Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Kultus Individu dari Dunia Sepi yang Puitis





Oleh SUPALI KASIM

Makhluk apakah penyair di tengah pembangunan(isme) yang mengedepankan metarialisme, bakan konsumerisme dan hedonisme? Seberapa pentingkah melirik puisi dibanding memikirkan jembatan yang terputus, aspal jalan raya yang terkelupas, atau gedung sekolah yang ambruk? Atau bahkan, apa perlunya menggelar acara dialog sastra dibanding membangun yel-yel pro Provinsi Cirebon?

Di Panti Budaya Indramayu, Sabtu (23/2) penyair Yohanto A. Nugraha menggelar “dialog sastra menuju kearifan budaya lokal” (sambil mengingat usianya yang mencapai 53 tahun). Tak ada yang istimewa, hanya agenda biasa yang dilakukan para penggiat sastra. Tak ada yang menarik, selain pembicaranya yang merupakan generasi baru “tukang debat” di Indramayu, yakni Hadi Santosa (musisi) dan Abdul Aziz (penyair). Tak ada yang perlu digugat, sebab proses pendewasaan tengah berlangsung untuk semua yang hadir (penyair, seniman lain, guru sastra, dsb.).
Tak ada yang istimewa, memang, seperti juga matahari yang selalu mengitari bumi  berulang-ulang, seperti ombak laut yang mencumbu bibir pantai berulang-ulang. Yang istimewa dan menarik (mungkin) pada diri sosok Yohanto A. Nugraha. Ibarat peribahasa seperti buah kelapa, makin tua makin berminyak. Produktivitas puisi yang tetap terjaga adalah jawabannya sejak remaja hingga usia 53, suatu usia yang mungkin sia-sia ketika parameter kacamata kita adalah pembangunan(isme). Puisi, dengan segala konsekuensinya telah ia redam dalam kebisingan sunyi, yang mengalir dalam darah maupun detak jantung keluarganya. Di Indonesia, sangat-sangat sedikit memilih puisi adalah dunianya, sekaligus mencari nafkah hidupnya.
Penulis yang juga guru teladan nasional, Supriyanto F.Z. malah berterus-terang telah lama meninggalkan puisi, karena dalam puisi hanya ada obsesi dan halusinasi tetapi tak ada gizi! Di Indonesia, puisi tak dihargai. Akan tetapi A. Nugraha tetap menggeluti. Karya-karyanya  selain dalam berbagai penerbitan, juga sejumlah buku antologi bersama, antara lain “Antologi Penulis Indramayu (1982), “Tanah Garam” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), “Jurang” (1999), , “Dari Negeri Minyak” (2001), “Lagu Matahari” (2004) dan “Aku Akan Pergi ke Segala Peristiwa” (2006). Antologi tunggalnya adalah “Orasi Sunyi” (2005).

Menjadi biji
Sosok dan hidup A. Nugraha sendiri laiknya puisi sunyi: menyendiri, introvert, tetapi menyimpan magma! Memang, ada kalanya seseorang memilih menjadi bunga: harum, semerbak, menarik, tetapi akhirnya layu. Tak banyak orang yang mengambil peran sebagai biji: tersembunyi, tak terliat, tak menarik, tetapi akan mampu menumbuhkan tunas-tunas. Pembicara Hadi Santosa mencatat, di satu sisi, ada semacam gugatan puisi A. Nugraha “bersembunyi di balik metafor yang ia bikin sendiri, bak sebuah kolase yang menempelkan berbagai teks dalam puisi-puisinya, tidak menghasilkan gagasan apapaun, apalagi soslusi”. Atau kata penyair Saptaguna, “peladang kata yang memanen setiap saat.”
Di sisi lain, totalitas A. Nugraha merupakan energi tersendiri, seperti tampak pada pergelutannya dengan puisi, menghidupan ruh organisasi sastra, lomba-lomba sastra, dan kegiatan sastra lain. Penyair angkatan sesudahnya bahkan sedikit memiliki keterpengaruhan, walau pada akhirnya menemukan corak sendiri.
Memaknai ultah seseorang dengan dialog sastra, justru menjauhkan diri dari apa yang disebut penyakit orang-orang pintar tetapi lemah, yakni kultus individu. Melalui puisi, justru telah terbangun perdebatan secara serius akan esensi puisi dan maknanya. Melalui dialog sastra, justru karya sastra dipertimbangkan, diapresiasi, dihargai, digugat, bahkan dibantai, sekalipun acaranya adalah ultah seseorang (penyair). Mengikuti dialog adalah proses pembacaan itu sendiri. Sebagaimana pembicara Abdul Aziz mengingatkan, membaca adalah aktivitas melihat sesuatu kemudian dibaca, tersurat (firman, buku, majalah, koran, dsb.) ataupun tersirat dalam semesta beserta isinya (termasuk peristiwa manusia, bencana, dsb.).

“Pejah-gesang…”
Kesan pengerucutan simpulan sangat jauh dalam dunia sastra. Tidak seperti debat orang-orang pintar, yang ujung-ujungnya menyerahkan keputusan pada orang yang dianggap lebih tinggi, lebih besar, dan lebih berkuasa, dengan adagium, “kami akan bergerak, apa kata Bapak….”. Dalam hal ini “Pejah-gesang nderek…”, “Opo Jare….”, “Sesuai petunjuk Bapak….,” bukan hanya menjadi bahan olok-olok, tetapi juga pengerdilan jatidiri manusia merdeka dan mendekatkan diri pada kultus individu.
Posisi penyair (sastrawan) sejak dulu memang bukan makluk manusia pada umumnya. Ada semacam gugatan, apa yang kau sumbangkan bagi kehidupan? Kacamata pembangunan(isme) inilah yang seringkali dipakai secara dangkal untuk mengukurnya dengan profesi lain (ukuran terlihat, berjasa secara langsung, berdayaguna secara langsung). Senantiasa dipertanyakan secara elementer, apa sih sumbangan puisi bagi kehidupan?
Jayabaya pada zamannya atau Ranggawarsita pada zamannya sebagai penyair (pujangga) mampu menggambarkan kehidupan dan perilaku menyimpang manusia. Karya-karya mereka menjadi cermin bagi manusia jaman sekarang, bahkan tanpa disadari terjadi pengulangan perlilaku manusia maupun pemerintahan. Jayabaya maupun Ranggawarsita mampu menjadi “saksi sejarah” lewat karya-karyanya.
Marah Rusli melalui “Sitti Nurbaya” tidak berniat melakukan protes sosial atas ketakadilan bagi perempuan yang harus kawin paksa pada jamannya. Ia hanya memiliki cara dan wahana melalui roman, yang kemudian dikategorikan kritikus sebagai protes sosial. Chairil Anwar juga tak hendak memperbaharui bahasa Indonesia gara lebih modern ketimbang bahasa melayu asli, melalui sajak-sajaknya. Akan tetapi karya Cairil memiliki rasa dan nuansa lain, yang mampu menghidupkan bahasa Indonesia yang tidak “kampungan”, “tidak mendayu-dayu” dan terkesan modern.
John F. Kennedy pernah berkata, jika politik sudah kotor, puisi yang akan membersihkannya. Puisi sebagai deterjen? Puisi sebagai abu gosok? Kedengarannya naïf dan demikian instant. Muhammad Yamin malah berujar teks proklamasi adalah puisi (bisa jadi juga teks-teks lainnya). Bahkan kitab suci pun ditulis secara puitis. Ketika orasi, yel, teriak yang cenderung tanpa tedeng aling-aling, bar-bar, dan bombas, puisi seperti kata Jon F. Kennedy bisa menjadi deterjen?
Di tengah hegemoni industri --yang juga merasuk dunia seni--, pilihan menekuni puisi adalah keniscayaan. Merekam jejak, melarutkan imajinasi, dan menuangkan dalam catatan yang seringkali tak dihargai, jika memang sebuah pilihan….***

*Penulis adalah penyair

Indramayu, 25 Feb  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik