Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Minggu, 10 Juli 2011

Karya Sastra ’Cerbon-Dermayon’ dan Perkembangannya Oleh SUPALI KASIM



Tanggal 21 Pebruari ditetapkan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional oleh UNESCO (Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang membidangi Pendidikan, Sosial, dan Kebudayaan). Penetapan tersebut setidaknya memiliki tiga pengertian. Pertama, UNESCO prihatin dengan kepunahan bahasa-bahasa ibu atau bahasa-bahasa daerah di muka bumi ini. Sekitar 3.000 bahasa ibu telah mengalami kepunahan, sisanya masih sekitar 3.000 lagi. Kedua, UNESCO memberi peringatan kepada pemerintah, aktivis bahasa daerah, dan lembaga-lembaga pendidikan akan adanya kepunahan kekayaan budaya bangsa tersebut. Ketiga, UNESCO mengajak melakukan upaya-upaya pelestarian dan pengembangannya.
Di Indonesia, beberapa bahasa ibu sudah mengalami kepunahan, seperti bahasa. Jika sebelumnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengesampingkan adanya bahasa daerah lain selain bahasa Sunda, sejak tahun 2003 telah terbit Perda No. 5 tentang pemeliharaan bahasa dan aksara daerah di Jawa Barat. Dalam Perda tersebut diakui adanya bahasa Sunda, bahasa Cirebon, dan bahasa Melayu-Betawi.

Faktor Sejarah
Terbentuk dan berkembangnya bahasa Indramayu selain dipengaruhi oleh perkembangan bahasa itu sendiri, juga adanya faktor sejarah adanya daerah-daerah di Indramayu. Secara historis, sejak pertengahan abad ke-15 beberapa kerajaan/kesultanan besar ikut memberi pengaruh adanya Indramayu, antara lain:
1.   Pengaruh Kerajaan Majapahit, diperkirakan abad ke-15 (adanya arsitektur rumah dan makam model Majapahit)
2.   Pengaruh Kerajaan Sunda/Pajajaran, diperkirakan abad ke-15 (tahun 1512 pengelana Portugis, Tome Pires, mencatat Kepala Pelabuhan Cimanuk adalah orang Pajajaran)
3.   Pengaruh Kesultanan Demak pada abad ke-16 (menyebarnya Islam melalui Walisanga dan Demak adalah pusatnya, motif batik Paoman identik dengan batik Lasem)
4.   Pengaruh Kesultanan Mataram (manuskrip Wangsakerta menyebutkan Wiralodra adalah laskar Mataram yang ikut menyerbu Batavia tahun 1628 dan 1629, kemudian diperintahkan Sultan Agung untuk menetap di daerah yang sekarang disebut Indramayu).
Perkembangan bahasa tidak lepas dari unsur-unsur tata bahasa dan kesusastraan. Demikian pula pada bahasa daerah, termasuk bahasa Cirebon yang hidup dan berkembang di wilayah Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya. Perkembangan karya sastra Cerbon-Dermayon sudah diketahui sejak zaman Hindu, Islam, hingga  perkembangan sekarang atau dalam Masa Cirebon-Indramayu Kuna, Masa Cirebon-Indramayu Tengahan, hingga Masa Cirebon-Indramayu Modern (Untung Raharjo, 2006).
Masa Cirebon-Indramayu Kuna diperkirakan sejak zaman Hindu hingga akhir abad ke-16. Karya sastra yang berkembang, antara lain berupa kakawen, kidung, gugon tuwon, dan jawokan.  Kosakata yang diambil berasal dari bahasa Sansekerta. Masa Cirebon-Indramayu Tengahan mulai awal abad ke-17 sampai akhir tahun 1800-an. Mulai banyak pengaruh  lingkungan sekitar, baik dalam kosakata maupun dialek. Karya sastra yang muncul berupa macapat,  perlambang / pralampita,  sandisastra, sasmita, dan panyandra. Masa Cirebon-Indramayu Baru sejak tahun 1800-an sampai pertengahan 1900. Bahasa Sansekerta dan Kawi sejak menyatu dengan bahasa setempat (Jawa), karena pengaruh pendidikan formal melalui guru-guru yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karya sastra yang berkembang antara lain wangsalan, parikan, paribasa / pribasa, sanepa, ukara sesumbar, basa prenesan, dan basa rinengga / rineka. Masa Cirebon-Indramayu Modern diperkirakan sejak tahun 1950 sampe sekarang. Di masa tersebut ada beberapa kosakata baru yang berasal dari bahasa gaul. Karya sastra yang ada antara lain geguritan. Ada geguritan yang memiliki patokan (seperti macapat), ada juga yang tidak memiliki patokan (puisi bebas).

Fase Perkembangan
”Masa Cirebon-Indramayu Kuna” diperkirakan saat perubahan dari surutnya Hindu di Jawa barat hingga menyebarnya Islam (abad ke-15 hingga ke-17). Kosakata yang berkembang diambil dari bahasa Sansekerta. Karya sastra yang berkembang adalah:

1. Kakawen
Bahasa Sansekerta yang berbaur dengan bahasa pribumi kemudian disebut bahasa Kawi. Prosa lirik yang menggunakan bahasa Kawi sebagai penuturnya disebut kakawen. Contohnya:
Awignam astu/
swasti
telas sinusun mawang sinerat sayampratar tan enti/
dening pirang sang manurat sinerat ri Sakakala/
Nawa gapura marga raja/
Eka suklapaksa/ srewana masa//
Nihan ta/ mangdadiyakna dirga yusawastisanira sang
Manurat sang amaca/
Sang anggogoh mwang sang angupakareka pustaka/
Sang tasmat yadiyan ana kaluputan athawa kasasar
Ing serat sastreki/waraksamakna ta//

(Mudah-mudahan tiada aral melintang.
Semoga selamat.
Telah disusun dan ditulis siang-malam, tiada henti-entinya
oleh sejumlah penulis.
Ditulis pada tahun Saka:
Nawa gapura masrga raja (1599 S/1677 M)
tanggal 1 paro peteng
bulan Srawana (2 Juli).
Demikianlah semoga panjang-panjang usianya, bagi
yang menulis, yang membaca,
yang menyimpan, dan yang memelihara naskah ini.
Maka apabila ada kesalahan atau kekeliruan tulisan
sastra ini,
maafkanlah)

2. Kidung  
Doa yang dituangkan ke dalam sastra, baik puisi atau macapat. Tidak selamanya kidung ditembangkan, ada kalanya dibaca. Contohnya:
            Rajah Kala Cakra
            Yamaraja – jaramaya
            Yamarani – niramaya
            Yasilapa – palasiya
            Yamidosa – sadomiya
            Yadayuda – dayudaya
            Yasiyaca – cayasiya
            Yasihama – mahsiya
            Yamidora – radomiya

            (Hai Maharaja Jaramaya (Bhatara Kala)
            Yang berniat jahat ilang kejayaannya
            Yang berlebih berikanlah kepada yang membutuhkan
            Yang berbuat celaka jangan kepada manusia
            Yang berbuat jahat hilang kekuatannya
            Yang membikin fitnah berbalik kasihan
            Yang membuat kerusakan jadilah asih
            Yang dibuat melarat jadilah kaya)

3. Gugon Tuwon
    Berasal dari kata gugu (ditaati, diikuti) dan tuwa (orangtua). Gugon tuwon, sebuah kalimat yang mengandung nasehat, mengajarkan tentang idup dan perilaku yang semestinya dijalani manusia. Contoh gugon tuwon dari Sunan Gunungjati:
-          Yen sembahyang kungsiya pucuke panah
Arti kiasan : Jika sembahyang seperti ujung panah
Arti sebenarnya     : Jika sholat haruslah khusyu dan tuma’nina
-          Aja ngagungaken ing salira
Arti kiasan : Jangan pernah membanggakan diri
Arti sebenarnya     : Tidak boleh sombong

4. Jawokan
Susunan kata-kata dalam suatu kalimat, terdiri-dari satu kalimat atau lebih yang berfungsi sebagai mantra atau doa. Contohnya:
            Pitik tukung
            Ngendhoga ning sore lumbung
            Teka wurung teka wurung teka wurung
            Slaman slumun slamet
            Slata slutu watu
            Setan ora doyan
Demit ora ndulit
Ilu-ilu ora kolu
           
Contoh jawokan yang diciptakan seniman tarling H. Abdul Adjib, yaitu Kemat Jaran Guyang dalam drama-tarling:
            Niat isun arep maca kemat jaran guyang
Dudu ngemat-ngemat tangga
Dudu ngemat wong liwat ning dalan
Sing tek kemat Nok Suratminah prawan ayu
Anake Bapa Dam kang dunyane lelantakan
Yen lagi turu gage nglilira
Yen wis nglilir gage njagonga
Yen wis njagong gage ngadega
Mlayua mbrengengea kaya jaran sedalan-dalan
Teka welas teka asih
Suratmiah welas asih ning badan isun
”Masa Cirebon-Indramayu Tengahan” (1700-an sampai akhir 1800-an), gejalanya ada pengurangan bahasa Sansekerta maupun Kawi. Banyak pengaruh dari lingkungan sekitar, termasuk dialek. Karya sastra yang muncul adalah:

1. Macapat
            Ada yang mengartikan macapat berasal dati kata ”maca papat-papat” (membaca empat demi empat suku kata). Ada pula yang mengartikan berasal dari ”sedulur papat kalima pancer” (getih, awah, pancer/badan, ari-ari, lan bungkuse). Ada juga yang memahami sebagai ”maca wong papat”. Diperkiraan macapat sudah ada sejak pertengahan abad ke-15 yang dibuat para Wali, saat akhir kejayaan Majapahit dan Pajajaran.
Berbagai jenis tembang macapat, seperti Dandanggula, Kasmaran, Mijil, Durma, Pangkur, Sinom, Menggalang, Pucung, Kinanti, Perlambang/Maskumambang, Dhundhukwuluh/Megatruh, Gambuh, Ladrang, Madengda, Lambang, Sumekar, Balakbak, Tuhrare, Toyamas.

2.  Perlambang/Pralampita
Biasa disebut pralampita, yakni pemakian simbol-simbol dalam menyampaikan atau mengemukakan sesuatu dalam bentuk karya sastra. Contohnya;
            Anderpati kalawisesa
            Ander = duduk berjejer (antri)
            Pati = mati
            Anderpati = ora wedhi mati (tidak takut mati)
            Kalawisesa = Batara Guru, Manikmaya, Girinata, Jagatnata, Kalawisaya
         Dalam zaman Pajajaran orang-orang mememluk agama Syiwa. Mereka berhasil membunuh hawa nafsu, mereka bertapa memusatkan daya cipta hanya kepada Hyang Syiwa.

3. Sandi Sastra
Pitutur yang bersifat rahasia.
            Kodhok ngemuli elenge
            Kodok diibaratkan jiwa, sukma, rohani, nyawa.
            Leng diibaratkan raga, badan, jasmani.
            Ngemuli bermakna menjaga, menguasai
      Makna       : manusia itu jiawanya harus dapat menjaga atau mendelakikan badannya, jangan sampai jiwa dikalakan nafsu jasmani.

4. Sasmita
Isyarat yang diungkapkan menggunakan kata-kata dalam kalimat. Pada umumnya ada dalam pedalangan, penyampaian ungkapan dalang kepada nayaga (sasmitaning dhalang).
   Njlegenek Sang Nata tedhak saking dampar dhenta, gawe gugup ning para biyada, piyak ngarep piyak mburi.

Karya sastra pada ”Masa Cirebon-Indramayu Baru” diperkirakan muncul sejak tahun 1800-an hingga pertengahan 1900. Hal itu karena pengaru pendidikan formal SR, SMP, SGB, SGA yang gurunya berasal dari Jawa tengah dan Timur. Karya sastranya adalah:

1. Panyandra
    Kata-kata yang menggambarkan keadaan, dengan menggunakan kata-kata ibarat.
            Mripati damar kanginan
            Untue mijil timun
            Swarae kaya mbela-mbelahi bumi

2.Wangsalan
Berasal dari kata ulang ”wangsal-wangsul”. Wangsul mengandung pengertian “Jawab, pulang”. Wangsalan adalah kalimat yang mengungkapkan maksud atau kehendak dengan menggunakan kata-kata yang mirip atau mendekati maksud tertentu.
            Janur gunung (pupus aren), makudnya kadingaren
            Balung jagal (bagal), makudnya dugal.
            Toya mijil saking langit (udan), dihubungkan menjadi edan

3. Parikan
Bentuk parikan terdiri dari sampiran (dua kalimat pertama) dan isi (dua kalimat terakhir).
            Wedang bandrek
Wedang bajigur
Demen dewek
Ngarani batur

4. Paribasa  
    Ungkapan yang menggunakan perumpamaan
            Amba segara (gelem ngampura ning segala-gala)
            Kebo nusu gudel (wong tuwa geguru ning wong nom, wong sugih/berpangkat
           jejaluk ning wong mlarat)

5. Sanepa
Perumpamaan yang tersusun dari kata yang menggambarkan watak atau keadaan dan disambung dengan kata nama.
            Alim kucing (meneng tapi ada karepe)
Pait madu (omongane ora bukti)

6. Ukara sesumbar
Kalimat yang terdiri dari kata-kata kasar yang bertujuan sebagai pembakar atau pemicu api amarah lawan bicara.
      Yen ngaku lanang, metua!
      Arep ning gena sesek, arep ning gena kang lega, tek enteni!

7. Basa prenesan
Kata atau ucapan yang mengandung makna menarik atau menawarkan sehingga menjadi tertarik
Barang iki arang didagang, yen tuku ora didol, nanging yen bocah ayu kang njaluk, senajan larang tur angel luruwe, tek paasrakenang kabeh.

8. Basa Rinengga (Rineka)
     Artinya diiasi agar lebi inda.
            Ora kena ora
            Sekedap netra, yen nginang durung abang, iduha durung asat.

Karya sastra pada ”Masa Cirebon-Indramayu Modern” (1950-sekarang) banyak dipengaruhi bahasa Jawa pesisiran Cerbon-Dermayon dan bahasa pergaulan, yakni:
1. Geguritan dalam tembang macapat
            Aran manuk (dalam dhandhanggula)
            Sami gawok ningali wanadri
            Perkutut mencrok apnge
Ana bethet lan puter
Deruk lan dara angideri
Deres alap-alapan
Aburira muluk-muluk
Engkak-engkak cingkangkak bak
Kokok beluk sinamber ine ulik-ulik
Belekok notol gagak

2. Geguritan dalam enelan
            Tir
            Jareku mampir
            Mong dalane belok
Tir
Jareku mikir
Mong bli duwe embok
Babadan kali
Kembang melati
Bobadan beli
Kula enteni

3. Puisi bebas

Penerbitan
Meski memiliki aneka jenis dan macamnya, publikasi dan dokumentasi karya sastra tersebut menjadi sesuatu yang memprihatinkan. Buku, koran, dan majalah yang menjadi media karya sastra Cerbon-Dermayu nyaris tak ada. Beberapa karya sastra yang dilahirkan sulit untuk dipublikasikan atau didokumentasikan di media massa. Jika kelahiran karya sastra itu diibaratkan lahirnya seorang bayi,  perkembangan selanjutnya bayi tersebut seperti menjadi anak liar dan anak jalanan yang tidak memiliki rumah singgah.  
Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan karya sastra Jawa maupun Sunda. Buku Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern (2001) mengungkapkan, beberapa majalah dan suratkabar berbahasa Jawa cukup banyak, seperti Mekar Sari, Jaka Lodang, Panyebar Semangat, Jaya Baya, Crita Cekak, Pustaka Roman, Kumandhang, Sekar Jagad, Gotong Royong, Cendrawasih, Ekspres, Kekasihku, Baluwerti, Dharma Kanda, Dharma Nyata, Kembang Brayan, Kunthi, Jawa Anyar, Parikesit. Penerbit buku antara lain Pustaka Jaya, Kondang, Burung Wali, Firma Nasional, Balai Pustaka. Beberapa lembaga bermunculan seperti Organisasi Pengarang Sastra jawa (1966 di Yogyakarta. Program Bahasa dan Sastra Jawa juga dibuka di perguruan tinggi, seperti di UGM Yogyakarta dan UI Jakarta.
Hal yang tak jauh berbeda juga berkembang dalam bahasa dan sastra Sunda. Mangle, Galura, Sipatahunan, Kujang, Giwangkara. Penerbit berbahasa Sunda, antara lain Geger Sunten. Perguruantinggi membuka jurusan Bahasa Sunda, yakni  di Unpad dan UPI Bandung. Ajip Rosidi memberikan penghargaan kepada karya sastra Sunda, yakni hadiah Rancage. Kini anugerah serupa juga diberikan kepada karya sastra terbaik daerah lainnya, Jawa dan Bali.
Akan halnya karya sastra Cerbon-Dermayu yang muncul lebih banyak sebagai karya sastra lisan. Baik sebagai alat pergaulan masyarakat secara tradisional maupun dalam media radio. Media cetak dan penerbitan buku nyaris tak diketemukan. Halaman bahasa Cerbon-Dermayu di media cetak sulit diketemukan. Media massa yang terbit di Cirebon dan Indramayu mengesampingkan bahasa daerah. Harian Mitra Dialog hanya menyediakan ruang Jogregan berisi anekdot atau fenomena masyarakat secara aktual, yang ditulis redakturnya. Harian Radar Cirebon hanya menuliskan bahasa daerah sekitar dua sampai kalimat pada pojoknya berupa sindiran terhadap sesuatu (terutama kebijakan pemerintah), yakni rubrik ili kitik. Tabloid milik Pemkab Indramayu yang pernah terbit, Mulih Harja juga menulis dalam bahasa setempat pada ruang Guyon Dermayon yang ditulsi redakturnya atau kiriman pembaca, berisi anekdot-anekdot masyarakat.
Untuk penerbitan buku, nasibnya tak jauh berbeda. Baru diketemukan akhir-akhir ini, itupun dengan beberapa catatan. Buku kumpulan puisi ”Susub Landep” (2008) dan ”Nguntal Negara” (2009) yang diterbitkan Yayasan Dewan Kesenian Cirebon, lebih bertujuan sebagai naskah lomba baca puisi. Buku kumpulan puisi Nurochman Sudibyo, ”Blarak Sengkle” (2008) dan ”Godong Garing Keterjang Angin” (2009) dan ”Bahtera Nuh” (2009) dicetak sangat sederhana (fotocopy) seperti untuk dokumen pribadi.
Kemunculan sastra Cerbon mutakhir ditandai beberapa hal. Pertama, menguatnya rasa primordialisme Cerbon-Dermayon yang semasa Orde Baru di wilayah Jawa Barat harus berbahasa daeraah secara tunggal (bahasa Sunda). Kedua, adanya fenomena wilayah yang bukan Jawa bukan Sunda, juga adanya Perda No. 5/2003. Adanya Kongres Bahasa Cirebon (2007) menjadi tonggak, termasuk lahir lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC), di Indramayu lahir Lembaga Basa lan sastra Dermayu (LBSD) tahun 2009. LBSD aktif mengkampanyekan lewat pelatihan guru-guru SD. Ketiga, bahasa daerah merupakan media ungkap yang lebih terasa mewakili kata-kata setempat. Ada faktor rasa yang berbeda dibandingkan bahasa nasional.

Perspektif pendidikan
          Secara historis maupun tradisi, bahasa daerah Cirebon/Indramayu sudah diajarkan di sekolah dengan berbagai variannya. Lembaga pesantren justru tampak konsisten menerapkan hal ini pada para santrinya.
Keputusan Kakanwil Depdikbud Provinsi Jawa Barat No. 849/102/Kep/A/94 menyebutkan Bahasa Indramayu diajarkan di sekolah (SD, SMP) sebagai mata pelajaran muatan lokal. Kosakata “bahasa Indramayu” tentu amat menarik untuk dicermati, karena dalam Perda Jabar yang muncul belakangan, yakni No. 5 tahun 2003, menyebutkan bahasa daerah di Jawa Barat ada tiga, yakni bahasa Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi. Tentang hal ini bahasa Indramayu digolongkan identik dengan bahasa Cirebon. Pentingnya mengajarkan bahasa daerah juga didukung rekomendasi dari Pusat Kurikulum Depdiknas tanggal 14-16 Mei 2007, yaitu “bahasa daerah yang dipakai oleh daerah sendiri atau setempat”.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) searusnya bersumber pada hakikat pelajaran bahasa dan sastra, yaitu agar siswa terampil berkomunikasi. Hakikat mengajar sastra adalah siswa diajar masalah kemanuiaan dan nilai-nilai keidupan manusia. Komunikasi diadakan dengan berbagai macam cara, seperti lisan (berbicara, membaca, menyimak) dan tulisan (menulis).
Tujuan umum pelajaran Bahasa dan Sastra Indramayu antara lain:
1.   Siswa menghargai lan merasakan bahasa Indramayu/Cirebon itu merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Jawa Barat, juga merupakan “bahasa ibu” bagi masyarakat Indramayu/Cirebon.
2.   Siswa memahami tujuan, isi, dan fungsi bahasa Indramayu/Cirebon, juga bisa menerapkan dengan benar dan baik menurut tujuan, keperluan, dan suasananya.
3.   Siswa memiliki niat dan disiplin menggunakan bahasa Indramayu/Cirebon supaya menunjang kemampuan intelektual, emosional, dan sosial.
4.   Siswa mampu menikmati adanya manfaat karya sastra untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan meggunakan bahasa daerah, terutama mengembangkan kepribadian dan meningkatkan wawasan kehidupan.
5.   Siswa menghargai dan merasa senang terhadap karya sastra daerah yang merupakan khazanah budaya dan intelektual manusia daerah.


Sumangga .....
Bagen larang tukua jinten, bilih kirang nyuwun agung pangapunten
Ulam hiu sambel tomat, thank you very much
*disampaikan pada seminar yang diadakan
mahasiswa FKIP Unwir Indramayu di Aula Unwir







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik