Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Rabu, 30 Desember 2009

Ciamanuk, Gugusan Sejarah yang Terputus

Oleh SUPALI KASIM



Kompas (11/11/09) memuat tulisan tentang pelabuhan Cimanuk yang ditulis Litbang Kompas. Meski disajikan secara sekilas, tulisan itu setidaknya memiliki beberapa makna: Mengingatkan betapa pentingnya peran pelabuhan Cimanuk sejak abad ke-16, bagaimana terjadinya nama-nama desa di sekitarnya, dan akulturasi yang terjadi antara pedagang Arab, India, dan Cina dengan masyarakat pribumi.

Nafas Islami dalam Seni Cerbonan

Nafas Islami dalam Seni Cerbonan
Oleh SUPALI KASIM

Apakah kesenian tarling bernafas islami? Bagaimana dengan wayang kulit, wayang golek cepak, berokan, macapat, tari trebang, rudat, genjring umbul, dan jenis kesenian lain yang lahir atau berkembang di wilayah kultural Cirebon?

Robohnya Sanggar Kami

Robohnya Sanggar Kami
Oleh SUPALI KASIM

Bagi wong Cerbon-Dermayu, eksistensi sanggar seni bukan hanya bermakna sebagai tuntutan menuju kehidupan yang estetis. Lebih dari itu memiliki korelasi semacam simbiosis mutualistis dengan kehidupan sosial, ekonomi, bahkan relijiositas atau kepercayaan tertentu. Sanggar seni menjadi seperti penanda perkembangan atau penyempitan terhadap apresiasi nilai-nilai kehidupan di masyarakat.

Fenomena Bahasa Sunda di Indramayu

Di antara 313 desa dan 31 kecamatan di Kabupaten Indramayu, sebagian besar menggunakan bahasa Cirebon-Indramayu. Pengguna bahasa Sunda terbilang minoritas, yakni sekitar hanya belasan desa saja. Realitas yang terjadi pada bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Lelea ternyata ”tidak sama” dengan yang ada di Pasundan.

Berikut ini saya menuliskan ”Fenomena Baasa Sunda di Indramayu”. Mudah-mudahan bisa berkenan.

Fenomena Bahasa Sunda di Indramayu
Oleh SUPALI KASIM

“Punten. Cakana boga kotok bibit? Caang tah poek? Kami aya perlu. Kami ndak nanya ka anak kita, daek tah hente? Diterima tah hente? Kami mawa jago ndak nganjang. Mun diterima, ie serena. Esina aya gambir, bako, sere jeng lainna. Ngges ente lila, kami ndak goyang, panglamaran diterima mah. Sejen poe, kami ndak nentuken waktu, jeng nentuken poe kawinna.”

Sabtu, 17 Oktober 2009

Opini MEMAKNAI BULAN

Memaknai Bulan

Oleh SUPALI KASIM*


Di antara duabelas bulan dalam setahun, ada bulan-bulan tertentu dalam kalender Cerbon-Dermayu yang dimaknai secara khusus. Ada korelasi antara waktu, peristiwa dan pemaknaan. Masyarakat seperti mengikatnya dalam bentuk tradisi dan budaya, bertahun-tahun, turun-temurun. Pemaknaan secara sosio-kultur dengan menganggap sebagai penanda berkah terjadi pada bulan Sura (Muharam), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awal), Rejep/Rajab (Sya’ban), dan Puasa (Ramadhan). Sebaliknya pada bulan Kapit (Dzulaqa’dah) ditandai sebagai bulan buruk atau bala yang harus dimaknai sebagai kewaspadaan.

Opini POLITIK, POLITISI, DAN PEREMPUAN INDRAMAYU

Politik, Politisi, dan Perempuan Indramayu
Oleh SUPALI KASIM

Stigma politik adalah milik kaum laki-laki, mungkin benar. Setidaknya dilihat dari segi kuantitas, kaum perempuan senantiasa berada pada prosentase yang rendah. Rentetan peristiwa politik yang ditulis dalam historiografi modern maupun tradisional, di dunia ataupun Indonesia dan daerah-daerah menempatkan laki-laki amat lekat sebagai figur sentral. Tema-tema sejarah yang berpusat pada politik mengindikasikan kecenderungan pada masalah kekuasaan dan keperkasaan, yang nota bene adalah kiprah laki-laki.
Tak banyak, memang, perempuan Indonesia yang berkesempatan ditulis sebagai tokoh sejarah yang memainkan politik, karena sejarah cenderung berpihak pada kekuasaan dan keperkasaan. Sejarah juga hanya membicarakan orang-orang besar dan kelompok penguasa. Kaum perempuan dan grassroot (wong cilik) dianggap bukanlah pemeran utama, melainkan hanya figuran dan pelengkap semata.

Opini HARI JADI INDRAMAYU, SEBUAH KONTROVERSI

Hari Jadi Indramayu, Sebuah Kontroversi
Oleh SUPALI KASIM


Tanggal kelahiran atau hari jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Dasarnya sebagai momentum “proklamasi”, identitas dan jatidiri daerah. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Hal itu merupakan rangkaian dari penetapan buku “Sejarah Indramayu”. Buku itu disusun Tim Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan SK Bupati Indramayu No. 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13 September 1976. Menurut penelitian tim tersebut, peristiwa itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 1, bulan Sura, tahun 1449 Saka., atau tanggal 1, bulan Muharam, tahun 934 Hijriyah. yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 Masehi.

Opini INDRAMAYU DAN MITOLOGI HARI JADI

Indramayu dan Mitologi Hari Jadi
Oleh SUPALI KASIM

Hari Jadi, agaknya amat diperlukan sebagai sebuah mitologi baru dan modern untuk legitimasi kekuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kekuasaan, meskipun dalam suasana dan atmosfer demokrasi. Adanya ”hari proklamasi” sebuah daerah, kronologis terjadinya suatu daerah, silsilah keturunan para pendirinya, dijadikan spirit dan ruh untuk pembangunan rakyatnya. Penguasa berikutnya seperti memiliki keyakinan, bahwa apa yang dilakukan hari ini adalah matarantai pembangunan sebelumnya guna mewujudkan masyarakat yang gemah ripah lo jinawi sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk mempermasalahkan kekuasaan yang ia pegang.

Opini SISI GELAP SEJARAH INDRAMAYU

Sisi Gelap Sejarah Indramayu
Oleh SUPALI KASIM

Sejarah berasal dari bahasa Arab, syajara (terjadi), syajarah (pohon), syajarah an-nasab (pohon silsilah). Dalam khazanah bahasa Cirebon-Indramayu, sejarah justru dianggap berasal dari kata sejare-jare (katanya-katanya). Sebuah pernyataan kirata (dikira-kira tetapi nyata), tetapi juga menusuk substansi bangunan kokoh yang selama ini bernama sejarah. Sejare-jare inilah yang kemudian lekat dengan istilah sejarah peteng, sebuah kegelapan sejarah yang diselimuti unsur-unsur legenda dan mitologi.

Minggu, 12 Juli 2009

Sejarah Indramayu

Dari Buku SISI GELAP SEJARAH INDRAMAYU
(oleh SUPALI KASIM)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Geografis dan Sosio-kultural












Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.

Kultus Individu dari Dunia Sepi yang Puitis

Kultus Individu dari Dunia Sepi yang Puitis
Oleh SUPALI KASIM

Makhluk apakah penyair di tengah pembangunan(isme) yang mengedepankan metarialisme, bakan konsumerisme dan hedonisme? Seberapa pentingkah melirik puisi dibanding memikirkan jembatan yang terputus, aspal jalan raya yang terkelupas, atau gedung sekolah yang ambruk? Atau bahkan, apa perlunya menggelar acara dialog sastra dibanding membangun yel-yel pro Provinsi Cirebon?
Di Panti Budaya Indramayu, Sabtu (23/2) penyair Yohanto A. Nugraha menggelar “dialog sastra menuju kearifan budaya lokal” (sambil mengingat usianya yang mencapai 53 tahun). Tak ada yang istimewa, hanya agenda biasa yang dilakukan para penggiat sastra. Tak ada yang menarik, selain pembicaranya yang merupakan generasi baru “tukang debat” di Indramayu, yakni Hadi Santosa (musisi) dan Abdul Aziz (penyair). Tak ada yang perlu digugat, sebab proses pendewasaan tengah berlangsung untuk semua yang hadir (penyair, seniman lain, guru sastra, dsb.).
Tak ada yang istimewa, memang, seperti juga matahari yang selalu mengitari bumi berulang-ulang, seperti ombak laut yang mencumbu bibir pantai berulang-ulang. Yang istimewa dan menarik (mungkin) pada diri sosok Yohanto A. Nugraha. Ibarat peribahasa seperti buah kelapa, makin tua makin berminyak. Produktivitas puisi yang tetap terjaga adalah jawabannya sejak remaja hingga usia 53, suatu usia yang mungkin sia-sia ketika parameter kacamata kita adalah pembangunan(isme). Puisi, dengan segala konsekuensinya telah ia redam dalam kebisingan sunyi, yang mengalir dalam darah maupun detak jantung keluarganya. Di Indonesia, sangat-sangat sedikit memilih puisi adalah dunianya, sekaligus mencari nafkah hidupnya.
Penulis yang juga guru teladan nasional, Supriyanto F.Z. malah berterus-terang telah lama meninggalkan puisi, karena dalam puisi hanya ada obsesi dan halusinasi tetapi tak ada gizi! Di Indonesia, puisi tak dihargai. Akan tetapi A. Nugraha tetap menggeluti. Karya-karyanya selain dalam berbagai penerbitan, juga sejumlah buku antologi bersama, antara lain “Antologi Penulis Indramayu (1982), “Tanah Garam” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), “Jurang” (1999), , “Dari Negeri Minyak” (2001), “Lagu Matahari” (2004) dan “Aku Akan Pergi ke Segala Peristiwa” (2006). Antologi tunggalnya adalah “Orasi Sunyi” (2005).

PUISI INDONESIA

Puisi-puisi Supali Kasim


Supali Kasim
Catatan Penari
--Rasinah

sesunyi subuh yang kau peluk
dengan ringkih tubuh
jalanan terjal dalam riuh tetabuh. Tarianmu, Mi
pucuk-pucuk daun bertunas
dan kembang bermekar
urat dan akar bagai sampur
mengunjam ulu bumi
angin, awan, dan langit
bertafakur menyelimutimu. Menihilkan diri
dengan mutih, ngetan, atau puasa wali
fajar pun semerbak mawar
sepak-soder-mu, Mi
mengabarkan warta tentang dunia putih
dari hati putih. Anak-anak berjejer
di pekarangan ngalap berkah
hingga ujung lorong yang pucat,
sesudah klana itu, merontokkan
kendang dan sobrah kebesaranmu. Auramu, Mi
saat tafakur sesunyi subuh dalam ringkih tubuh
membawamu melihat kembali
kedok yang abadi di jiwamu

Indramayu, 2008

Sebuah Lagu dan Hitam-putih Indramayu

Sebuah Lagu dan Hitam-putih Indramayu

Oleh SUPALI KASIM*


Sebuah karya seni berupa lagu dangdut berjudul “Indramayu”, yang diciptakan Endang Raes dan dinyanyikan Ayunia membuat membuat heboh Indramayu. Bupati Indramayu mengecam. Ketua DPRD mengecam. Setali tiga uang juga dilontarkan Kepala Kantor Budpar Kab. Indramayu, Ketua Wadah Artis dan Musisi Indramayu (WAMPI), beberapa penyanyi dan pencipta lagu di Indramayu.
Sejak tanggal 19/11/08 media cetak dan elektronik memuat kecaman-kecaman tersebut. Setidaknya ada 4 (empat) hal yang bisa ditangkap sebagai reaksi terhadap lagu tersebut. Pertama, lagu itu tak sesuai dengan visi Indramayu yang “relijius-maju-mandiri-sejatera” (Remaja). Kedua, liriknya menyudutkan pemerintah dan menyesatkan masyarakat. Ketiga, mempertanyakan maksud lagu itu dan tidak menerimakan terhadap pencipta lagu yang hanya berpikir keuntungan tetapi tidak memikirkan dampak dari karya seni tersebut. Bahkan menuntut pencipta lagu agar meminta maaf. Keempat, masyarakat dianggap tak layak mendengarkan, stasiun radio agar mencekal, lalu diadakan sweeping terhadap lagu tersebut dari kios-kios kaset (Rabu, 26/11).

Sastra Cerbon teng SD

Sastra Cerbon/Dermayu
lan Wulanganipun teng Sekolah Dasar

dening: SUPALI KASIM

A. Purwaka
Wewengkon kabudayan Cerbon/Dermayu dianggepe dumateng tiyang Sunda mangrupa bagianipun wewengkon Sunda. Miturut tiyang Jawa (Tengah) benten malih, yaniku mangrupa bagianipun wewengkon Jawa. Pripun ujaripun tiyang Cerbon/Dermayu?
Tiyang Cerbon/Dermayu nganggep piyambeke sanes Sunda lan sanes Jawa. Tiyang Sunda dianggepe ”wong gunung”, upami tiyang Jawa (Tengah) dianggepe ”wong wetan”. Pengertosanipun saking pandengan meketen tamtu mawon wonten asal-usul lan alesane.

Kemiskinan, Perempuan, dan Citra Indramayu

Kemiskinan, Perempuan,
dan Citra Indramayu

Oleh SUPALI KASIM


Babad Dermayu, sebuah naskah sejarah tradisional berupa tembang macapat, salah satunya mengisahkan heroisme tokoh perempuan bernama Endang Dharma Ayu. Nama lain perempuan itu adalah Siti Maemunah atau Gandasari atau Retna Gumilang atau Ratu Saketi, yang disebut sebagai adik Fatahillah. Konon pada abad ke-16, ia dikirim oleh Sunan Gunungjati dari Cirebon sebagai mata-mata yang tugas utamanya adalah mencuri benda keramat, patung ular sarpa kandaga di Kerajaan Rajagaluh. Tugas itu dalam rangka ekspansi penyebaran agama Islam ke wilayah Rajagaluh dan sekitarnya. Secara politis, wilayah tersebut tetap menolak sebagai bagian dari Cirebon. Secara ideologi dan kepercayaan, pengaruh Hindu masih kuat.
Sarpa kandaga adalah simbol kekuatan rakyat Galuh. Jika patung yang dikeramatkan itu lepas, dipastikan kekuatan akan menurun pula. Endang Dharma Ayu mencari pasangan yang cocok untuk tugas tersebut. Ia memilih Raden Aria Wiralodra, yang bermukim di pedukuhan Cimanuk (Indramayu). Akan tetapi saat itu Wiralodra, yang berasal dari Bagelen (Jawa Tengah), justru sedang ”pulang kampung” dan ikut serta memadamkan pemberontakan Banyubiru terhadap Demak. Sebagai ”pejabat” yang diutus Demak ke Indramayu, ia merasa punya kewajiban untuk memadamkan pemberontakan itu.
Akan halnya Endang Dharma, yang kemudian bermukim di pedukuhan Cimanuk, justru dituduh menyebarkan aliran pencaksilat jurus sunan, yang seharusnya tak sembarangan disebarkan. Tuduhan itu berasal dari Pangeran Guru, yang khusus datang dari palembang bersama 24 anak buahnya. Bentrok terjadi. Pangeran Guru dan anggotanya tewas. Konon Pangeran Guru adalah Arya Damar atau Arya Dilah yang merupakan bupati Palembang dari Majapahit, putra Prabu Wikramawardana.

Sastra, Politik, dan Dangdut

Sastra, Politik, dan Dangdut

Oleh SUPALI KASIM

Dengan santai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor berbincang berbagai hal di Cirebon di tengah suara geledek dan hujan membentur-bentur atap gedung Yayasan Dewan Kesenian Cirebon, Sabtu malam (22/11). Seminggu sebelumnya, Sabtu malam ( 15/11), penyair Lampung, Isbedy Stiawan ZS, memburu saudaranya yang --konon asal Kuningan dan sudah puluhan tahun berpisah-- kemudian mendiskusikan puisi di gedung yang sama.

puisi supali kasim

Supali Kasim

Piwulang

dadia angin!

nylusup ning sekabeh panggonan

nyriwingaken rasa. Tan pinilih golongan

yen kaula dadi banyu. Dalan sing dipamba

senajan sing duwur, mlayu mengesor

tetep ngibungi wong cilik ning esor!

yen dipaksa muncrat menduwur, balik maning mengesor

becik maning yen jiwa sejembare segara

nrima segala rupa. Segala rasa ditrima

dudu bae banyu bening lan iwak pating klibir

butek-ledreg sampe bathang uleren

kentir lan dibasuh segara!

apa maning yen kaula milih bumi

nyukulaken tanduran, nggedeaken wiwitan

tapi, ora ngarepaken ngunduh!

aja ngresula yen badan dipaculi lan diedek-edek

dadi grijogane makhluk sekabeh

padanga lan panasa kaya srengenge!

nguwur-uwuri urip. Nguri-uripi sekabeh

tapi, yen wulan dadi pilihan

bisa gawe kaendahan. Manisaken woh-wohan

krasa sreseh lan sayang

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Arep Matur ning Sapa?

arep matur ning sapa, yen sedulur lan batur wis lawas ora duwe mata

ora bisa ndeleng wereng lan walangsangit ngrubung sawah

ora bisa mandeng segara kesiram oli menteh lan lenga

ora bisa ngimpleng kantor lan sekolah sing wis dadi pasar bursa

ora bisa nyakseni lakone urip sayah lawas tambah lara

arep ngobrol ning sapa, yen kenalan lan tangga wis lawas ora duwe kuping

ora bisa ngrungokena njerite gudel dipaksa nyosoni kebo gering

ora bisa ngrungokena tangise jaran dipaksa mlayu sampe njengking

ora bisa ngrungokena sesumbare macan, sing sebenere mung kucing

ora bisa ngrungokena urip sayah lawas tambah akeh wong miring

arep kabor ning sapa, yen landa lan cina wis lawas ora duwe ati

ora bisa mbedaaken werna ireng lan kelawu, tapi dianggepe putih

ora bisa ngrasa duit asale sing rayat, dianggape murag sing wong sugih

ora bisa mbedaaken wong kerja iku menusa, dudu satoan atawa mesin mati

ora bisa ngrasa yen urip sayah lawas gawe wong duwur pengene dilayani

arep wadul ning sapa, yen wong pinter lan wong wani wis ora duwe cangkem

ora bisa ngomong, ketutup kenang duwit segepok dadi mingkem

ora bisa protes, ketutup kenang proyek, jagat panas dianggepe adem

ora bisa ngresula, diupai hadiah, bisae mung kari mesem

ora bisa ngglendeng, awale gadag-gidig ahire diatur apa bae gelem

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Katresnan, 1

melumahe bumi, mengkorebe langit

semelumahe ati sing megar abang mawar

semengkorebe batin sing upleke cucrupan kumbang

jeroe segara, adohe jagat ning ara-ara

sejeroe rasa katresnan sing dadi bungah

seadohe ambekan sing kelaya-laya

suwunge alas, jembare jagat ngarat-ngarat

sesuwunge wujud kangen sing kependem lawas

sejembare rasa suka-trima sing gawe melas

semriwingi angin, seademe sorote wulan

sesemriwinge rasa kraket sing gawe ruket

seademe jiwa-raga wong loro sing dadi sawiji

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Katresnan, 2

ning sor langit abang saga

jagat sedina-dina krasa ngentak-entak ketiga

sauwise dibakar srengenge sangang taun

badan kaya lumer batin munclak dadi mbleber

wiwitan kaya baris kaku ngejejeng

godong-godong lan suket ijo geseng-rumpeng

sedawane dalan ati, jantung, lan wedel blaratan

wis wayae muragaken rasa kangen lan kelingan

kayadene wulan gawe bumi padang-linglang

tapi rambut, lambe, lan jriji krasa atis nggigil

senajan sedelat, anane garaan gawe jagat krasa mencil

: srengenge mengkorebi wulan karo katresnan

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Katresnan, 3

bumi kaya mandeg muter

srengenge bli ngingser-ngingser

angin, ombak, wiwitan, lan gunung pada mbleger

nyakseni wong loro, endase mblenger

nglakoni katresnan sampe klenger

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Katresnan, 4

ning towang dalan krasa suwung pisan

bagen jriji, badan, ati kita kraket dadi siji

langit ning duwur gawe seneng kelawan muji

--apa maning sing kudu diomongena--

wis lawas Kang Kuasa maringi tresna

kita wong loro mung ketiban genah

manjing tengah kota suwung masih krasa

bagen gumebyar damar sewu padang pisan

mubil, motor, beca sladat-sludut ning dalan

--apa maning sing kudu ditawan--

yen sikil kaya kepater derese udan

kaya kepulut aci sejembangan

rasa suwung kita gawe sumedot dada

bagen ati lan rai katone bungah

tanduran pari wayahe megar ning sawah

--apa maning sing kudu dienteni--

sayah lawas ati bli bisa dipungkiri

kapan bae waktune dadi sawiji

pikiran mangmung nambah rasa suwung

bagen ati dadi siji angel pisan nrabas alangan

yen bli kuat sesambat wong loro dadi edan

--apa maning sing kudu diimpeni--

rajeg ning arep, guri, lan iringan wis dadi geni

burak-santak mbakar mbrudag ning dami

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Nglakoni Urip

-ngangge: raja-raja cilik

Nglakoni urip, pengene terus-terusan menang

Dadi seri, dadi jagoan, dadi pahlawan

Malah yen bisa lan kudu bisa, lakah lawan

Yen ana lawan, sedurunge maju, dikempesi ning dalan

Nglakoni urip, pengene terus-terusan ngatur

Dadi pemingpin, dadi priyayi, dadi wong duwur

Malah yen bisa lan kudu bisa, lakah sing bisa ngatur

Yen ana sing ngatur, sedurunge ngatur, dilorod sampe kejebur

Nglakoni urip, pengene terus-terusan enak

Mangan enak, rabi enak, korsi enak

Malah yen bisa lan kudu bisa, lakah sing gawe blenak

Yen ana sing blenak, sedurunge blenak, aji mumpung masih enak

Nglakoni urip, pengene bli digenti-genti, bli mati-mati

Yen digenti, masih ana ponakan, ana sedulur misan, ana adi

Yen mati, gentie ana anak, ana mantu, ana rabi

Yen ana wong sejen pengen nggenti, sedurunge nggenti, digawe mati!

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Apa Maning sing Kudu Ditutupi?

senajan wangi pandan lan menyan

apa maning sing kudu ditutupi

yen bathang satoan wis sumebar nembus langit kaping pitu

nembus kabeh galaksi sampe tatu

udan grigis kaya nangis getih gleceran

nibakaken jaman sing wis sekarat kadal

srengenge ora wani mencorong

kayadene madep rai mungkur ati

yen agama dienggo mung waktu sembayang

yen dirgama dienggo mung waktu hajatan

yen elmu mung dadi petetan lan pajangan

senajan banyumata mbluruk sewayah-wayah

apa maning sing kudu ditangisi

yen ning gedong sekolah sampe gedong pemrentah

beli beda pira karo ning sajerone pasar

guru-guru luwih seneng adol buku, klambi, lan sepatu

munggah jabatan kaya nganyang barang sing diobral

ana rega ana rupa, setaun-rong taun kudu balek modal

taun-taun mengarepe luru bati lan sedan

wis manjing ning jantung, ati, lan otak menusa

apa maning sing kudu digetuni

kabeh kemaruk mbebadog mangsa wurunga

ning sedawane dalan kebo-kebo pada nyusu gudel

lakah wirang lakah isin, lakah wedi lakah pratin

kiai, wali, lan nabi kaya mung dadi wacaan sejarah bengen

lindu, abrasi lan tsunami ora dadi pertela

senajan ati sing bening beli krasa kesingkir

kejayan urip pasti ana akhir

ning sajerone jagat buana, apa maning sing dibutuhaken

yen dudu kafan, tataban lan maesan

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Sing Umah Marani Sekolah

--sing umah marani sekolah

bocah-bocah bleput sikile, njadel badane, belek matane

jarene luruh kebagjan kanggo sangu urip ning pengarepe

sing awit mambu kencur sampe mambu pupur

sapa sing bisa nyangka takdire sing Duwur

rikala nambah umure lan nambah elmune

munggah pangkat lan derajat

dadi keprage tetulung masyarakat

--sing umah marani sekolah

bocah-bocah nyokor sikile, wuda badane, polos raine

jarene luru elmu mbari bisa maca lan nulis

lan ngetung lan kanggo sangu urip ning mbesuke

sapa sing weruh ning zaman mengarep

rikala arta-benda, pangkat lan jabatan bisa nyirep

kaya dene ngimpi kena erep-erep

dalan padang lan lurus katone peteng-dedet

--sing sekolah marani dalan-dalan

ning sor klebet abang lan putih

ning kumandange lagu lan puja-puji

lan donga waras-urip dunya-akerat

sing kadoan bocah-bocah katon gede

suwe-suwe dadi wong gede

suwe-suwe rumangsa gede

tambah suwe klalen kamanungsan, klalen kabecikan

--sing dalan marani kantor, pabrik, pasar, lan sejene

bisa maca, sing diwaca mung tipue Welanda

bisa nulis, sing ditulis mung akale iblis

bisa ngitung, itungane batur rugi, deweke untung

dadi pinter, wis pinter dadi kuminter

pancen urip kaya ning sor langit wayah bengrep

sandyakala nggragas, srengenge mingslep

sedelat maning buta-kala mangani bocah-bocah sampe sregep

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Puisi Perih kanggo Widadari

sore iki, sun masih tetep ngenteni

seklayabe slendang werna-werni

gelaran layung ning langit abang geni

bagen srengenge atis kemulan mendung ireng

manuk, kupu, kinjeng kaya balik bareng

angin lan gledeg gawe pandengan nambah peteng

: sun nyebut aran ira, krungu sejagat raya!

sore iki, sun masih tetep duwe demen

sekuwayang lambe abang sing mesem

bening mata lan ati gawe adem

bagen jaman wis molak-malik gawe sengsara

obahe jagat lan menusa klalen asale sapa

wong cilik kegencet nambah kelara-lara

: sun nulis aran ira, sampe entok mangsi sesegara!

sore iki lan sore-sore sepengarepe

aran ira kaya njempling ning langit paling duwur,

ning segara paling jero, ning alas paling adoh

nanging mendung ireng lan gledeg bungeng

angin pucat lan udan barat, dalan lan kali dadi siji

jagat sing ngarat-arat krasa supek lan sedlemek

: sun krasa tatu balung lan sumsum!

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Ngulati


ning sajerone pasar sing krungu kumandang

wong dagang nggegalek barang

wong tuku pada nganyang

uga duwit segepok gawe rerame pisan

: sekiyen sepi-nyanyep kaya dene pejaratan

ning sajerone kali sing krasa kedung

iwak, yuyu, welut betah ora keduhung

banyu bening liwate jukung

wong mancing melu ngrubung

: sekiyen cetek lan butek kaya pikiran mangmung

ning sajerone padepokan sing krasa sepi

ustad lan kiai kelangan santri

para pendita pegot cerita

guru-guru angel digugu lan ditiru

: sekiyen bocah-bocah pada mlayu ning tipi

ning sajerone dunya sing bisa nyirep ora karuan

gawe wong-wong pada melu edan

apa maning wong sing wis edan

anggepane yen ora edan, ora keduman

: sekiyen tambah edan ngluwihi wong edan ning dalan-dalan

kepriwen lelampahe jagat iki

: keder ning dalan, mandeg ning towang?

kepriwen mlakue menungsa iki

: kesasar ning ara-ara, sing akeh merkayangan?

duh Gusti,

kaya entok ceceluk suara

kaya garing banyu mata

kaya bli kuat tangan lan jriji mbuka

nyuwun ampun lan ampura

dodokaken dalane menungsa

: dudu dalane sato-kewan

apa maning wewe lan gulang-gulang

Cerbon, Juli 2007

Supali Kasim

Pugase Pelesir ning Pesisir


ahire lelampahe badan kaya kesered sumliwir angin

pelesir bebungah ati, mata, cangkem, lan weteng

nanging ning pesisir iki

kaya kesedot marani puser bumi

kaya kegawa ngulati jati diri

dalan, sawah, gunung, lan umah-umah

kisik, ombak, segara, lan jukung-jukung

uga dalane nasib sing awit waktu cilik

mung bisa dideleng sing kaca jero ati

mung bisa dirasa sing beninge jero batin

ning Muara Jati, ana lelamunan wong siji iki

sampe sumedot nelangsa badan

ngulati geni sing mercuasuar

mung suara sepi kelawan semedi

kembang setaman kaya muteri ning Gua Sunyaragi

keraton-keraton ning tengah ati

katon ning mata pengen dipareki

seklayab zaman semana

mung klangenan sing nyata

kemboja lan melati, sumebar aruma wangi

banyu bening mbluruk sing kendi

ning pejaratan karuhun lan wali

kaya pugase jagat ning pelesir iki

badan mung sawiji, arep miyang mendi?

Cerbon, 2007

Supali Kasim

Mung Siji sing Diarepaken


kaya dene srengenge esuk

angin lan ombak segara

pada-pada ngenteni

lakone urip ning dina iki

blarak kelapa, wit cemara, godong-godong gedang

mung ngawe-awe

netesi banyu udan sewengi

sapa sing duwe gawe ning dunya iki?

jagat sing ora ana pragate

ngomongaken napsue menungsa

lan sato-kewan

dina genti dina, wulan nambah wulan

taun-taun kaya mlaku ning dalan

apa masih kaya kenen, nglakoni urip

kaya drama ning panggung tarling

ana mrengute, akeh meseme

ana asihe, uga tukare

kaya dene srengenge

setia muteri jagat

mung siji sing diarepaken

aja pegot ning harapan

aja klalen ning Pengeran

Dermayu, 2007

Supali Kasim

Katresnan, 4


ning towang dalan krasa suwung pisan

bagen jriji, badan, ati kita kraket dadi siji

langit ning duwur gawe seneng kelawan muji

--apa maning sing kudu diomongena--

wis lawas Kang Kuasa maringi tresna

kita wong loro mung ketiban genah

manjing tengah kota suwung masih krasa

bagen gumebyar damar sewu padang pisan

mubil, motor, beca sladat-sludut ning dalan

--apa maning sing kudu ditawan--

yen sikil kaya kepater derese udan

kaya kepulut aci sejembangan

rasa suwung kita gawe sumedot dada

bagen ati lan rai katone bungah

tanduran pari wayahe megar ning sawah

--apa maning sing kudu dienteni--

sayah lawas ati bli bisa dipungkiri

kapan bae waktune dadi sawiji

pikiran mangmung nambah rasa suwung

bagen ati dadi siji angel pisan nrabas alangan

yen bli kuat sesambat wong loro dadi edan

--apa maning sing kudu diimpeni--

rajeg ning arep, guri, lan iringan wis dadi geni

burak-santak mbakar mbrudag ning dami

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Republik Sega Aking


kiyen iki republik sega aking

negri subur-makmur gawe wong duwur keuwur-uwur

nanging aja takon, yen udan rendeng gawe kelem

banjir ning umah, dalan lan sawah

banyu kali lan banyu mata mbluruk sewayah-wayah

nanging aja takon, yen wayah ketiga ngentak-entak

tela ning sawah nambah mletak

urip sengsara gawe paila

pari kena bapuk, utang nambah numpuk

orea lan puradan larang, gabah kaya kebuang

ning koran lan tipi, pa gubernur lan pa menteri

nyalahaken rayat, jarene alam ora direrawat

kiyen iki republik sega aking

negri aman-tenteram gawe wong sugih ngrasa dieman

nanging aja takon, yen wong ning sor jumpalikan

luruh seperak-rong perak kudu pasang badan

anak ning umah dina kiyen durung tamtu mangan

akire dalan sing dipamba parek-parek setan

begal, copet, maling, gento lan sejene

kaya nggal dina dadi berita rame

dina kiyen ana sing lagi mikir mangan apa

ana maning sing mikir kudu mangan sapa

ning koran lan tipi, pa jaksa lan pa pulisi

nyalahaken rayat, jarene kudu diukum berat

sapa sing gelem disalahaken

republik wis lawas, urip krasa masih ngeden

nelangsa badan nemen-temen

sapa sing bisa disalahaken

kaki-buyut umure nanjak satus enem

sampe presiden wis genti ping enem

sega aking empan bebek, dipangan menusa gelem

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Sesambat

aja maning umah lan sawah

wis lawas cangkem lan mata

digadeaken sing jero istana

dadi selembar borek urip ning dunya

tangan lan sikil wis lawas kari aran

diadol lan diitung ijenan

kayadene dengkil ning pasar sato-kewan

ati lan jantung embuh mendi digawa

otot lan getih wis tanpa krana

--apa maning sing dadi duwene kita?

pirang-pirang taun lan abad

etungan ora pragat-pragat

padahal tritis lan grimah

wis lawas diobral murah

blandongan lan pawon dadi grijogane wong sing jaba

sampe teka ning jobong peturon dipamba-pamba

yen nangis, banyumata wis garing-ngringking

yen jerit, suara wis ora bisa njempling

kaya ngenteni blarak garing rigel ning lemah

--apa maning sing dadi duwene kita?

kaya-kayane lakah sing duwe melas

sampe tikus ning lumbung pesta pari lan beras

banyu lan sega wis kena endrim lan portas

sayah lawas ambekan kaya senen-kemis

kena angin bengi awak tambah atis

apa kaya kenen dadi wong ana ning esor

ora duwe wani, ora bisa lapor

aran mung disebut sewaktu madep ngalor

aja-aja, dudu nasibe badan kita bae

--aja-aja, nasibe negara uga pada bae!

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Nang, Aja Sampe

nang, wingi kembang suket ning pinggir kali

pada megar kesiram udan sewengi

yen aruma kelawan werna gawe adem ati

kenangapa kudu luruh kembang sing jagat endi-endi?

nang, sekiyen mandenga sing galengan sawah

kelingana sewaktu tandur, matun, lan molah

yen pari sedelat maning gawe berkah

kenangapa luruh sesenengan sing gawe mutah?

nang, sukiki srengenge pasti mencorong

nggawa kebagjan urip ning sekabeh uwong

yen sugih lan pangkat dadi abong-abong

durung tamtu kesejaten urip manjing umah gedong!

nang, mbesuk yen jaman tambah umeb

jagat krasa panas campur anyeb

pirang-pirang perkara krasa numpuk lan anteb

aja sampe agama lan drigama ning ati mari nanceb!

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Kesejaten

kaya-kayane wis taunan lara ning jiwa bli dirasa

wis wulanan nangise batin bli metu njaba

kebule kukus Jaman Kaliyuga unggal minggon unggal dina

jam-menit-detik kepaksa nyedot awa tengike dunya

bungenge kuping

pait-ledere ilat

mumete endas

ngos-ngosane napas

apa sampeyan masih ora krasa?

kaya-kayane wolak-walike jaman wis lawas bli dirasa

pirang-pirang abad sing liwat, sejarah bli diwaca

ukara lan tembung, welan pisan nulisaken Jaman Kalatidha

sing bener ora ketenger, sing salah malah dipuja

jahat, munggah pangkat

apik, kepaksa ditampik

lanang, ilang kaprawiraane

wadon, ilang kawirangane

apa sampeyan masih ora krasa-krasa?

kaya-kayane kesejaten urip mung ana ning aksara

mung ana ning duwur langit gawe bebeja

Jaman Kalabendu bladas-bludus ning bumi angkara

comberan ireng-geteng nggregogoti kapribaden menusa

duit dadi utama

kuasa dadi berhala

wong jawa kari setengah

cina-landa kaya karo somah

apa sampeyan masih ora krasa uga?

Dermayu, 2008

Supali Kasim

Ning Tungtume Jagat

ning tungtume jagat

kedok menusa abang-branang kaya Klana

mlakue blagah, mbebadog sewayah-wayah

omongan sing metu mung kari cemera, babi, lan buaya

rajae ngalas kaya berokan

garang, pating gebyor, lan bringas

ambeke gede, pengen ngeleg gunung mbari mancal endas

wadyabala dadi cecunguk

dolanan clurit lan golok luruh wadal

belatung, ula, lan menyawak rebutan batang satoan

akeh mayid dibedel wetenge

isie aspal, brangkas, lan wiwitan alas

ning tungtume jagat

rasa-rasane bumi sayah lawas sayah mengkeret

ning jero ati damar cempor wis lawas mati

prilaku menusa mung kari anguse

wangur lan ireng blegedeg!

Dermayu, 2008

Reang iki:

Supali Kasim, lair ning Juntinyuat Indramayu, 15 Juni 1965. Nulis puisi, cerpen, kolom atawa esai ning koran. Kumpulan puisi (bahasa Indonesia) bareng batur-batur ana sing dibukuaken, yaiku “Kiser Pesisiran” (1995), lan “Dari Negeri Minyak” (2001). Buku sejene yaiku “Wong Dermayu Ngomong” (2001), “Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-suling” (2002), “Seni Tradisi Indramayu: Fenomena dan Dinamika” (2004), lan sing lagi dipragataken “Cinta yang Keras Kepala: Apa & Siapa Sejumlah Seniman Tradisional Indramayu”.

Deweke ngalami dadi wartawan, yaiku ning “Pikiran Rakyat Edisi Cirebon” (sekiyen dadi “Mitra Dialog”), taun 1992-1999 lan koran-koran sejene. Toli maning dadi redaktur ning korane Pemkab Indramayu, “Mulih Harja” (2003-2005). Kiyenge gawe hajatan seni, sastra lan budaya sejene, utawane lomba maca puisi, cerpen, seminar sastra, sejarah, sampe nggelar seni-seni tradisional.

Kiyenge maning ngompori batur-batur ambir aja nglamun bae. Tenimbang turu sore, ning kampunge gelem dadi Ketua Karang Taruna (1988-1992) sampe-sampe gelem maning dadi Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI) taun 2001-2004, Sekbid Kebudayaan PGRI Kab. Indramayu 2006-2011, Wakil Ketua Lembaga Basal lan Sastra Cerbon (LBSC) 2007-2011. Ngalami maning manjing ning kelompok sastra Kreasi (1983-1984), Fokus (1991-1992), Tim Budaya PR Cirebon (1993-1995), Forum Sastra Indramayu (1994-1995).

Sekiyen rada minggir, mencil, lan nyepi mbari angon bocah-bocah ning sekolah sing melosok, SDN Sambimaya III Kec. Juntinyuat Indramayu. Sekiyen ngalih ning SDN Limbangan II.. Mbari melu ngelesi dadi Ketua KKKS (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) ning pinggiran mau. Taun 2008 kepilih dadi “Kepala SD Berprestasi Tingkat Kabupaten Indramayu”Umahe ning Griya Paoman Asri, Jl. Jati 7 Indramayu, telp. (0234) 273351, HP 085224102317

Cerita Cindek "Peteng Dedet"

Cerita Cindek SUPALI KASIM: Peteng-dedet

Teng tengah wana, Saida lan Saeni ahiripun dipun tilar Mang Sarkawi. Pancen maksadipun mang Sarkawi, sampun niat mbucal lare kalih wau. Keranten Mang Sarkawi nuruti wanodya anyare utawi mbok walon lare kalih wau, supados Saida lan Saeni dipun bucal.

Saida lan Saeni, dalu puniku maksih ngentosi bapane teng tengah wana, boten nduga bapane mbucal putra-putri kakang-adi puniku.

Saeni ngucap dateng kakangipun, ”Kang Saida, langit ketingale cemeng, peteng-dedet! Lintang lan wulan ketutup mendung. Boten ketingal napa-napa. Mung kakang lan wit-witan ingkang ageng-ageng mawon. Sampun tebih-tebih sing kula, Kang.”

Saida njawab, ”Nggih, Saeni. Kakang uga ngraos mekoten. Kadose niki kih, wana ingkang tebih saking griya utawi saking dedusunan. Wontene wit-witan ageng mawon, lan suwanten-suwanten sato-kewan mawon.”

Saeni njerit, ”Kaaaaang! Saeni-e wedos, Kang! Sampun tebih-tebih, Kang!”

Lare kalih wau sami rerangkulan, sami tetangisan teng tengah wana. Lami-lami Saeni ngelih ngombe. Ilat lan cangkemipun kraos garing. “Kang Saida,” wiraosipun Saeni, “Saeni pengen ngombe, Kang! Sing wau boten wonten toya. Saeni ngelih ngombe, Kang!”

Saida njawab, “Ya, mpun, mengkin Kakang nhilari toya krihin, nggih? Saeni tek tinggal krihin, nggih?”

”Nggih, kang. Sampun lami-lami, ya Kang!” jawabe Saeni.

Dalu peteng-dedet boten wonten lintang, boten wonten wulan, lan boten wonten sinten-sinten, mung Saeni mawon teng tengah wana. Ngentosi kakange ingkang siweg ngilari toya, lantaran Saeni ngelih ngombe pisan, cangkemipun garing, ilatipun garing!

Mendung cemeng teng inggil wana kraos damel wedos. Wit-witan ageng ketingale kados memedi ingkang mesam-mesem, mringis-mringis, lan cengar-cengir. Damel ati Saeni mbregidik!

”Kaaaaaaang! Saeni-e wedos Kang! Saeni-e wedos, Kang!” njerite Saeni teng tengah wana teng dalu peteng-dedet puniku.

Nanging mlampahipun Saida, mbuh pundi parane. Ngilari toya kangge ngombe adie, nyata-nyata dereng kepanggih mawon.

“Kaaaaaaaaaaaaaang! Saeni-e wedos, Kang! Saeni-e wedos, Kang!” jeritan Saeni kados mbelah bumi sejagat-raya. Jeritan wau boten wonten ingkang njawab, boten wonten ingkang nyauti. Ingkang njawab lan nyauti mung suwantene piyambek.

Saida dereng mawon dugi, dereng mawon ketingal. Menit gentos menit, jam gentos jam, sampe medal semburat layung enjing teng langit, teng inggil wana wau. Wana ingkang biasane kraos adem, gawe ati Saeni kraose panas pisan. Srengenge ingkang biasane kraos anget, gawe badan Saeni kraose trelep-trelep. Mlampahipun Saeni seturute dalan setapak ingkang wonten wana. Melebet krasak-krusuk teng alang-alang, teng pinggir wit-witan, teng suket ijo royo-royo. Nanjak-mudun, planggak-plenggok tanpa maksad lan tujuan. Tapak-tapak suku alit kraos pegel, nanging Saeni boten mandeg, boten ngaso, teras mlampahaken sukue ingkang sampun bleput lan kotor.

Srengenge tambih lami tambih panas. Badan sayah lemes-dedes. Nanging Saeni teras mlampah nanjak-mudun, planggak-plenggok, krasak-krusuk kayadene mbabad wana ingkang masih prawan. Teng inggil langit ahire srengenge kadose kraos pegel piyambek. Mencoronge mulai liyep-liyep. Teng kilen, srengenge wau mulai surup, nanging layung sonten damel werna-werni ingkang abyor pisan dipandenge. Badan Saeni kraos lemes-dedes, balung-balung kraos pada copot. Ahire Saeni pingsan teng andap wit ageng. Teng selebete pingsan, rupine saeni kados ngimpi.

”Eh, Nok Saeni, mriki-mriki! Pundi mawon? Kakang ngilari, nok Saeni boten kepanggih mawon,” wiraosipun Saida, ingkang wonten teng selebete istana kerajaan. Rasukanipun Saida sae pisan, keranten Saida sampun dados raja teng istana wau.

Saeni kaget! Nanging kagete boten lami, keranten Saeni uga rasukane sami sae. Saeni minangka putri kerajaan ingkang diiirng para embok-emban. ”Nggi, Kang. Wau Saeni nembe pisan dolan-dolan, mlampah-mlampah teng taman istana. Saeni seneng pisan, katah sekar werna-werni, wit-witan ageng damel ayem, toya ingkang mancur-mancur saking gunung. Kupu, kinjeng, lan manuk pating sliwer.

Kakang-adi wau sami-sami mesem, seneng pisan.

”Saeni, tangi, Nok! Saeni, tangi Nok! Niki toyane. Kakang sampun dugi, Nok. Kakang sampun mbakta toya, Nok. Saeni ngelih, kan?”

Suwanten Saida gawe Saeni njenggelek tangi. Saeni mandengi kakange, mandengi piyambeke. Diawiti malih, mandengi kakange, teras mendenge piyambeke. Nyata-nyata, rasukan raja utawi putri kerajaan lan istana, ical sing pandengan. Ingkang wonten, nyata-nyata maksih teng tengah wana!

Lare kalih wau boten ngertos dibucal teng tengah wana. Peteng dedet.***

Griya Paoman Asri Indramayu,

dalu Saptu 13 Juni 2009

statistik