Oleh
Supali Kasim
Seminar Sehari
“Bedah Sejarah Indramayu”
Yayasan Candra Aria Manggala, Karangasem Terisi Indramayu
Sabtu, 8 Mei 2010
Pengungkapan sejarah suatu daerah, salah satunya, adalah melalui penelisikan naskah-naskah yang diketemukan. Hasil dari perburuan untuk mengumpulkan naskah-naskah yang berkaitan dengan Indramayu, setidak-tidaknya telah menemukan gambaran, wujud, dan kronologi sejarah Indramayu dalam berbagai dimensi. Ada yang berupa sepenggal kalimat, sebentuk paragraf, sepotong catatan, naskah atau buku yang berkaitan dengan Indramayu dalam berbagai zaman. Ada yang berasal dari catatan asing (Portugis dan Cina), naskah tradisional (Babad Dermayu dan Naskah Wangsakerta) maupun buku yang ditulis di era sekarang.
Ada tiga naskah atau buku yang lengkap, tidak sepotong-potong, yang menggambarkan ”sejarah Indramayu”. Ketiganya selama ini senantiasa menjadi referensi masyarakat dan pemerintah tentang kronologi sejarah Indramayu. Ketiga naskah atau buku itu adalah naskah Babad Dermayu (Babad Carbon 2) yang penulisnya tidak dikenal pada tahun 1900 (transliterasi dan terjemahan tahun 2008 oleh Ruhaliah, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat, kerjasama dengan Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, selanjutnya disebut Babad Dermayu 1900/BD 1900), buku Sejarah Indramayu tulisan H.A. Dasuki, dkk., 1977 (selanjutnya ditulis SI 1977), dan buku Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari tulisan H.R. Sutadji K.S., 2003 (selanjutnya disebut DPDAN 2023).
Meski tercatat ada tiga naskah atau buku tentang sejarah Indramayu, sesungguhnya hanya satu sumber, yaitu dari sumber Babad Dermayu. Naskah tersebut juga, sebenarnya, tidak hanya satu versi. Naskah yang ditransliterasi dan diterjemahan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat adalah salah satu versi di antara versi-versi lain Babad Dermayu, yang ditulis dalam kurun waktu berbeda. Naskah tersebut ditulis tahun 1900 dalam aksara Cacarakan Jawa dan bahasa Jawa-Cirebon. Naskah babad Dermayu lain, dengan kisah yang tidak jauh berbeda, konon ada yang ditulis jauh sebelum kurun waktu tersebut.
Buku SI 1977 pada bab mengenai pendiri Indramayu, Wiralodra dan segala tepak-terjangnya, bersumber pada lontar Babad Dermayu. Penulisannya bergaya kisah penuturan dengan menyalin naskah babad sesuai aslinya. Pada bagian akhir ada analisis, penafsiran tahun peristiwa, dan kesimpulan. Hal yang sama juga pada buku DPDAN 2003, namun penulisannya berupa fiksi-sejarah. Buku itu berdasarkan naskah babad dengan segala interpretasi penulis. Di dalamnya ditafsirkan juga tahun-tahun peristiwa berdasarkan penafsiran penulis. Sumber tulisannya adalah lontar Babad Dermayu.
Akan halnya naskah BD 1900, murni transliterasi dan terjemahan dari naskah Babad Dermayu yang diketemukan. Naskah itu ditulis setebal 124 halaman dengan bahan baku kertas Eropa, warna kertas putih kusam karena dimakan usia. Tintanya berwarna coklat/hitam, sebagian lagi pensil sehingga agak sulit dibaca. Ada beberapa bagian yang sudah sobek atau kanan-kiri halaman tidak terbaca karena terjepit. Hal seperti itu menyebabkan beberapa nama atau peristiwa hanya ditulis … (titik-titik). Naskah berbentuk tembang pupuh/macapat, yaitu tembang sinom, kinanti, durma, dangdanggula, pangkur, dan asmarandana, yang ditulis tahun 1900. Pembacaan macapat berdasarkan patokan guru wilangan atau banyaknya wanda (suku kata) dalam setiap gatra (kalimat) dan banyaknya gatra dalam setiap pada (bait), serta guru dhandhing atau guru lagu (rima).
Dalam khazanah kesusastraan daerah Cirebon-Indramayu, jenis sastra macapat digolongkan berkembang sekitar awal tahun 1700-an sampai akhir 1800-an (Rahardjo, 2005:52). Beberapa pendapat tentang macapat antara lain:
a. secara etimologi berasal dari manca+(pa)pat, yakni berangkat dari sebuah konsep pemikiran ”sedulur papat kalima pancer”, yang terdiri dari darah, kekawah, badan/pancer, ari-ari, dan bungkus.
b. kependekan dari maca papat-papat (membaca empat demi empat suku kata), yang didasarkan pada cara pembacaan wacana macapat yang memiliki andeghan, pedhotan (jeda) setelah empat wanda (suku kata) pertama pada setiap gatra (kalimat).
Versi BD 1900
Ringkasan cerita dalam BD 1900 yang sudah ditransliterasi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
1. Sinom
Pada pupuh ini disampaikan silsilah, dimulai dari Ngabehi Wirasecapa dari Bagelen. Nama-nama yang disebutkan selanjutnya adalah Pangeran Hadi…, Tumenggung Gagak Pernala, Pringgandipura, Gagak Wirahandaka, Gagak Kumitir, Gagak Wirakusuma, Gagak Singalodraka, Wangsanagara, Wangsayuda, Wiralodra, Tanujaya, Tanujiwa. Dikisahkan Wiralodra bertapa agar mendapat kemuliaan. Pada malam Jum’at ia mendapat petunjuk.
2. Kinanti
Petunjuk yang didapat Wiralodra adalah agar ia membabat hutan di kali Cimanuk. Wiralodra kemudian berangkat ditemani Ki Tinggil menuju selatan kaki gunung. Setelah tiga tahun berkelana keduanya bertemu dengan Buyut Sidum yang memberi petunjuk mengenai tempat yang dicarinya. Buyut Sidum kemudian menghilang. Keesokan harinya mereka berjalan hingga tiba di Pasir Kucing dan menemukan kali yang jernih. Wiralodra kemudian mandi sedangkan Ki Tinggil tertidur hingga dua minggu lamanya. Mereka kemudian menuju arah utara dan bertemu dengan Wirasetra. Keduanya beristirahat dan disuguhi makan. Setelah sebulan lamanya keduanya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah dua bulan keduanya bertemu kembali dengan Ki Sidum yang menyediakannya macam-macam tanaman palawija. Ki Sidum menyamar sehingga keduanya tidak mengenalinya dan terjadi perkelahian karena Ki Sidum pura-pura marah. Ki Sidum memberi petunjuk bahwa tempat yang dicari mereka sudah hampir dekat. Wiralodra diperintahkan untuk menyeberang. Bila menemukan kijang mas bermata intan harus dikejar. Bila kijang itu menghilang maka itulah tempat yang dituju. Keduanya bertemu dengan macam-macam binatang buas. Ketika bertemu dengan ular maka ular itu dipukulnya dan berubah menjadi sungai. Lalu ia menemukan … (titik-titik, naskah aslinya sobek) yang kemudian berubah menjadi wanita cantik.
3. Sinom
Wiralodra menghampiri perempuan tersebut, yang mengaku dirinya bernama Larawana, dan ia belum menikah. Keduanya kemudian berkelahi dan Larawana berubah menjadi kijang mas. Wiralodra dan Ki Tinggil kemudian mengejar kijang mas tersebut menuju arah timur dan berhenti di sungai Cimanuk. Kemudian terdengar petunjuk bahwa tempat itulah yang mereka cari. Wiralodra kemudian membabat hutan sehingga berbagai binatang buas dan makhluk halus melarikan diri. Hal itu membuat Ki Gede Muara marah dan terjadi pertarungan.
Ki Tinggil lalu membaca mantra sehingga para siluman menjadi lumpuh. Saat itu datang utusan dari Tunjung Mas, yang mengatakan tidak boleh mengganggu Wiralodra karena keturunan Majapahit. Setelah itu tidak ada gangguan lagi sehingga keduanya dapat membuat pondokan dan berkebun dengan nyaman. Lama kelamaan banyak orang berdatangan dan Ki Tinggil dijadikan lurah. Setelah tiga tahun Wiralodra kembali ke Bagelen menemui ayah dan ibunya. Ternyata ayahnya mengangkat Wiralodra untuk memimpin Bagelen dibantu adik-adiknya, yaitu Wangsayuda, Tanujaya, Wangsanagari, dan Tanujiwa.
Dikisahkan Ki Tinggil yang menjadi lurah mengangkat beberapa orang untuk membantunya, yaitu Bayantaka, Jayantaka, Surantaka, Wanaswara, Puspahita, dan Ki Pulana. Tiba-tiba datang perempuan cantik yang bernama Nyi Hindang Darma ke kampung Ki Tinggil. Nyi Hindang Darma diizinkan untuk membuat pondokan di tempat itu. Ki Tinggil mempunyai rencana untuk memberikan Nyi Hindang agar dijadikan istri oleh Wiralodra. Keberadaan Nyi Hindang Darma sampai ke telinga Pangeran Palembang. Pangeran Palembang dengan murid-muridnya datang hendak menyerang Nyi Hindang tetapi berubah menjadi terpesona oleh kecantikan Nyi Hindang. Lalu terjadi perkelahian antara Nyi Hindang dengan Pangeran Palembang. Karena kesaktiannya, Nyi Hindang dapat mengalahkan musuhnya hingga tewas.
Ki Tinggil melaporkan kejadian tersebut kepada Wiralodra di Bagelen. Ia juga menyarankan agar Wiralodra dengan adik-adiknya pergi ke pondokan yang mereka buat. Mereka kemudian berangkat. Sesampainya di pondokan, Ki Pulaha diminta untuk mengundang Nyi Hindang.
4. Kinanti
Nyi Hindang memenuhi undangan Wiralodra. Semua terpesona melihat kecantikannya. Atas permintaan Wiralodra, Nyi Hindang menceritakan pertarungannya dengan Pangeran Palembang. Wiralodra dan adik-adiknya bertarung dengan Nyi Hindang setelah terlebih dahulu mengadakan perjanjian, yang kalah menjadi pembantu yang menang. Keempat adik Wiralodra sudah kalah.
5. Durma
Wiralodra dan Nyi Hindang masuk hutan untuk bertarung. Karena tidak bisa mengalahkan Wiralodra, Nyi Hindang lalu menghilang dan berubah wujud berkali-kali. Wiralodra tidak berhasil menangkap Nyi Hindang. Ia mendengar suara Nyi Hindang agar memberi nama tempat itu menjadi Darmayu. Wiralodra melanjutkan perjalanan menuju barat dan sampai di Pegaden. Setelah tiga malam kemudian kembali ke Cimanuk. Sesampainya di Cimanuk ia dikejutkan oleh kedatangan pasukan Pangeran Haryakuningan dari Gerage. Ia diperintahkan Sultan untuk memeriksa orang yang membuat negara. Terjadi pertarungan antara Arya Kumuning dengan Wiralodra. Kuda Arya Kumuning tunduk kepada Wiralodra dan membawa Arya Kumuning ke Kuningan. Setelah sampai kuda itu melepaskan Arya Kumuning lalu melarikan diri ke hutan.
Patih Kuningan yang bernama Dipasarah lalu diperintahkan untuk mengabdi kepada Wiralodra.
6. Dangdanggula
Wiralodra kembali kepada pasukannya. Perkampungan yang dibuat tersebut kemudian diubah menjadi negara dan diberi nama Darmayu dan diadakan pesta selamatan. Adik-adik Wiralodra kemudian kembali ke Bagelen.
7. Durma
Datang buronan dari Jepara yang akan merebut negara, yaitu Watuhaji dan pasukannya. Wiralodra berhadapan dengan Watuhaji. Keduanya sama kuatnya. Wiralodra mengeluarkan kesaktiannya, begitu pula Watuhaji.
Lama-kelamaan Darmayu menjadi negara yang ramai, banyak pendatang dari Sumatra, Palembang, Bogor, dan Karawang. Pasukan dari Bogor dan Karawang datang karena terdesak oleh pasukan Belanda. Mereka mempersembahkan harta kepada Wiralodra sehingga Wiralodra menjadi sangat kaya.
8. Dangdanggula
Watuhaji dan pasukannya seharusnya dikirimkan ke Mataram untuk dihukum mati, tetapi Wiralodra membiarkannya tetap hidup dan diperintahkan untuk menuju gunung. Pasukan Watuhaji menjadi perampok.
Wiralodra memiliki anak yang bernama Sutamerta, Wirapati, Nyayu Hinten, Drayantaka. Setelah Wiralodra meninggal dunia digantikan oleh Wirapati dan disebut Wiralodra II. Wiralodra II memiliki dua orang istri dan 13 putra. Nama putranya yaitu Radén Kowi, Radén Timur, Radén Sumerdi (Samerdi), Radén Wirantaka, Radén Wiratmaja, Hajeng Raksawiwangsa, Hajeng Sutamerta, Hajeng Nayawangsa, Hajeng Wiralaksan[n]a, Hajeng Hadiwangsa, Hajeng Wilastro, Hajeng Puspataruna, dan Hajeng Patranaya. Nyayu Hinten menikah dengan Werdinata, saudara Wirapati. Anaknya diberi nama Raden Wringin Hanom.
Wirapati dimintai tolong oleh Dalem Sumedang untuk menghadapi pasukan Dalem Ciamis dan Kuningan. Wirapati (Wiralodra II) dengan Raden Wringin Hanom dapat mengalahkan musuh Dalem Sumedang. Dalem Sumedang menyatakan bahwa Sumedang disatukan dengan Indramayu, termasuk pesisir Kandanghaur.
Ketika Wiralodra II meninggal dunia digantikan oleh Raden Sawerdi (Wiralodra III). Ia mempunyai putra empat orang, yaitu Radén Benggala, Radén Benggali, Hajeng Singawijaya, dan Hajeng Raksawinata. Ketika Wiralodra III meninggal dunia, Benggali menginginkan jabatan. Tetapi berdasarkan ketentuan yang menggantikan harus Benggala. Benggali mengancam sehingga proses pergantian bupati tertunda lima bulan. Keputusan dari Betawi memperkuat bahwa yang menjadi pengganti adalah Benggala (Wiralodra IV).
Benggala (Wiralodra IV) mempunyai delapan orang anak, yaitu laki-laki Radén Lahut, Radén Ganar (Gandur), Hajeng Parwawinata, Radén Solo alias Kartawijaya, Hajeng Nahiyasta, Hajeng Gembrak, Hajeng Tayub, dan Hajeng Moka. Nyai Moka pekerjaannya mengaji, sehingga diadakan tempat pengajian untuk keluarga dalem. Kiai mau mengajarkan mengaji asal anaknya yang bernama Kartawijaya diterima di kadaleman. Kartawijaya kemudian diangkat menjadi mentri di Panjunan.
Bupati di Panjunan digantikan oleh Raden Semangun, putra Singalodra. Banyak terjadi perampokan sehingga rakyat banyak merasa tidak tenteram. Para perampok itu berkumpul di Bantarjati dan berasal dari Biyawak Jatitujuh, Kulinyar, dan Pasiripis. Jumlahnya sekitar 700 orang, dipimpin oleh Bagus Kandar, Bagus Rangin, Surapersanda, Bagus Leja, dan Bagus Seling. Mereka bersiap menyerang Darmayu. Lalu dilakukan penyerangan. Prajurit Darmayu terkejut karena ada perampok perempuan, yaitu Ciliwidara. Ciliwidara bisa melayang di angkasa sehingga tidak bisa dikalahkan. Saat itu prajurit Darmayu dipimpin oleh Kartawijaya. Kartawijaya melaporkan kejadian itu kepada Hastrasuta. Kartawijaya berhasil mengalahkan Ciliwidara. Ciliwidara kemudian menghilang. Lalu Kartawijaya memerintahkan agar menjaga tempat menghilangnya Ciliwidara.
9. Sinom
Hastrasuta dan Kartawijaya memperbincangkan kesaktian Ciliwidara. Pada suatu hari, ketika Wiralodra sedang berbincang dengan Hastrasuta, datang Nyi Jaya menyampaikan berita bahwa di Bantarjati sekitar seribu orang berkumpul hendak menyerang Darmayu. Karena itu pasukan dipersiapkan untuk menyerang perampok. Mereka kemudian berangkat menuju Bantarjati.
10. Pangkur
Terjadi pertempuran antara pihak Bagus Rangin dan Hastrasuta. Setelah berhasil mengalahkan para perampok sehingga banyak yang tewas, Hastrasuta meninggal oleh panah Ki Serit. Perampok menyamar sehingga berhasil mendekati dan menyerang perkemahan prajurit Darmayu. Sekitar 3000 perampok yang dipimpin Bagus Rangin kemudian menyerang Darmayu. Sepanjang perjalanan mereka merampok. Di Lohbener mereka mendapat perlawanan dari orang Cina sehingga banyak perampok yang melarikan diri. Surapersanda merayu orang Cina agar mereka dibiarkan, sehingga para perampok itu tiba di Darmayu.
Pada tahun 1808 Dalem Darmayu menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal di Betawi, isinya meminta bantuan. Dari Betawi datang pasukan yang dipimpin oleh Tuan Postur. Mereka pura-pura akan memberikan jabatan kepada para perampok. Bagus Rangin dan pasukannya mempercayainya. Pihak Belanda mengirim surat kepada Dalem Darmayu agar menangkap perampok yang saat itu sedang berada di Mayahan (Pamayahan).
11. Durma
Prajurit Darmayu datang dan mengalahkan para perampok. Mereka diikat dan disiksa. Yang berhasil ditangkap dibawa ke Betawi untuk dipenjarakan, tetapi sebagian lainnya melarikan diri.
12. Asmarandana
Bagus Rangin dan Bagus Leja bersembunyi di hutan bersama anak dan istrinya. Mereka sampai di Tegal Slawi dan membuat pesanggrahan. Bagus Rangin mengirim surat tantangan kepada Wangsakerti. Wangsakerti mengirimkan utusannya. Terjadi pertarungan antara kedua belah pihak. Pihak Bagus Rangin banyak yang tewas. Ketika pihak Wangsakerti hampir kalah datang bantuan dari Setrokusumah.
13. Durma
Terjadi pertempuran antara pasukan Bagus Rangin dangan pasukan Jaka Patuwakan, anak Wangsakerti. Bagus Rangin kalah dan melarikan diri ke Karawang, sedangkan Bagus Leja dan Bagus Kandar dikirim ke Betawi. Ketika di laut Bagus Leja dan Bagus Kandar melompat dan melarikan diri ke hutan.
14. Sinom
Para mantri yang ditugaskan mengawal tahanan menjadi kebingungan. Kartawijaya dan Raden Welang lalu hendak melapor kepada Sinuhun. Di Palimanan mereka melihat serdadu yang menjaga sumur yang ditutup rapat. Keduanya memaksa sehingga diserang serdadu tetapi tidak berhasil ditangkap. Sesampainya di Garage (Cirebon) mereka melaporkan hilangnya para tahanan. Komandan yang ada di Palimanan lalu mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Betawi.
Gubernur Jendral marah dan memerintahkan empat puluh orang serdadu untuk menyerang Cirebon. Sultan Cirebon memberikan senjata pusakanya kepada Kartawijaya dan Welang untuk menghadapi Gubernur Jendral dan pasukannya.
15. Pangkur
Kartawijaya dan Welang sudah tiba di Betawi. Keduanya dimarahi dan dicaci. Kartawijaya dan Welang dihukum dan dipasangi lima lusin meriam. Kiai Kuwu tidak tega melihatnya. Ia kemudian merasuki dan mengamuk sehingga pasukan jenderal banyak yang tewas akibat bertarung dengan teman sendiri. Raden Welang tewas ditembak menggunakan senapan yang diisi dengan peluru yang terbuat dari intan.
Keris pusaka menghilang dan Kartawijaya tewas ditembak. Mayatnya menghilang. Gubernur Jendral marah dan mengirim pasukan ke Cirebon sebanyak tiga kapal, agar Cirebon mengganti kerugian Belanda. Gubernur Jendral datang ke Mataram dan berpura-pura sedih. Sambil menangis ia menceritakan pertempuran yang merugikan pihaknya. Sultan lalu memerintahkan para tamtamanya untuk menyerang Cirebon. Cirebon diserahkan kepada Belanda.
16. Kasmaran
Gubernur Jendral dengan pasukannya kembali ke Batawi. Ia memanggil Wiralodra agar mengganti kerugian Belanda sejumlah Rp 11.030. Bupati tidak memiliki uang sebanyak itu sehingga Darmayu diserahkan kepada Belanda pada tahun 1610. Bupati meninggal dunia. Anaknya yaitu Raden Krestal (Wiralodra). Wiralodra memiliki tujuh orang anak, yaitu Radén Marngal[l]i Wirakusuma yang menjadi demang Bebersindang, Nyayu Wiradibrata, Nyayu Hempuh, Nyayu Pungsi, Nyayu Lotama, dan Hanjani.
Bupati merasa bingung karena mertuanya menjadi perampok. Ia lalu mengirim surat ke Betawi. Tidak lama datang pasukan sehingga perampok ditangkapi. Singatruna kemudian diangkat menjadi wedana Jatibarang. Ia terkenal bijaksana sehingga disegani rakyatnya. Ia memiliki lima orang putra, yaitu Patimah, Nyayu Juleka, Brataleksana, Bratasentana, dan Bratasuwita. Raden Rangga memiliki dua orang anak, yaitu Raden Mardada, Raden Wiramadengda, dan Nyi Sumbaga.
Kalektor memiliki lima orang anak, yaitu Hardiwijaya, Sudirah, dan Nyai Juminah. Sedangkan Kartawijaya hanya memiliki satu orang anak, yaitu Raden Karta Kusuma. Ratu Hatma memiliki tiga orang anak, yaitu Biska, dan Kertadiprana. Kertadiprana mempunyai anak bernama Kertahudaka, Mangundria, Muhadapan, Nyayu Jenikuwu, dan Kertahatmaja.
Versi SI 1977
Adapun ringkasan tentang Wiralodra dan peristiwa didirikannya Indramayu versi SI 1977 adalah sebagai berikut:
Wiralodra berasal dari Banyuurip, Bagelen, Jawa Tengah. Ia putra seorang tumenggung Banyuurip bernama Gagak Singalodra. Putra ketiga dari lima bersaudara, yakni Raden Wangsanegara (putra pertama), Raden Ayu Wangsayudha (putri kedua), Raden Aria Wiralodra (putra ketiga), Raden Tanujaya (putra keempat), dan Raden Tanujiwa (putra kelima). Sejak kecil Wiralodra senang ilmu kanuragan dan tirakat. Ia bercita-cita membangun sebuah negara yang kelak akan diwariskan kepada anak-cucunya. Saat remaja, ia memperoleh wangsit, yakni saat ia bertapa di perbukitan Melaya, di kaki gunung Sumbing selama tiga tahun. Wangsit itu berbunyi agar ia segera pergi ke arah matahari terbenam (barat) dan carilah lembah sungai Cimanuk. Di situlah ia diperintahkan untuk menderikan sebuah negeri.
Perjalanan mencari Cimanuk diiringi berlangsung selama tiga tahun diiringi Ki Tinggil, seorang abdi setia. Banyak rintangan ditemui. Pertama kali ia menemukan sungai, ternyata bukan Cimanuk, melainkan Citarum. Artinya, lokasi tersebut justru lebih jauh dari Cimanuk. Hal itu diberitahu oleh seorang kakek sakti bernama Ki Sidum, yang kemudian menghilang seketika. Nama lain Ki Sidum adalah Kidang Pananjung, seorang punakawan Prabu Siliwangi, yang kasihan melihat Wiralodra tersasar. Kidang Pananjung masih seperguruan dengan kakek Wiralodra, dan menganggap Wiralodra seperti cucunya sendiri. Ki Sidum pulalah yang memandu Wiralodra menemukan Cimanuk, dengan ilmu “menghilang”nya. Ketika menemukan sungai berikutnya yang disangka Cimanuk, ternyata sungai Pamanukan. Di situ ada seorang petani bernama Wira Setra, yang juga berasal dari Bagelen. Penemuan sungai yang ketiga, ternayata banyak rintangannya. Di tepinya ada ladang dengan tanaman yang subur. Seorang petani bernama Malikwarna tengah bekerja di situ. Lelaki itu dengan kasar mengusir Wiralodra, sampai akhirnya terjadi perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra. Namun kakek itu tiba-tiba menghilang. Ladang dan tanaman juga lenyap. Muncul suara tanpa rupa yang menyebutkan, Malikwarna itu tiada lain adalah Ki Sidum. Disebutkan pula, sungai itu adalah Cipunagara. Wiralodra diperintahkan agar terus ke timur. Jika menjumpai kijang bermata berlian, ikuti. Jika lenyap, itulah daerah sungai Cimanuk.
Tak mudah mencapai Cimanuk. Wiralodra diserang harimau, sehingga terjadilah perkelahian. Dengan senjata cakra, Wiralodra menang, namun harimau itu kemudian lenyap seketika. Begitu pula ketika diserang ular besar. Rintangan itu juga datang dari seorang perempuan cantik yang ingin dinikahi Wiralodra. Namanya Dewi Larawana. Wiralodra menolak, sehingga terjadilah perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra. Lagi-lagi lenyap seketika, karena Larawana itu siluman. Seketika Wiralodra melihat kijang bermata berlian. Cimanuk pun diketemukan, yang kemudian dibangun menjadi negeri makmur. Banyak orang dari daerah lain berdatangan, yang kemudian menjadi penduduk daerah tersebut. Ketika Wiralodra ”pulang kampung” ke Bagelen, datanglah seorang perempuan bernama Nyi Endang Dharma Ayu yang disertai dua pembantunya, Tana dan Tani. Perempuan cantik, sopan, dan sakti itu pandai bercocok tanam, dan juga mengajarkan ilmu kanuragan. Konon sampai terdengar ke Palembang, yang mendorong seorang laki-laki bernama Pangeran Guru alias Arya Damar dan 24 murid-muriddnya datang ke Cimanuk untuk menantang Endang Dharma. Perkelahian keduanya tak terelakkan. Endang Darma di pihak yang menang.
Peristiwa itu dilaporkan Ki Tinggil kepada Wiralodra. Endang Dharma dianggap salah karena berbuat onar. Perkelahian antara Wiralodra dan Endang Dharma tak terelakkan, padahal keduanya menyimpan api asmara. Pada bagaian ini, penulis menafsirkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu nama Dharma Ayu diabadikan sebagai nama daerah. Kemugkinan kedua, karena merasa kalah kemudian Endang Dharma menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan minta namanya diabadikan sebagai nama pedukuhan itu, yakni Dharma Ayu. Penyebutan Dharma Ayu lama-lama menjadi Darmayu, Dermayu, dan oleh orang Belanda disebut in-Dermayu, kemudian menjadi Indramayu.
Versi DPDAN 2003
Buku Dwi Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (Sutadji, 2003) yang juga bersumber pada lontar yang sama menceritakan keterlibatan Indramayu sebagai bagian dari Demak agak lengkap. Ringkasannya sebagai berikut:
Aria Wiralodra atau Aria Indrawijaya putra Singalodra adalah mata-mata Kerajaan Islam Demak yang mendapat tugas kusus dari Raden Patah untuk menguasai pelabuhan Cimanuk, termasuk Galuh Kaler Nagari. Tujuannya membangun dermaga untuk keperluan logistik Angkatan Laut Demak bila saat ekspansi ke Pajajaran tiba. Perjalanan penuh rintangan ke Cimanuk. Wiralodra ikut berjasa membantu kemenangan Kesultanan Cirebon berperang melawan Galuh. Ia juga pada akhirnya diangkat sebagai Adipati Praja Cimanuk tahun 1510 oleh raja Galuh, Prabu Cakraningrat. Saat Endang Dharma menjadi pendatang ke pedukuan Cimanuk, Wiralodra sedang ke Bagelen membantu Demak memadamkan pemberontakan daerah-daerah yang masih taat pada Majapahit, yaitu Banyubiru, Pamigit, Karangjati, Banyuurip, dan Karanganyar. Pemberontakan itu bisa dipadamkan.
Beberapa perbedaan
Kisah dalam naskah BD 1900, buku SI 1977, dan buku DPDAN 2003 tidak jauh berbeda dengan kisah babad di atas. Hanya ada beberapa perbedaan, seperti menyangkut nama, peristiwa, maupun urutan saudara, yakni sebagai berikut:
1. Pada naskah BD 1900 disebutkan Wiralodra mendapat petunjuk membuka hutan Cimanuk untuk mendapatkan kemuliaan. Pada SI 1977 disebutkan, Wiralodra mendapat wangsit untuk membuka pedukuan Cimanuk menjadi sebuah negeri yang kelak akan diwariskan kepada anak-cucu. Pada DPDAN 2003 disebutkan, Aria Wiralodra adalah mata-mata Kerajaan Islam Demak yang mendapat tugas khusus dari Raden Patah untuk menguasai pelabuhan Cimanuk, termasuk Galuh Kaler Nagari. Tujuannya membangun dermaga untuk keperluan logistik Angkatan Laut Demak bila saat ekspansi ke Pajajaran tiba.
2. Pada naskah BD 1900 disebut nama Hindang Darma, tetapi pada SI 1977 dan DPDAN 2003 adalah Nyi Endang Dharma Ayu. Ada beberapa nama dengan kata dapan “Nyayu” pada BD , tetapi pada SI atau DPDAN disebut “Nyi Ayu”.
3. Pada naskah BD 1900 disebut nama Pangeran Palembang, tetapi pada SI 1977 dan DPDAN 2003 disebut Pangeran Guru dari Palembang alias Arya Damar atau Arya Dila.
4. Pada naskah BD 1900 , Hindang Dharma menghilang setelah merasa tak kuat dalam pertarungan dengan Wiralodra, kemudian minta namanya diabadikan sebagai nama daerah. Pada SI 1977 , ada dua kemungkinan. Pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu nama Dharma Ayu diabadikan sebagai nama daerah. Kedua, karena merasa kalah kemudian Endang Dharma menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan minta namanya diabadikan sebagai nama pedukuhan itu, yakni Dharma Ayu. Penyebutan Dharma Ayu lama-lama menjadi Darmayu, Dermayu, dan oleh orang Belanda disebut in-Dermayu, kemudian menjadi Indramayu. Pada bagian analisis dan kesimpulan disebutkan, Wiralodra menikah dengan Endang Dharma (hlm. 93) di Pegaden disaksikan Wira Setra. Pada DPDAN 2003 disebutkan Endang Dharma dan Wiralodra menikah di Pegaden secara raasia, agar tak diketahui publik karena keduanya mempunyai misi rahasia. Wiralodra ditugaskan oleh Demak secara rahasia untuk menguasai dermaga Cimanuk dalam rangka penyerangan ke Pajajaran, sedangkan Endang Dharma sebagai mata-mata Cirebon untuk membantu menyerang Rajagaluh.
5. Pada naskah BD 1900 disebut nama Patih Kuningan atau Arya Kumuning, pada SI 1977 dan DPDAN 2003 adalah Arya Kamuning.
6. Pada naskah BD 1900 hanya disebutkan nama daerah berasal dari nama Hindang Darma dan tidak secara tegas kapan peresmian nama daerah tersebut. Pada SI 1977 disebutkan setelah bentrok dengan Arya Kamuning, Wiralodra berpikir untuk segera meresmikan pedukuhan itu pada tanggal 7 Oktober 1527 menjadi sebuah negeri (hlm. 82-86). Pada DPDAN 2003 disebutkan tahun 1510 (1432 Saka) Wiralodra dinobatkan sebagai adipati di pedukuhan Cimanuk dengan gelar Indrawijaya, yang dilantik Prabu Cakraningrat dari Keadipatian Galuh Nagari. Tahun 1522 Wiralodra yang tengah berada di Bagelen, dilapori Ki Tinggil tentang peristiwa Endang Darma dan Pangeran Guru. Tahun 1525 Wiralodra menikah dengan Endang Darma di Pegaden disaksikan Wira Setro, kerabat Wiralodra. Setelah pernikahan itu, nama pedukuhan Cimanuk diganti menjadi Darma Ayu Nagari, yang hingga sekarang menjadi Indramayu.
7. Pada naskah BD 1900, Patih Kuningan Dipasarah akhirnya mengabdi kepada Wiralodra. Pada SI 1977 dan DPDAN 2003 , Dipasara membantu atasannya, Arya Kamuning dalam perkelahian dengan pihak Wiralodra di sekitar Kali Kamal, yang kemudian mengalami kekalahan sehingga harus lari ke Cirebon.
8. Pada naskah BD 1900, adik-adik Wiralodra tidak sampai tewas ketika bertarung melawan Hindang Darma. Hal yang sama juga pada SI 1977 dan DPDAN 2003.
9. Pada naskah BD 1900, buronan dari Jepara bernama Watuhaji ke Indramayu, lalu bertempur melawan pihak Wiralodra, tetapi dapat dikalahkan. Watuhaji dibiarkan menjadi perampok di pegunungan. Pada DPDAN 2003, disebutkan kedatangan musuh yang dipimpin Tumenggung Jayakarta bernama Pangeran Nitinagara, yang didampingi penasehatnya bernama Wadu Aji. Musuh itu dapat dikalahkan, bahkan harta mereka menjadi harta pampasan perang milik Wiralodra.
10. Pada naskah BD 1900, anak Wiralodra berjumlah empat orang, yaitu Sutamerta, Wirapati, Nyayu Inten, dan Drayantaka. Wirapati kemudian menggantikan ayahnya dengan gelar Wiralodra II. Ia memiliki 13 anak dari dua istri. Pada SI 1977dan DPDAN 2003, hal tersebut tak sampai dibahas.
11. Pada naskah BD 1900, Wirapati dimintai bantuan Dalem Sumedang untuk membantu mengalahkan musuh Sumedang, yakni Dalem Ciamis. Ciamis dapat dikalahkan. Sumedang bersatu dengan Indramayu, hingga wilayahnya sampai ke pesisir Kandanghaur. Pada SI 1977 dan DPDAN 2003, hal tersebut tak sampai dibahas.
12. Pada zaman Indramayu dipimpin R. Semangun, terjadi pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin dari sekitar Jatitujuh. Ada di antaranya Ciliwidara, seorang perempuan pemberontak. Tahun 1808 Dalem Dermayu menyurati Gubernur Jenderal Belanda tentang terjadinya peristiwa itu. Pada SI 1977 juga mengungkap hal yang tak jauh berbeda. Bahkan disebutkan tahun 1813 Bagus Rangin ditangkap dan dihukum mati pemerintah Inggris di Betawi. Pada DPDAN 2003, hal tersebut tak sampai dibahas.
Tidak Ada ”Pembersihan”
Naskah babad Dermayu yang berupa wawacan atau tembang macapat/pupuh menjadi sumber utama dari penulisan SI 1977 maupun DPDAN 2003, meskipun mungkin saja bukan BD 1900, sebab BD bukan satu-satunya babad yang ditulis mengenai Indramayu. Babad semacam itu penulisannya berdasarkan sumber lisan, cerita dari mulut ke mulut yang menceritakan kejadian lampau (300 – 500 tahun lampau) yang menjadi ingatan kolektif masyarakat. Pada SI 1977 memang disertai pula referensi lain, akan tetapi tak lebih dari pelengkap semata.
Buku DPDAN 2003 malah menyebut lontar Babad Dermayu abad ke-15 dan serat Babad Dermayu abad ke-18. Meskipun demikian, penulisnya mengaku hanya sebagai perkiraan semata dan belum pernah diteliti oleh filolog ataupun arkeolog. Adanya hal semacam ini menyiratkan beberapa hal, antara lain:
Pertama, naskah ataupun buku yang memuat lengkap tentang sejarah Indramayu adalah berasal dari sumber tradisional berupa wawacan atau macapat/pupuh yang berasal dari ingatan kolektif masyarakat, yang ditulis orang pada kurun waktu yang tidak sezaman dengan peristiwa yang terjadi. BD 1900 menceritakan peristiwa pada tahun 1500-an, tetapi ditulis pada tahun 1900. SI 1977 dan DPDAN 2003 bersumber pada babad Dermayu, yang juga ditulis bukan pada peristiwa sezaman.
Kedua, adanya tahun-tahun peristiwa pada SI 1977 dan DPDAN 2003 merupakan interpretasi penulisnya tanpa disertai bukti historis, misalnya berupa prasasti.
Ketiga, sumber data yang hanya bersandar pada babad kemudian disajikan secara ”menta-mentah” seperti itu menimbulkan pertanyaan besar, apakah layak disebut sebagai sejarah? Tanpa melakukan proses heuristik (mengumpulkan data berupa dokumen, mengunjungi situs sejarah, museum, wawancara saksi lisan), kritik (uji dan cek apakah prasasti, dokumen itu asli atau palsu dan valid atau tidak), interpretasi (fakta yang ada dirangkai menjadi bentuk dan struktur logis, kemudian merekonstruksinya), tetapi justru langsung melakukan historiografi berdasarkan fakta mentah yang ditafsirkan.
Historiografi semacam itu yang bersumber pada tradisi lisan, sesungguhnya tetap dapat digunakan sebagai sumber sejarah untuk tujuan dan kepentingan tertentu serta setelah melalui proses kritik yang sangat ketat. Legenda sebagai salah satu bentuk tradisi lisan jika hendak digunakan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk maka mau tidak mau harus membersihkan dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor (Reiza Dienaputra, 2006:16). Buku SI 1977 maupun DPDAN 2003 tidak melakukan upaya-upaya ”pembersihan” tersebut.
Jika melihat karakter dan proses penulisan demikian, babad seperti itu cenderung berawal sebagai sumber lisan. Antara tradisi lisan dan sejarah lisan yang berkembang di masyarakat tradisional Indramayu dan sekitarnya, timbul keinginan kuat untuk menuliskannya. Sebagai sebuah bentuk dokumentasi keluarga atau warisan kepada anak-cucu, sejarah lisan berupaya menaikkan derajatnya menjadi bentuk tertulis. Sumber lisan akan bernilai, manakala sumber tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk lain (rekaman suara atau tulisan). Dari sudut sejarah, sumber lisan (terutama sejarah lisan) baru dilirik oleh rekonstruktor sejarah manakala sumber tertulis dianggap kurang memadai atau tidak ada sama sekali. Rekonstruksi sejarah sekan-akan selalu memerlukan bukti yang dapat dilihat dan diraba (Reiza Dienaputra, 2006:5).
Tentu saja, hal seperti itu bukan hanya terjadi dalam babad Dermayu. Dalam khazanah historiografi tradisional lainnya, penulis adalah orang yang menuliskan suatu kisah atau cerita yang memang sudah ada sebelumnya. Kisah atau cerita yang sudah ada itu berasal dari sumber lisan.
Di Nusantara, para penulis hikayat juga menggunakan metode lisan untuk memperoleh data. Ungkapan “kata sahibul hikayat” atau “menurut yang empunya cerita”, di dalam sejarah tradisional memberi petunjuk bahwa bahan yang dikisahkan itu tidak berasal dari penulis sendiri, melainkan dari orang lain dan dalam banyak hal diperoleh secara lisan (Asvi Warman Adam, 2000: xii-xiii).
Pengangkatan babad menjadi satu-satunya sumber sejarah, tanpa melalui kritik yang ketat, memang terjadi pada Sejarah Indramayu. Padahal, menjadikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang berbentuk lisan (apalagi yang tertulis) bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan adanya kecermatan dan kecerdasan pada sang penggali sejarah lisan untuk bisa benar-benar menjadikan sejarah lisan sebagai sumber lisan. Keberadaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara lebih kritis.
Sejarah lisan Indramayu yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Indramayu, bisa jadi merupakan sumber primer jika memenuhi syarat. Mengacu pada pendapat Reiza Dienaputra (2006:......), sumber lisan bisa menjadi sumber primer manakala secara substansial peristiwa yang terkandung dalam sejarah lisan merupakan peristiwa yang dialami, dilihat, dirasakan, atau dipikirkan secara langsung oleh si pemilik sejarah lisan (pengisah). Akan tetapi melihat hasil tulisan yang ada pada Babad Dermayu, sumber lisan tersebut lebih cenderung tergolong sebagai sumber sekunder. Hal itu karena keterangan yang disampaikan pengisah bukan merupakan peristiwa yang dialami atau disaksikannya secara lngsung. Ia memperoleh informasi tentang peristiwa tersebut dari tangan orang ketiga. Dengan demikian kisah yang disampaikannya lebih merupakan perpanjangan lidah dari kisah yang dimiliki orang lain atau pihak lain.
Sejumlah Pertanyaan
Rekonstruksi sejarah yang tidak kritis menjadikan hasil historiografi banyak menimbulkan sisa-sisa pertanyaan yang tidak terjawab. Pertanyaan-pertanyaan memiliki argumentasi dengan latar belakang adanya sumber referensi. Membaca kembali buku Sejarah Indramayu (1977) dan Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (2003) dan referensi lain yang berhubungan dengan Indramayu, menyisakan banyak pertanyaan, antara lain:
1. Mana yang lebih valid? Wiralodra mencari sungai Cimanuk berdasarkan wangsit semata? Wiralodra utusan Demak (Raden Patah) pada abad ke-16 untuk misi mengamankan dermaga pelabuhan Cimanuk dalam rangka penyerbuan Demak ke Pajajaran? Wiralodra adalah laskar Mataram (Sultan Agung) abad ke-17 yang tidak kembali ke Bagelen setelah kalah menyerbu Batavia, dan ditugaskan Sultan Agung menetap di Indramayu, yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Indramayu dan ia menjadi Adipati Indramayu?
Lontar Babad Dermayu mengidentifikasikan Wiralodra memiliki keterkaitan dengan Demak, seperti pupuh sebagai berikut:
Kamatyan Wiralodra
Angunggang Rama buneki
Ing bagelen kang nagara
Sadaya katur pawarti
Duku ing Cimanuk kali
Bu-rama samya ngungun
Wicaksana Wiralodra
Amangun nagara neki
Saksana kawedar pangadikane rama
Katambetan Wiralodra
Sakawane Putra mami
Saiki pan kaki sira
Mengkuha Bagelen nagri
Ana prang ing jurit
Supaya dadi kaweruh
Banyubiru lawan demak
Paregreg ing Pamigit
Karangjati Banyuurip lan Karanganyar
Naskah Wangsakerta justru berkaitan dengan Sultan Agung (Mataram), seperti pada pupuh, yang penulisannya sudah dibuat paragraf:
hana pwa wadyabala mataram sakéng baglén ninaya dénira sénapati wiralodra tan wangsul māpan sira katuduh sultan mataram rumakça wates kulwan mandala ring rājya carbon māpan paryanta mandalānung kalindih déning walandi / mwang ing kulwanya akwéh wwang banten lawan wadyabalanya / ikang nyatrwani mataram mwang carbon / nika bhédāsangké rumakça cimanuk hanéng dermayu / māpan wadyabala walandi mwang banten yang angdoni mataram sakéng kulwan lawan mahawan prahwa mandegnya nikang lwah / juga angānjali sakwéh nira ajnaning pangéran panembah[h]an ratu carbon tasmāt akwéh pantaran wadyabala mataram ikang tamolah rikung déça / i sedeng sénapati wiralodra tumuluy dumadi adipati dermayu (Pustaka Nagarakrtabumi, parwa 1 sargah 4)
(ada pula balatentara Mataram dari Bagelen (yang) dipimpin oleh Senapati Wiralodra tidak kembali sebab mereka oleh Sultan Mataram diperintah menjaga batas sebelah barat wilayah Kerajaan Carbon, sebab berbatasan dengan wilayah yang dikalahkan oleh Belanda, serta anakbuahnya banyak orang Banten dengan balatentaranya yang memusuhi Mataram dan Cirebon. Ini berbeda karena menjaga Cimanuk yang ada di Dermayu, sebab balatentara Belanda dan Banten jika menyerang Mataram dari (sebelah) barat dengan memakai perahu berhentinya di (tepi) sungai, juga menghormati semua perintah Pangeran Panembahan Ratu Carbon. Oleh karena itu banyak di antara balatentara Mataram yang tinggal di desa itu, sedangkan Senapati Wiralodra selanjutnya menjadi Adipati Dermayu).
2. Menurut Babad Dermayu, Wiralodra adalah putra Adipati Bagelen. Mengapa ihwal seperti itu tidak pernah disebut-sebut dalam sejarah Bagelen maupun latar sejarah Kabupaten Purworejo?
3. Mengapa keberadaan Endang Dharma Ayu hanya disebut dalam Babad Dermayu dengan keidentikan pada nama-nama lain, seperti Gandasari, Siti Maemunah, Ratna Gumilang, Ratu Saketi, Nyai Panguragan? Mengapa dalam naskah tradisional Cirebon tak ada keidentikan itu? Sumber Babad Dermayu menyebutkan Endang Dharma adalah adik Fatahillah, anak Maulana Makhdar Ibrahim, cucu Maulana Malik Ibrahim, mengapa tak ada sumber-sumber lain yang meneguhkan pendapat itu?
4. Pangeran Guru identik dengan Arya Damar atau Arya Dillah (bupati Palembang asal Majapahit), menurut sumber Babad Dermayu. Mengapa sumber-sumber lain tentang Arya Damar atau Arya Dilla tak pernah menyebut identik dengan Pangeran Guru ataupun ke wilayah Cimanuk dan bertempur dengan Endang Dharma?
5. Menurut Babad Dermayu, Ki Sidum identik dengan Purwakali atau Kidang Pananjung, pengasuh Prabu Siliwangi. Mengapa sumber-sumber lain tidak pernah menyebut keidentikan itu ataupun tentang pertemuan dengan Wiralodra yang tengah mencari sungai Cimanuk?
6. Berdasarkan penafsiran H.A. Dasuki, tahun 1527 menjadi tahun kelahiran Indramayu, yakni setelah Wiralodra pulang dari Pegaden dan setelah ia mengalahkan Arya Kamuning yang menuduhnya lancang membuka pedukuan Cimanuk tanpa seijin Sunan Gunungjati. Arya Kamuning saat itu baru pulang dari medan perang setelah membantu Gunungjati mengalahkan Rajagaluh. Berdasarkan babad pula, peristiwa Cirebon mengalahkan Rajagaluh terjadi pada tahun 1528. Jika pun babad tersebut menjadi acuan, bagaimana mungkin putaran waktu berjalan mundur?
7. Dalam Naskah Wangsakerta tentang pengaruh aliran dalam Islam pada abad ke-16, disebutkan adanya Ki Gede Dermayu. Siapakah Ki Gedeng Dermayu? Apakah Ki Gedeng Dermayu identik dengan Wiralodra? Mengapa penyebutan itu sejajar (tidak ada hirarki) dengan ki gedeng lainnya, seperti Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Srengseng, Ki Gedeng Karangampel, Ki Gedeng Junti, Ki Gedeng Pekandangan, dan Pangeran Losarang?
8. Wiralodra merupakan tokoh sentral berdirinya Indramayu, tetapi mengapa pengaruh itu tidak menyentuh hingga kepada para Ki Gedeng di desa-desa? Mengapa sekitar 70 ki gedeng dari desa-desa kuna yang ada di Kabupaten Indramayu, makamnya berada di Astana Gunungjati Cirebon dalam area makam Sunan Gunungjati? Mengapa bukan dalam area makam Wiralodra di Indramayu?
Selama ini, penetapan kronologis Sejarah Indramayu bersumber pada Babad Dermayu, tanpa melalui kajian heuristik, kritik, dan interpretasi secara ketat. Penetapan hari jadi Indramayu, juga dilakukan berdasarkan penafsiran yang kurang argumentatif kemudian diputuskan melalui kebijakan pemerintah agar segera memiliki hari jadi.
Berbicara sejarah, berbicara eksistensi manusia di atas panggung kehidupan. Kesadaran tentang perjalanan hidup di kelampauan itulah yang pada akhirnya akan mampu memetakan identitas atau jatidiri manusia secara individual maupun manusia sebagai anggota suatu komunitas. Sejarah Indramayu sebagai perjalanan dan eksistensi manusia di atas panggung kehidupan di kelampauan itu, meskipun tak berimbas secara langsung, cenderung memetakan identitas dan jatidiri manusia Indramayu.
Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (2005:20) mengatakan, orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyatannya bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Sejarah dapat menjadi manajemen perkembangan. Sejarah mamaksa orang memperhitungkan waktu. Berpikir secara sejarah berarti berpikir berdasarkan perkembangan. Orang harus memperhitungkan masa lalu untuk dapat membicarakan masa kini, dan masa kini untuk masa depan.***
kebenarana sejarah yang seperti apa, yang bisa dijadikan cermin masa depan? bagaimana kebenaran sejarah yang berangkat dari karya sastra seperti babad?
BalasHapusTuhan bri titik trang agar jadi benderang, dulu skarang dan nanti. (fitho)
BalasHapusmetodologi sejarah perlu diterapkan dalam penyusunan sejarah lokal
BalasHapusper missi pak ... apa ada sejarah babad dermayu yg diterjemahkan dalam bhs inggriss ???
BalasHapusmasukan sejarah bukan untuk di permainkan dan kepentingan pihak" lain sejarah untuk pedoman masa sekarang dan masa yg akan datang
BalasHapusberofo ulik terus sejarah dermayu dengan cermat wasalam
Jeste li na crnoj listi? Boreci se za osobni zajam? Je li vaša prijava bila odbijena zbog niske ocjene kredita? Preuzeo? Dostupnost? Ali znaš da si možeš priuštiti ovaj zajam. Zajmovi odobreni u 12hours, možete nas poslati e-poštom na collinsguzmanfundings@gmail.com
BalasHapus