawa terhadap pejuang yang gugur.
Melati Segagang sebagai kesucian perang melawan penajajah. Alat pejuang dilambangkan dengan Serumpun Bambu. Kemenangan Belanda ada dalam motif Jendral Pesta, tetapi kemanangan rakyat juga ada dengan simbol Merak Ngibing.

Paoman
Hingga kini sentra terbesar batik di Indramayu ada di Kelurahan Paoman, dan menyebar ke desa tetangga, Anjun (Desa Pabean), Babadan, Penganjang, dan Terusan. Oleh karenanya lebih dikenal dengan sebutan batik Paoman. Secara historis Paoman merupakan desa tua yang sudah ada sejak abad ke-16, ketika pengelana Portugis, Tom Pires  (1513-1515) mencatat adanya pelabuhan Cimanuk. Paoman berasal dari kata pa-omah-an, atau perumahan pegawai pelabuhan.  Membatik konon dilakukan para ibu ketika suaminya bekerja dalam aktivitas di pelabuhan dan laut. Keterampilan membatik merupakan interaksi sosial dengan daerah Lasem (Jateng), sebuah wilayah sekitar Demak, kesultanan yang saat itu tengah gencar menyebarkan agama Islam bersama Cirebon.

Adanya pelabuhan, yang merupakan gerbang sosial-budaya, tampak pada motif batik yang banyak dipengaruhi ragam hias di luar daerah sendiri. Meskipun Indramayu bukanlah pusat kerajaan, simbol-simbol kerajaan ternyata masuk dan tampak pada motif Blenggi Gapura, Tangga Istana, Kereta Kencana, dan Rama.

Pada motif Lasem Urang, misalnya, pengaruh dari Lasem tampak jelas. Dari negeri seberang, yakni Cina, banyak memberi pengaruh dengan motif seperti burung phoenik, burung hong, burung ling ling, liong (naga), puyong, beruang, penyu, kilin, lokcan (topeng), termasuk juga motif Banji Kunci yang melambangkan peredaran alam dan matahari.

Meskipun demikian, interaksi dengan lingkungan setempat lebih intens yang dicirikan dengan motif yang mengambil tumbuhan khas seperti Kembang Suket, Kembang Pete, Kembang Jekeng, Kembang Tanjung Gunung, Kembang Pacing, Srikit, Sekarniyem, Teluki, Jae, Kembang Kapas, Kembang Kol, Kembang Beta, Kembang Gunda, Kawung, Jati Rombeng, Ganggeng, Kayu Gorda, Dahlia, Anggrek, Kentang, Kembang Asem, Kembang Duwet, Ganggeng Pentil, Pucuk Danas, Tapak Dara, Jeruk Muin, Sa’angan (sahang), Kembang Pare, Kembang Setaman, Kembang Gempol, Pacar Cina, dan Pentil Kuista.

Keadaan laut yang dirasakan para nelayan justru lebih apresiatif, bahkan di situ ada nilai-nilai ketabahan, keuletan, dan penyatuan dengan laut. Terciptalan motif Kembang Karang, Sisik, Sejuring (jaring), Karang Laut Berantai, juga peristiwa yang cukup dahsyat dimulai dari Angin-angin Rante, Lengkong (ombak laut yang besar), Obar-abir (badai), hingga Kapal Sanggat (kapal yang tersangkut karang), Kapal Karem, dan Kapal Kandas.

Tafsir perlawanan rakyat terhadap penjajah versi Dekranasda Indramayu dari motif-motif batik Paoman memang sah-sah saja. Latar Indramayu (juga Indonesia) yang dijajah selama ratusan tahun menjadi apologinya. Namun sesungguhnya perlawanan kultural secara realis justru ada pada motif-motif yang apresiatif dari interaksi nelayan dengan kondisi laut. 

Kini, perlawanan juga ditunjukkan saat menghadapi pasar terbuka dan pasar bebas untuk lebih mengenalkan dan memasarkan batik Paoman. Begitu pula dalam melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) motif-motif batik Paoman. Tahun 2003 sudah 50 motif terdaftar dalam HAKI, 2004 ada 47 motif, dan 2005 sebanyak 46 motif. Perlawanan kultural inilah yang sesungguhnya lebih realistis.***

SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu



-dimuat di PR Edisi Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik