Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Puisi, Antologi, dan Nandang Darana: Apresiasi Sastra dari Ruang Kelas




Oleh SUPALI KASIM
                                                                         
(1)
KESUSATRAAN Indonesia Modern mencatat adanya buku kumpulan puisi pertama di Indonesia, Tanah Air karya Muhammad Yamin pada tahun 1922. Penerbitan tersebut tidak lepas dari tonggak yang ditancapkan lima tahun sebelumnya ketika Penerbit Balai Pustaka berdiri. Penerbit buku-buku sastra di Indonesia itu awalnya didirikan Pemerintah Belanda pada tahun 1908 dengan nama Komisi Bacaan Rakyat (Commmissie voor Indlandsche School en Volkslectuur) dan pada taun 1917 berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka. Tampaknya pada kurun waktu tersebut penerbitan puisi tidak sepesat roman/novel. Buku puisi baru terlihat diterbitkan 15 tahun kemudian, yakni ketika Amir Hamzah mempublikasikan sajak-sajaknya pada tahun 1937 (Nyanyi Sunyi) dan 1941 (Buah Rindu). Bandingkan pada kurun waktu yang sama telah diterbitkan roman/novel seperti  Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdul Muis, 1928), hingga ke Masa Pujangga Baru dengan diterbitkannya Layar Terkembang (S. Takdir Alisjahbana, 1936), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940).


Meski awalnya agak lambat, perkembangan puisi justru menunjukkan kepesatannya setelah puisi menemukan bentuknya yang makin bebas dengan diksi yang terasa lebih modern. Hal itu ditandai pada karya Chairil Anwar, Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam Yang Terempas dan Yang Putus (1949, terbit sesudah Chairil wafat). Terasa sekali bahasa ungkap Chairil dengan bahasa yang modern, bernas, dan nyaris mencabutkan diri dari akar Melayu-nya. Ada gelegak yang dinamis, kaya akan gaya bahasa, diksi yang benar-benar pilihan, tetapi juga dengan kata nyata yang kontekstual. Chairil yang tergolong sastrawan Angkatan ‘45 (istilah ini dikemukakan Rosihan Anwar) dan dianggap sebagai pelopor Angkatan ’45 (Eneste, 1990:45), menawarkan suatu perubahan besar dalam persajakan di tanah air, karena puisi-puisi sebelumnya pola persajakan belum bisa melepaskan diri dari pantun gaya Melayu yang terikat jumlah baris, jumlah suku kaya, dan rima.

Hingga perkembangan berikutnya, puisi-puisi Indonesia menampilkan corak, warna, dan gaya yang banyak dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar sosial, politik, dan budaya pada masyarakat dan negara maupun latar pengarangnya. Corak lainnya muncul pada revitalisasi sastra lama (mantra) dalam puisi seperti yang diungkapkan Sutardji Calzoum Bachri pada tanggal 30 Maret 1970. Pembabakan berdasarkan pengaruh banyak hal itu juga dimunculkan sebagai fase perkembangan, terutama berkaitan dengan masa yang mengandung banyak latar. Sesudah kemunculan Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45, kemudian muncul istilah Angkatan ’66 (berasal dari H.B. Jassin),  Angkatan ’70 (dimunculkan Dami N. Toda), Mimbar Penyair Abad 21, dan Angkatan 2000 (dipopulerkan Korrie Layun Rampan), meskipun beberapa orang tidak setuju dengan pembabakan seperti ini.

Perdebatan, polemik, hingga perkubuan juga mewarnai kesusastraan modern, seperti adanya Gelanggang Seniman Merdeka digagas Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Baharudin MS, Henk Ngantung, Basuki Resobowo pada tahun 1946, disambung dengan Surat Kepercayaan Gelanggang (18 Pebruari 1950 disusun, 23 Oktober 1950 diumumkan), berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (17 Agustus 1950), muncul istilah “sastra majalah” oleh Nugtoho Notosusanto (1954), Manikebu (17 Agustus 1963, diumumkan September/Oktiber 1963) disusun Wiratmo Soekito,  Aliran Rawamangun diistilahkan M.S. Hutagalung (1973), peristiwa Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung (8 September 1974) dan Jawaban Atas Pengadilan Puisi di Jakarta (21 September 1974), “sastra kontekstual” dimunculkan Ariel Heryanto (1984), “revitalisasi sastra pedalaman” (1990-an) oleh Koesprihyanto Nammma dkk., gugatan terhadap pusat-pusat kesuastraan (dekade akhir 2000-an) oleh Saut Situmorang, dll.

Gegap-gempita perpuisian di Indonesia sesungguhnya luar biasa. Beberapa karya berupa antologi puisi tunggal maupun antologi bersama berlahiran. Ruang untuk puisi disediakan di media massa khusus sastra maupun koran. Hadiah dan penghargaan hingga mencapai ratusan juta rupiah untuk puisi, buku puisi, maupun dedikasi penyair disediakan. Penyair-penyair muda di kota hingga pelosok desa  bermunculan, baik yang dicatat dalam istilah angkatan maupun tidak, baik yang dimuat di media massa maupun tidak, baik yang suka membacakan puisi di pusat-pusat kekuasaan maupun yang di pinggiran jalan, baik yang menulis puisi sebagai ideologi maupun semacam hobi, baik yang menulis puisi –diistilahkan Sitok Srengenge-- karena anugerah atau karena kutukan.

Sayangnya, perkembangan dan gegap-gempita itu seringkali luput dari ruang kelas maupun ruang kuliah. Puisi, antologi, dan penyair yang hadir di ruang kelas adalah yang tergolong “jadul” (jaman dulu). Puisi yang dihadirkan semacam Nyanyi Sunyi (Amir Hamzah), Aku (Chairil Anwar), Karangan Bunga (Taufiq Ismail), atau Hong Kong (Sutardji Calzoum Bachri), dengan kata lain hanya sampai batas masa tahun 1970-an. Antologi yang dikenalkan seperti Nyanyi Sunyi (Amir Hamzah), Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (H.B. Jassin, ed.), Tirani dan Benteng (Taufiq Ismail), atau Amuk (Sutardji Calzoum Bachri). Tak pelak penyair yang dikenal pun hanyalah dalam kurun waktu tersebut. Di ruang kelas tak dikenal atau hanya sedikit yang mengenal nama-nama seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliani, gus tf sakai, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Yohanto A. Nugraha, Nurochman Sudibyo Y.S., Raudhal Tanjung Banua, Ricky Damparan Putra, ataupun Nandang Darana, dan ribuan lainnya.

Di ruang kelas ada semacam perkembangan yang stagnan, ada semacam distorsi kronologis, dan ada semacam pemahaman bahwa membicarakan puisi adalah membicarakan “sejarah puisi” masa lalu, bukan sebuah dinamika perkembangan sastra, karya sastra, ataupun para sastrawan yang terus-menerus berjalan atau bahkan berlari.


(2)
Di tengah stagnasi dan  distorsi yang terjadi dari ruang kelas, penyair Nandang Darana menerbitkan antologi puisi Sketsa Pergantian Musim, berisikan 38 puisi. Sebelum dibawa dalam apresiasi di ruang kelas, ada baiknya mempertanyakan sebentuk apakah nilai puisi bagi seorang penyair? sebentuk apakah nilai puisi bagi seorang Nandang Darana?

Pertanyaan ini layak dilontarkan di tengah hegemoni kehidupan materialistik dan politik, serta silang sengkarut problema sosial, ekonomi, dan bahkan budaya. Pertanyaan ini juga patut dikemukakan setelah menghikmati latar jatidiri Nandang yang pernah mengenyam pendidikan filsafat, aktivis kampus, aktivis LSM, menjadi dosen, wartawan, pengembara ke beberapa kota, juga menulis artikel dan cerpen. Jangan lupa pula, pertanyaan ini juga harus diajukan, mengingat tanah kelahiran Nandang adalah Majalengka, sebuah wilayah yang banyak melahirkan dan menumbuhkan seniman, sastrawan, atau pemikir, seperti Affandi (pelukis), Ajip Rosidi (sastrawan), Ayatrohaedi (filolog, sejarahwan, sastrawan),  Moh. Sunjaya (aktor), Arthur S. Nalan (penulis naskah, mantan Ketua STSI), Endo Suanda (seniman tari dan musik tradisi), Kijoen (penyair), Hasan Ma’arif (penyair, esais), Diyanto (pelukis), Isa Perkasa (pelukis), Arif Yudi (senimana seni rupa, aktivis Jataiwangi Factory Art), Beni R. Budiman (penyair, esais), Hikmat Gumelar (esais), Joni Ariadinata (cerpenis), Fathul A. Husein (aktor, sutradara), Memet R. To’ev (penyair), Didit Sunandi (pemusik), Maman Imanulhaq Faqieh (penyair), dan beberapa nama lainnya. Tak lupa pula, puisi-puisi Nandang ditulis pada kurun waktu 1998-2002, suatu rentang waktu yang menurut Indonesianist asal Australia, Jeffrey A. Winter, sebagai change without change (perubahan tanpa perubahan).

Beberapa pertanyaan tersebut harus dikemukakan, meskipun dalam “sampurasun”-nya Nandang “menolak” tanda tanya, kata tanya ataupun kalimat bertanya tentang proses kreatif dengan beberapa argumentasi subjektifnya. Meski demikian, ia akhirnya membuka suara juga, “Ada satu hal yang ingin saya tekankan. Sajak-sajak dalam Sketsa Pergantian Musim ini merupakan buah dari ketegangan yang terus-menerus mendera kesadaran saya dalam rentang 1998 - 2002.”

Bahkan ia secara terbuka menyebutkan, “Dalam kurun ini, di satu sisi, ada keinginan untuk menemukan makna yang tegas seperti yang diangankan dalam filsafat; tetapi di sisi lain, secara serempak, muncul pemahaman bahwa (ternyata) obyek itu tak bisa secara tegas-logis dirumuskan dan dijelaskan. Baiklah. Saya berharap kumpulan puisi ini dipandang sebagai upaya menempati ruang --sebagai semacam penghayatan eksistensial mengenai beragam makna hidup. Mudah-mudahan, kumpulan puisi ini menjadi semacam kesaksian atas realitas tertentu dalam kehidupan.” Begitu kata Nandang.

Pernyataan Nandang yang demikian lengkap dan lugas, lalu apakah menjadikan apresiasi terhadap puisi-puisinya selesai begitu saja?

Memang, pertanyaan-pertanyaan tentang puisi akan berkenaan dengan apa yang disebut I.A. Richards sebagai empat arti puisi (Sumardjo dan Saini, 1988:124), telah terjawab. Sangat mungkin, apresiator --melalui pernyataan Nandang-- sudah mengetahui Nandang dalam hal pemikiran dan kesadaran sebagai penyair, perasaan penyair, nada bicara penyair lewat karyanya, dan itikad atau keinginan penyair untuk mengungkapkan sesuatu tanpa mempedulikan dampak atau respon orang lain. Akan tetapi, cukupkah?

Saini K.M. (Dua Wajah: Kumpulan Sajak, tanpa tahun) menyebut nilai atau mutu karya puisi tidak terutama terletak pada pokok yang ditulis penyair, melainkan pada cara penyair menghayati (merespons) pokok itu dan pada kemampuannya untuk mengungkapkan penghayatannya itu dalam bahasa yang memadai.

Menceritakan tentang puisi memang tidak mudah, tetapi mendekatinya mungkin tidak sulit. Sebagaimana kita tahu cahaya itu apa, tetapi menceritakan itu, tidak mudah. Ada pengibaratan, bahwa sebuah puisi memiliki banyak pintu. Kita bisa memasuki atau menengok dari salah satunya. Memasuki atau menengok dengan cara pengkajian, bisa dilakukan dengan melihat dari sudut struktural ataupun postruktural. Bisa dari sisi struktural secara intrinsik (kata nyata, diksi, tema, gaya bahasa, tujuan) maupun postruktural (ditinjau dari psikologi, filsafat, sosiologi, latar sejarah, latar biografi penyair, feminisme, dll.)


(3)
38 puisi Nandang Darana bisa ditampilkan di ruang kelas sebagai pengenalan, pemahaman, ataupun pencatatan terhadap perkembangan karya puisi mutakhir. Meski tidak semuanya sependapat, penelaahan perkembangan sastra (puisi) ditinjau dari sisi pembagian angkatan lebih memudahkan, terutama dalam menilai perbedaan atau persamaan di antara angkatan-angkatan tersebut. Secara garis besar masing-masing angkatan mempunyai norma-norma sastra yang khas yang dilihat pada perbedaan stratanya, juga mempunyai bentuk-bentuk mereaksi tertentu, seperti tampak pada cara berpikir dan merasa serta cara mengungkapkan (memberikan bentuk) pada pikiran dan perasaan tersebut. H.B. Jassin dalam buku Angkatan ‘66: Prosa dan Puisi menyebut jika diperhatikan, sejarah kesusastraan Indonesia dan dunia, tampak bahwa tiap 15 atau 25 tahun timbul generasi baru. Kata Jassin, hal itu cocok dengan perkembangan manusia secara pribadi. Tiap 15 atau 25 tahun timbul generasi baru yang dalam pandangan hidup dan sikap hidup berbeda dengan generasi sebelumnya yang telah membeku pula perkembangannya. Dalam tahun 1980 akan datang lagi satu angkatan baru, tahun 2000 dan seterusnya..

Pramudya Ananta Toer (1952) menyebutkan, angkatan ialah suatu golongan yang diikat oleh satu ikatan jiwa, kesatuan semangat dalam rangkuman tempat, masa dan lingkungan yang sama. Rakhmat Djoko Pradopo (1968) menyatakan, angakatan dalam sastra ialah sauatu bagian waktu yang dibatasi oleh suatu sistem norma-norma yang tersangkut dalam proses sejarah itu dan tak dapat dipisahkan darinya. Fenomena kepenyairan maupun antologi puisi Nandang Darana yang lahir pada dekade 1990-an hingga 2000-an kemungkinan pertama akan diperoleh ciri-ciri tema maupun gaya tulisan dalam tiap angkatan. Kemungkinan kedua akan diperoleh pergesekan dan pembaharuan gaya dan metafora yang digunakan.dalam angkatan baru terhadap angkatan sebelumnya. Dua kemungkinan itu juga berlaku bukan hanya antargenerasi, akan tetapi juga antarpenyair seangakatan maupun berbeda angkatan, yang menurut istilah Abdul Hadi W.M. sebagai hubungan tematis dan estetis. Tema-tema karya puisi Nandang yang banyak mencatat perjalanan, pencarian jatidiri, maupun hakikat kehidupan dengan berbagai bahasa ucap yang penuh majas (perbandingan, pertentangan, pertautan, perulangan).

Nandang banyak menyertakan majas, seperti metafora (membandingkan benda yang satu dengan benda yang lain), seperti ini:
Astaga, perjalanan telah semakin tua (sajak Memoriam Tanah kelairan, #1).
Tua biasanya digunakan untuk umur, tetapi Nandang menuliskannya untuk perjalanan.
Setiap sajak yang terpahat, sekedar kanvas (Memoriam Tanah Kelairan, #3).
Di situ ada perbandingan benda, antara “sajak yang terpahat” dengan “kanvas”.

Paralel (sesuai, searah), terlihat pada:
Matahari raib dalam lingkatan kabut? (Memoriam Tanah Kelairan, #2).
Tiap hari aku menyaksi matahari / memanggang peluh dan daging (Monolog Penyair, #2)
Kabut telah melekatkan catatan pada senja / yang memerah di gerbang malam. (Nyanyian Perjalanan, #2)

Paradoks (kebalikan) pada kalimat seperti ini:
Setiap hari, kita akan terus berkawan dengan belati (Sketsa Pergantian Musim)
Matahari hanyalah pengertian yang menjelma / pada pesta-pesta sunyi (Episode Penghabisan)

Personifikasi (benda mati diumpamakan benda hidup) tampak pada kata-kata ini:.
selain kita berkarat dalam abjad-abjad retak (Sketsa Pergantian Musim)
Sebotol arak kutanam di kepala (Catatan Malam)
Juga membunuh / sisa-sisa halaman buku harian (Determinisme, #1)

Simbolik (perlambang):
Biarkan saja cuaca, sendiri mencari pelangi (Memoriam Tanah Kelairan, #3),
Bulan separuh terlihat kecut. Kidung-kidung limbung. Mantra-mantra merana.  Doa-doa meranggas. (Memoriam Tanah kelairan, #1).
sayapmu terus mendengung / menderukan genderang perang! (Nyamuk Jakarta),
saat engkau / menjadi puisiku (Puisi Lelaki)
ah, ulat yang melata kian sulit berkata-kata (Maklumat Terakhir),
memeluk luka kepompong di langit jiwa (Nyanyian Perjalanan),
Hiperbola (berlebihan):
Menangkap rembulan / untuk kusematkan di urai rambutmu (Ada Gerimis),
Tuhan, pejamkan matamu / sejenak saja, please! (Catatan Malam)
Anak-anak telah menyulamkan tato di jantungnya (Monolog Penyair, #1)
Pulang ke rumah setelah ribuan taun / melukis hujan lewat gelas-gelas pecah. (Pulang ke Rumah).

Gaya dengan kaya majas inilah, yang akhir-akhir ini banyak diekspolitir para penyair untuk mengekspesikan pemikiran dan perasannya Sekali lagi, pemikiran dan perasaan. Bukan hanya pemikiran semata, dan bukan hanya perasaan semata. Jika puisi berisi pemikiran semata, teks-teks hanyalah pidato. Jika puisi berisi perasaan semata, teks-teks menjadi sebuah kecengengan. Nandang Darana mampu meramu pemikiran dan perasaan tersebut menjadi bahasa ucap yang puitis.

Membaca puisi-puisi Nandang, latar biografi singkatnya, terasa sekali dia memilih menjadi penyair yang serius dan kepenyairan sebagai suatu profesi. Bukan kepenyairan yang tergolong komunitas hobi. Bukan kepenyairan yang segolongan dengan kelompok hobi memancing, filatelis, ikan koi, sepeda onthel, pengisap cerutu, uang kuno, dan sejenis lainnya. Nandang tidak seperti itu, sebab penyair adalah pemikir dan kreator, sebab penyair berada di antara ulama dan filsuf ataupun politisi dan guru. Puisi-puisinya berada di antara ayat-ayat suci dan  filosofis. Memberi inspirasi bangsa antara aksi politik atau nasehat guru. Secara umum, tema-tema puisinya adalah pencarian jati diri, kontemplasi, ada juga rindu kampung yang dikemas dengan penuh hikmah kehidupan. Tema seperti itu memang tak lepas dari latar pendidikannya di jurusan filsafat, pengembaraannya di dunia LSM, wartawan, dan dosen. Meski demikian, agak sulit menemukan identitas kedaerahannya (Majalengka) maupun gegap-gempita reformasi tahun 1998 maupun pascareformasi, padahal antologi tersebut berisi puisi-puisi yang ditulis tahun 1998-2002.

Meski demikian, puisi-puisinya penuh hikmah. Kita bisa menikmatinya dengan seksama, misalnya –agar lebih jelas dan gamblang-- dengan pendekatan parafrase. Puisi “Sketsa Pergantian Musim” bisa dipahami seperti begini:

Perjalanan kita tak 'kan pernah bisa istirah.
(perjalanan hidup kita/manusia/kau dan aku selalu terus-menerus berjalan)
Dendam kita tak 'kan pernah bisa dituntaskan,
(dendam/obsesi/keinginan pada sesuatu selalu tak selesai)
selain kian berkarat dalam abjad-abjad retak.
(selain makin usang/tak terpakai pada nasehat/ayat suci/pidato/UU yang tak utuh lagi)

Kita akan terus meranggas dalam belenggu
(manusia/kau dan aku/ aku dan dia akan habis/rontok dalam kekangan/pasungan/tanpa kebebasan)
kemarau yang parau. Sungguh,
(suatu waktu/suasana yang tidak bagus lagi dan tidak mampu disuarakan. Benar-benar)
kita tak punya kuasa,
(manusia/kau dan aku/aku dan dia tak memiliki kekuatan),
bahkan untuk sekadar pada keriangan kanak-kanak
(khidmat, peduli, menyukai sesuatu yang polos, suci, yang awal mula)
yang berkemah di pintu rumah.
(mewujud terlihat utuh di hadapan kita tiap hari, karena tiap pagi kita buka pintu rumah akan melihat apa yang ada di depannya)

berkawan dgn belati
(akrab, mengenal, tahu dengan adanya kekerasan, bela diri, waswas, keresahan, kriminalitas)
melumuri diri dengan bayang-bayang kelam
(berbaur/bercampur dengan masa lalu yang tidak bagus)
dari alpa yang silam
(kesalahan/kekeliruan masa lalu)

: apakah kau telah lupa?
(kamu melupakannya tidak?)

setiap musim hanya mencatat senja
(tiap situasi/kondisi/waktu/peristiwa hanya menghasilkan/ akan menjadi kelam/indah/hikmah?
Gelisah di cakrawala
(resah/ di peradaban/kehidupan)
Kelelawar adalah anak-anak zaman yg merayakan pesta
(makhluk malam/suka buah-buahan/wajah buruk/bau, berpesta pada malam hari)
Malam penuh tuba
(malam yang penuh racun, sesutau yang tak bagus bagi fisik maupun mental)

Memilih sepi sambil merangkai mimpi
(kontemplasi dengan menyusun rencana-rencana/obsesi/keinginan ke masa depan)
Pada langit jua
(langit /atas/tinggi/agama/Sang Pencipta)
Catatan tentang musim akan kembali
(hikmah dari peristiwa/situasi/kondisi/kehidupan dikembalikan dengan sadar)

Puisi Nyanyian Perjalanan, #1 bisa ditafsirkan begini:
Ribuan tahun aku berjalan memeluk luka
(selama waktu yang cukup lama/bertahun-tahun aku mengembara penuh penderitaan)
kepompong di langit jiwa.
(sesuatu yang belum jadi keindahan, tetapi ada di angan-angan)
Kumasuki semua lorong kabut
(perjalanan dalam pengembaraan itu memasuki semua rintangan demi rintangan)
dan malam-malam yang gelisah,
(pada penderitaan yang paling membuat gelisah)
hingga semua jejak pecah
(semua pengalaman dan kenyataan yanag sudah terjadi buyar kembali)
pada pagi yang resah.
(ada harapan, tetapi belum menunjukkan hal yang pasti)

Bukakan pintu, bukakan jendela
(kepada orang-orang dekat/sahabat/Tuhan: memohon agar membuka harapan)
Aku akan singgah di kalbumu.
(jiwa yang resah ini akan masuk dan menetap dalam tempat yang damai)

Ribuan tahun kita akan berjalan
(selama waktu yang cukup lama kita akan mengembara kembali)
Memasuki semua persimpangan
(menemui pilihan hidup, mana yang harus dipilih)
untuk membaca semua tanda.
(memahami banyaknya rintangan, halangan, ataupun petunjuk yang benar dari kehidupan)

Puisi Determinisme, #1 ditafsirkan:

Di hadapan sebuah senja, kita hanya bisa gagap
(di depan sesuatu yang indah tapi mungkin akan menjadi kegelapan, kita termangu/bingung)
sambil mengamini semua perih kelamin yang pecah
(mengiyakan saja atas semua kejadian kehidupan, karena kegagalan jadi seorang lelaki/seorang yang seharusnya mampu menanggulangi masalah kehidupan)
sambil melata bagai sisiphus yang celaka.
(berjalan seadanya seperti sesuatu yang justru akan celaka)

Kata-kata hanyalah tumpukan batu yang dungu
(pembicaraan/tulisan/dialog justru buntu dan dianggap bodoh)
di tengah kemarau yang parau, sambil menanti
(padahal suasana kehidupan tidak bagus, dan sambil menanti pengharapan)
detik-detik paling asing persaksian
(saat-saat yang belum dikenal sama sekali)
lukisan-lukisan merah jingga.
(gambaran sesuatu yang memberi harapan)

Kita terus melata dalam kesadaran yang tergadai
(kita terus melakukan pengembaraan, tetapi kehidupan ini seakan-akan bukan milik kita)
dan menikami waktu, juga membunuh
(kehidupan ini penuh penderitaan, kesengsaraan)
sisa-sisa halaman buku harian
(sengsara yang berimbas pada hari-hari sebelumnya)
lalu runtuh dan beku di sudut-sudut kelu.
(sampai-sampai tak berdaya)

Di hadapan senja yang tembaga
(menghadapi suatu waktu yang memberi harapan yang bagus)
daunanlah yang menuntaskan semua perjalanan.
(akan ada suatu harapan baru yang segar yang akan menentukan kehidupan ini)

Melalui antologi Sketsa Pergantian Musim, pengenalan dan pemahaman terhadap puisi mutakhir dan penyair angkatan 2000-an bisa tercapai. Secara spesifik, ketika ditampilkan di ruang kelas puisi-puisi bisa memenuhi tujuan pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian dan keagamaan. Bukankah tujuan pengajaran sastra untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra, yang diperoleh dari apresasi dan ekspresi. Bukankah tujuan memperoleh pengetahuan sastra berasal dari sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra, seperti melalui pembacaan, pemahaman, penelaahan, maupun kritik terhadap karya Nandang Darana.

*Makalah disampaikan pada Selasa malam, tanggal 28 Desember 2010
di Gedung Panti Budaya Indramayu

**Penulis adalah Penyair & Guru SD Inpres,
Tinggal di Griya Paoman Asri, Jl. Jati 7 Indramayu
HP 085224102317, email supalikasim@yahoo.co.id





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik