Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

”Ruwatan Murwakala” Pilkada (Indramayu)

-dimuat di Kompas Jabar

Oleh SUPALI KASIM

Jika tradisi ruwatan murwakala ditafsirkan sebagai upaya meningkatkan derajat manusia, ada baiknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) melakukannya. Ruwatan menjadi perlu, jika selalu ada penyimpangan dalam proses Pilkada. Ruwatan menjadi penting, agar sang raksasa Betara Kala tidak menjadi rakus. Bisa jadi jika dibiarkan, ia menjadi pemakan segala, dari besi beton, aspal jalan, dana bencana, dan angka-angka APBD lainnya.


Betara Kala lahir dari proses awal yang salah, yang lebih didominasi syahwat duniawi. Kama (roh) yang hidup tanpa restu Yang Kuasa. Ketika lahir ia pun senantiasa lapar dan tega memangsa. Ketika Betara Guru dan Dewi Uma akhirnya mengakui sebagai putra mereka, wujud dan sifat Kala tetap sebagai raksasa. Ia menjadi simbol syahwat duniawi yang kemudian perlu tumbal mahal kehidupan.

Kontestan Pilkada yang sejak awal memiliki niat ”yang penting menang, meski dengan berbagai cara”, seperti proses lahirnya Kala. Nafsu duniawi untuk meraih atau mempertahakan kekuasaan dengan segala cara, adalah proses yang menyimpang. Kesalahan awal terjadi ketika seseorang memaksakan diri untuk menjadi kontestan karena merasa memiliki uang, tanpa berkaca pada kredibilitas, kemampuan, dan jatidirinya.

Penyimpangan sangat terlihat dengan adanya politik uang, kampanye hitam, hingga penekanan terhadap pegawai oleh calon petahana (incumbent) atau keluarganya. Politik uang seakan-akan bukan kesalahan. Kampanye hitam menjadi semacam keharusan untuk menjatuhkan lawan sekaligus menaikkan pamor dirinya. Intimidasi dan penggiringan pegawai oleh calon petahana atau keluarganya seolah-olah bukan sesuatu yang dilarang.

Menggerogoti Pilkada
Sebuah ruwatan pada hakikatnya adalah mengembalikan kepada keadaan semula. Betara Kala sekan-akan selalu menggerogoti proses Pilkada. Penggorogotan yang tampak dengan gamblang, tetapi mampu berlindung di balik ketentuan dan Undang-undang. Nilai-nilai agama dan dirgama (etika kemasyarakatan) seakan-akan sesuatu yang jauh.

Bagi calon petahana atau keluarganya, aturan main seringkali diakali, karena hal itu sangat dimungkinkan. Penyelenggara (KPUD) dan wasit (Panwas) hingga ke tingkat kecamatan dan desa bisa dipilih dari keluarga atau pendukungnya, meskipun melalui proses seleksi. Pengungkapan melalui proses hukum memang sangat sulit pembuktiannya.

Para pejabat struktural seringkali dihubungkan sebagai kekuasaan petahana melalui SK Pengangkatan. Oleh karenanya jabatan struktural kemudian dipelintir menjadi jabatan politis, bukan jabatan karier. Siapa yang mendukung secara politis, dialah yang diangkat. Seleksi pejabat struktural acapkali hanya dengan menyodorkan pertanyaan matematika, ”5 x 5 berapa?” Jawaban yang benar bukanlah 25, melainkah ”Terserah Bapak/Ibu saja, mintanya berapa....”

Calon petahana dan keluarganya juga memiliki kesempatan lebih luas untuk menaikkan citra melalui agenda pemerintahan. Segala pemberian bantuan kepada masyarakat, termasuk dari pusat, harus dilakukan dirinya.  Pencitraan juga dilakukan jika menghadapi segala macam perlombaan. Kemenangan menjadi keharusan.

Publik, terutama kelas menengah ke bawah, seringkali menjadi ”tak tega” jika tak memilih calon yang memberi ”politik uang”. Anggapan yang mencuat cenderung bersikap apatis. Publik menganggap siapapun yang jadi, ketika bertahta, kinerjanya begitu juga. Jadi, lebih baik memilih kontestan yang memberi uang. Publik mengesampingkan visi dan misi, tetapi lebih melirik ”gizi”.  Publik juga seringkali mudah termakan ”kampanye hitam” yang biasanya dilakukan 1-2 hari menjelang pemilihan. Isu-isu korupsi, agama, suku, atau perbuatan amoral biasanya mudah menjadi api penyulut pada jerami yang tengah meranggas.

Para pegawai dan pejabat seringkali merasa takut oleh intimidasi calon petahana atau keluarganya. Ketakutan yang masuk akal, karena ancaman mutasi atau di-nonjob-kan, bukan sesuatu yang mustahil. Penggiringan pegawai demikian sistemik. Para pejabat diposisikan menjadi ”tim sukses bayangan” yang membawahi beberapa wilayah tertentu. Para pegawai di pelosok desa dijadikan mesin suara agar memengaruhi keluarga dan tetangganya.

Kembali ke dasar
Jika para kontestan kembali ke dasar tujuan pemilihan dan bahkan tujuan kehidupan, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan tahta, tentu saja sebuah penyimpangan. Politik uang menjadikan pemilih bukanlah pemilih sejati. Rasio dibutakan. Nurani  dibekukan. Uang telah menutup kecermatan dalam memilih, dan kucing budug sangat mungkin terpilih. Jika menang, kontestan cenderung akan berhitung seperti pedagang. Tahun pertama atau kedua harus balik modal, tahun selanjutnya harus dapat keuntungan.

Kampanye hitam berkorelasi dengan sikap menjelek-jelekkan lawan. Isi kampanye belum tentu mengandung kebenaran. Kampanye semacam itu seringkali berisikan pemutar-balikan fakta dan cenderung fitnah. Jika saja kontestan percaya pada agama, hal tersebut adalah sesuatu yang keji dan kejam.
Kontestan dari petahana sebenarnya tahu benar adanya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 79 Ayat 4 yang menegaskan, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melibatkan PNS serta anggota TNI dan Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye. Ia juga pasti tahu sanksi bagi PNS yang tidak netral diatur dalam PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Jika saja UU itu diresapi, akan tampak tujuannya sangat mulia. Para PNS adalah abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pejabat. Netralitas menjadi sesuatu yang sangat agung, karena siapapapun kepala daerahnya, mereka adalah perangkat yang menyukseskan program-programnya.
Dalam khazanah bahasa Cirebon, ruwat berarti meningkatkan, melindungi, menjaga, atau memelihara. Murwakala berarti asal-usul dahulu kala. Ruwatan Murwakala juga bisa diinterpresikan sebagai mengembalikan kepada tujuan semula. Tujuan awal penyelenggaraan Pilkada adalah sesuatu yang agung dan luhur untuk memilih seorang pemimpin.

Syahwat kekuasaan memang begitu menggoda. Ruwatan Murwakala menjadi pengandaian demi mengembalikan tujuan semula. Cara lain yang lebih kredibel adalah peraturan dan UU mengenai penyelenggaran Pilkada harus ditegakkan. Agama dan dirgama (etika kemayarakatan) harus menjadi pegangan. Konsep ”Raja-Pinandita” menjadi keharusan. Bukan semata-mata menjadi kepala daerah sekaligus memahami agama. Lebih dari itu adalah konsep dan perilaku pemimpin yang memiliki keseimbangan kehidupan material dan kehidupan spiritual.

Sunan Gunungjati (abad ke-16) memberikan alternatif, ”Yen kiyeng tamtu pareng, yen bodoh kudu weruh, yen pinter aja keblinger” (jika tekun insya Allah terkabul, jika bodoh harus berpengetahuan, jika pintar janganlah kebablasan sekehendak sendiri). Sebuah adagium yang bisa diinterpretasikan sebagai kecerdasan sosial, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. ***
SUPALI KASIM, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Indramayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik