Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Politik, Politisi, dan Perempuan Indramayu


Oleh SUPALI KASIM

Stigma politik adalah milik kaum laki-laki, mungkin benar. Setidaknya dilihat dari segi kuantitas, kaum perempuan senantiasa berada pada prosentase yang rendah. Rentetan peristiwa politik yang ditulis dalam historiografi modern maupun tradisional, di dunia ataupun Indonesia dan daerah-daerah menempatkan laki-laki amat lekat sebagai figur sentral. Tema-tema sejarah yang berpusat pada politik mengindikasikan kecenderungan pada masalah kekuasaan dan keperkasaan, yang nota bene adalah kiprah laki-laki.
Tak banyak, memang, perempuan Indonesia yang berkesempatan ditulis sebagai tokoh sejarah yang memainkan politik, karena sejarah cenderung berpihak pada kekuasaan dan keperkasaan. Sejarah juga hanya membicarakan orang-orang besar dan kelompok penguasa. Kaum perempuan dan grassroot (wong cilik) dianggap bukanlah pemeran utama, melainkan hanya figuran dan pelengkap semata.
Ketika hasil Pemilu 2009 menempatkan sembilan perempuan berhak atas kursi DPRD Indramayu, setidaknya ada beberapa harapan untuk fenomena ini. Ke-9 perempuan itu, yakni dari Golkar: Asniah Darpadi; Anna Sophanah; Emi Jumiarsih; Anis Khoirunnisa, Cholida Dwiyantiningrum, Nurhayati; dari PDIP: Lilyana LD; dari Demokrat: Trisnoningsih, Rofiqoh. Selain itu Miryam S. Heryani dari Partai Hanura berhasil melenggang sebagai anggota DPR RI. Mampukah sepuluh perempuan politisi itu memberikan angin perubahan bagi Indramayu, khususnya citra perempuan Indramayu.
Harapan sangat wajar disematkan kepada mereka. Apalagi, di antara mereka memiliki latar belakang bukan sosok sembarangan. Anna Sophanah adalah istri bupati, Asniah Darpadi (istri camat), Nurhayati (istri Dirut PDAM), Anis Khoirunnisa (putri Pimpinan Pontren Al-Zaitun).
Masa lalu
Bercermin pada sejarah Indramayu (lebih tepatnya babad), figur perempuan ada pada diri Endang Dharma Ayu, yang namanya menjadi inspirasi nama daerah. Ketokohannya justru digambarkan penuh dengan nuansa militer, perang, dan keperkasaan. Deskripsi lainya sebagai perempuan yang cantik, sakti, pandai bertani, dan mengajarkan ilmu kanuragan. Sebuah gambaran yang menempatkan Endang Dharma sebagai sosok yang mirip Cut Nya’ Dien, pahlawan perang dari Aceh. Bukan Kartini atau Dewi Sartika, yang lekat sebagai pemikir sekaligus pejuang pendidikan.
Perempuan dan sejarah memang menjadi dua sisi mata uang yang relevan ketika kiprah tokoh perempuan dianggap luar biasa dan fenomenal pada zamannya. Dua hal itu, luar biasa dan fenomenal, bisa ditandai dengan beberapa faktor. Pertama, karena tokoh itu menduduki posisi puncak kekuasaan, meskipun kekuasaan itu diraih oleh adanya faktor dinasti atau sebab lain, seperti Ratu Sima (Kerajaan Kaling/Kalingga) pada abad ke-7, Ratu Pramodhawardhani (Dinasti Syailendra) pada abad ke-9, Ratu Tribuana Tunggadewi pada abad ke-14 dan Ratu Suhita pada abad ke-15 (Majapahit). Pada masa Islam, tercatat nama Sultan Tajul Alam Safiatun Syah (Kerajaan Aceh), yang kemudian diteruskan Sri Sultan Nurul Alam Nakiatuddin Syah (1675-1678), Putri Raja Setia atau Sultan Inayat Syah Zakiattaddin Syah (1678-1688), Putri Kamalat Syah (1688-1699). Di Banten, tercatat Ratu Syarifa Fatimah (1748). Kedua, tokoh yang memiliki darah revolusioner dengan kemiliteran ataupun pendidikan, seperti Cut Nya’ Dien, Cut Meutia, R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Christina Martha Tiahahu.
Pembagian dikotomis seperti itu juga menempatkan figur perempuan yang lain, yang tidak masuk pada keduanya, seakan-akan menjadi tokoh yang hanya berperan sebagai figuran semata. Dyah Pitaloka, misalnya, yang bersedia menjadi istri Hayam Wuruk berada dalam posisi yang lemah dan hanya objek semata. Apalagi sikap Mahapatih Gajah Mada yang menganggap diperistrinya Pitaloka oleh Hayam Wuruk direpersentasikan sebagai sikap tunduk dan kesetiaan Pajajaran terhadap Majapahit. Pitaloka hanya dianggap tidak lebih sebagai upeti. Beberapa figur perempuan lain cenderung bukan sebagai subjek, bahkan tak sedikit yang seperti digambarkan dalam pepetah Jawa, suwarga nunut neraka katut. Ke manapun suami melangkah, istri mengikuti. Sebuah gambaran perempuan yang hanya sebagai pelengkap, hiasan, dan menuruti kemana pan laki-laki melangkah, sekalipun ke “neraka”.
Peran perempuan dalam historiografi tradisional babad Dermayu juga kurang mendapat tempat yang seimbang. Silsilah Wiralodra dari pertama hingga ke-7 hanya menonjolkan sosok Wiralodra yang nota bene laki-laki dan seorang suami, tetapi sosok istri kurang diketahui jatidirinya. Yang jelas, diketahui menurunkan anak-anak dan keturunan yang meneruskan dinasti Wiralodra. Hanya pada silsilah pertama terdapat sosok Endang Dharma Ayu, yang disebut-sebut sebagai istri Wiralodra I.

Kemiskinan
Terlepas dari unsur sejarah, legenda, dan mitologi seperti itu, tampaknya keberadaan perempuan Indramayu tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-ekonomi Indramayu yang carut-marut sejak awal dekade 1930. Meski memiliki sumberdaya alam (sawah, hutan, laut) yang melimpah, Indramayu dikenal sebagai kabupaten termiskin di Jawa Barat hingga dekade 1970. Ada peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut, yakni ”ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan”.
Secara antropologis, penduduk Indramayu yang terlihat kemudian bukan hanya berasal dari Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah). Ada wilayah lain yang juga melakukan migrasi ke Indramayu sebelumnya, seperti saat kejayaan Majapahit terlihat pengaruh Majapahit pada daerah-daerah seperti Kec. Juntinyuat (sebelah timur Indramayu). Beberapa nama daerah juga menyiratkan keterpengaruhan dari Jawa Timur dan Madura, seperti Kamal, Lombang, Sampang, Tuban, dan Majakerta (Mojokerto).
Di seputar kota Indramayu hingga Sindang, selain pengaruh aristrokrat (mungkin dari Mataram), juga perkampungan Arab dan Pecinan. Sedangkan di kecamatan Lelea dan Kandanghaur, pengaruh Kerajaan Sumedang masih terasa pada kulturnya, terutama bahasa. Bahasa Sunda-Lea dan Sunda-Parean (Sunda-Lelea dan Sunda-Kandanghaur). Di perbatasan Kab. Sumedang, dan Subang (sebagian wilayah Kec. Gantar, Haurgeulis, Kroya, Terisi), penduduk menggunakan bahasa Sunda, walau jumlahnya tak banyak.
Di wilayah barat Indramayu (Kec. Gantar, Haurgeulis, Anjatan, Sukra, Patrol, Bongas) sebagian penduduk berasal dari Tegal-Brebes dan sebagian lagi berasal dari wilayah timur Indramayu dan Cirebon, yang melakukan migrasi pada tahun 1920-an melalui jalur kereta api. Hal itu dilakukan tanah dan hutan di wilayah barat masih perawan. Telah dibangun pula bendungan dan irigasi oleh Belanda.
Percampuran penduduk dari Bagelen (Demak atau Mataram), Jawa Timur, Tegal-Brebes, Pasundan, Arab, dan Cina itu menghasilkan suatu akulturasi yang kini disebut sebagai kultur Dermayu. Mereka mengaku bukan Jawa, bukan pula Sunda. Mereka menganggap wong Jawa adalah wong wetan, sedangkan urang Sunda adalah wong gunung. Satu hal yang penting dicatat, sebagian besar dari mereka adalah kalangan grass-root (wong cilik), kaum migran/transmigran, pinggiran yang terpaksa melakukan perpindahan dari wilayah asal ke Indramayu. Di antara mereka yang mampu bekerja keras, mendapatkan penghasilan, dan mengeluarkan pendapatan secara ketat (irit),  akhirnya menjadi kaya. Sebaliknya tak sedikit pula yang gagal, kemudian terkungkung dalam kemiskinan.
Pada kurun waktu tersebut terjadi kondisi yang menjurang antara majikan yang memiliki sawah hingga puluhan hektar dengan buruh tani yang makan untuk sehari saja terkadang tak ada. Begitu pula antara juragan (pemilik perahu) dengan bidak (nelayan anggota). Kehidupan ekonomi buruh sangat bergantung pada majikannya, termasuk kebaikannya dalam memperoleh kesempatan kerja. Begitu pula bidak terhadap juragan. Kemiskinan dan menjadi buruh secara turun-temurun bisa jadi menyebabkan trauma psikologis dan sosiologis.
Kaya harta pada majikan dan juragan, ternyata menghasilkan sikap miskin pandangan. Apalagi yang miskin harta pada buruh dan bidak. Pandangan yang miskin itu antara lain dalam hal pendidikan anak-anak mereka. Seakan-akan tak ada kewajiban orangtua untuk menyekolahkan anak-anak hingga pendidikan tinggi. Tak sedikit yang hanya SD atau tak lulus SD, bahkan tak sekolah sama sekali. Posisi anak perempuan dinomorduakan dibandingkan laki-laki dalam hal pendidikan. Perempuan cukup bisa memasak, bekerja di sawah dan menata rumah, dianggap sudah cukup. Bahkan oleh orang tuanya, laki-laki pun seringkali dianggap tak perlu sekolah karena akan dibekali sawah sekian hektar.
Kemiskinan pandangan juga pada hal-hal lainnya, seperti perkawinan. Ada  semacam mitos yang salah kaprah di masyarakat, yaitu ”Lebih baik punya janda usia 15 tahun daripada punya anak gadis usia 18 tahun”. Bagi orangtua, jika putri mereka dilamar, meskipun masih usia 12 tahun, pantang untuk ditolak. Urusan kelanggengan ruamh tangga adalah nomor dua. Artinya, kalaupun beberapa bulan kemudian terjadi perceraian, bukanlah hal yang dianggap memalukan.
Eksploitasi Seni
Trauma sosiologis dan psikologis pada anak-anak kaum buruh dan bidak seakan-akan menemukan ”kran” pembuka, jika mereka mampu melepaskan diri dari ikatan keluarga secara ortodok. Kran itu adalah jika mereka berbakat menjadi seniman. Bagi perempuan, menjadi pesinden (penyanyi), adalah sebuah pemberontakan tersendiri dari keluarga dan lingkungan sejak dekade 1930-an.  Saat itu seni yang muncul adalah sandiwara (ketoprak), tarling, wayang kulit, wayang golek cepak, sintren, dombret, genjring, tayuban, dan lainnya. Pandangan masyarakat, perempuan menjadi seniman tari ataupun pesinden (penyanyi) adalah sesuatu yang dianggap “melatar” (jalang, genit, ganjen). Menjadi seniman, dianggap merupakan profesi yang terbuka mengundang laki-laki untuk menggoda.
Tayuban, sebagai tari pergaulan, menempatkan penari perempuan sebagai penghibur laki-laki dengan goyangannya, kemudian mendapatkan sawer. Di situ juga diramaikan dengan minuman keras, yang konon meniru gara orang Belanda ketika berpesta. Tak sedikit penari atau pesinden yang diincar laki-laki berduit, kemudian menjadi istri simpanan atau bukan simpanan.
Seni dongbret, malah secara vulgar melakukan eksploitasi seni. Penari perempuan yang disawer, dalam waktu beberapa menit, bisa diajak si penyawer ke tempat yang agak gelap, kemudian dicium-cium dengan imbalan beberapa rupiah saja. Biasanya pertunjukan dilakukan di daerah pangkalan nelayan sehabis pulang dari melaut.
Kran keterbukaan makin menganga ketika Jakarta menggeliat sebagai ibukota dan kota metropolitan sejak 1970-an. Jarak yang relatif dekat (Indramayu-Jakarta hanya 4-5 jam dengan bus antarkota atau 3-4 jam dengan kereta api) menjadi pilihan untuk mengadu nasib bagi anak-anak kaum buruh yang trauma akan kemiskinan di kampung. Tak sedikit perempuan Indramayu yang terjerumus ke bisnis esek-esek di Kramat Tunggak dan tempat lainnya. Taak sedikit pula yang secara ekonomi berhasil menghilangkan kemiskinan. Di kampung, mereka membeli sawah, membangun rumah, membeli kendaraan, perhiasan, baju bagus, dsb.
Daya tarik inilah yang menjadi obsesi bagi para keluarga miskin untuk melakukan upaya ”instan” menghapus kemiskinan yang bertahun-tahun disandang seperti secara genealogis.
Jika kemudian Indramayu dikenal sebagai daerah pemasok pelacur, mungkin ada benarnya. Beberapa penyebabnya antara lain himpitan ekonomi, pendidikan rendah, pemahaman agama yang rendah, standar moral yang rendah, sikap hidup konsumtif, patah hati, dendam (tak dikawin pacar padahal sudah tak gadis lagi, dicerai suami), bahkan ada pula yang berlatar sejarah (di sebuah kecamatan ada beberapa perempuan yang berawal menjadi selir di keraton secara tak resmi).
Sedangkan motivasinya antara lain kemauan diri-sendiri (karena patah hati, ingin punya banyak uang, ingin menunjukkan kemandirian, dsb, diajak teman/saudara yg sudah terjun lebih dulu, didorong suami (karena himpitan ekonomi), dan didorong orangtua (ekonomi), tergiur oleh keberhasilan orang lain yang sukses secara ekonomi (punya rumah bagus, kendaraan, sawah). Modus baru yang terlihat kini adalah dengan alasan berangkat ke kota sebagai pelayan restoran, diskotik, penari di luar negeri, dsb. Seringkali mengatasnamakan seni, yang terjadi adalah eksploitasi esek-esek.
                                                                                                     Peran politik
Fenomena seperti itu memang pada dekade sekarang sudah berkurang. Citra perempuan Indramayu sedikit-banyak terangkat oleh keberhasilan figur-figur perempuan dalam berbagai bidang. Kemiskinan menjadi catatan buram masa lalu, yang menjadi pelajaran berharga untuk melangkah ke depan.
Meski demikian, tampaknya ada pergeseran tema seiring permasalahan yang semakin kompleks dan dunia yang makin terbuka. Jalan pintas mengatasi kemiskinan kini cenderung pada pekerjaan yang dianggap halal, seperti menjadi TKW di luar negeri. Di satu sisi pekerjaan itu lebih bermartabat, tetapi di sisi lain secara tidak langsung menciptakan problema rumah-tangga yang tidak bisa dianggap sepele. Tak sedikit suami yang istrinya menjadi TKW, harus menanggung beban sosial, psikologis, bahkan biologis.
Lalu, langkah politik apa yang akan dilakukan para perempuan politisi Indramayu dalam memperjuangkan kaumnya, sekaligus mengangkat citra perempuan Indramayu. Tentu saja, kiprah yang terlihat jangan sampai sosok yang melepaskan diri dari stigma dan problema sosial kaum perempuan Indramayu, karena merasa menempati strata tinggi dan eksklusif. Jangan hanya sebagai garwa atau sigareng nyawa (separuh nyawa dari suami).  Jangan hanya sebagai pelengkap dan pemanis gedung dewan semata.

Penulis adalah pemerhati sosial-budaya, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik