Oleh SUPALI KASIM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Di wilayah Cirebon hidup dan berkembang berbagai tradisi dan kebudayaan. Ada yang berasal dari zaman sebelum Islam, tetapi banyak yang berasal dari tradisi ketika Islam tersebar dengan tokohnya adala para Wali Sanga. Apalagi wilayah Cirebon juga menjadi pusat penyebaran Islam dengan pimpinan salah seorang wali yang juga sultan, Sunan Gun
ungjati.Salah satu tradisi yang masih berlangsung hingga kini adalah “adus sumur pitu” atau mandi tujuh sumur. Menurut budayawan Cirebon, Nurdin M. Noer, tradisi tersebut berdasarkan cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan) dimulai pada masa Sunan Gunungjati abad ke-15 sampai 16. Hingga kini ada beberapa kelompok masyarakat yang melestarikan tradisi di tujuh sumur di kompleks pemakaman Astana Gunung Sembung itu.
Selama berabad-abad tradisi itu tetap berlangsung, karena adanya semacam kepercayaan tertentu mendapatkan berkah. Tradisi itu menjadi unik, karena biasanya seseorang cukup mandi di sebuah sumur, tetapi trradisi tersebut mengharuskan orang mandi di tujuh sumur. Di tujuh sumur yang berbeda-beda itu, berharap berkah yang berbeda-beda pula.
1.2 Rumusan Masalah
Tradisi mandi di tujuh sumur berlangsung sejak zaman Sunan Gunungjati (abad ke-15 sampai 16). Hingga kini tradisi itu masih berlangsung. Meskipun zaman telah berganti, bahkan melangkah ke era teknologi, tradisi itu masih tetap berlangsung. Masyarakat dari berbagai wilayah di Cirebon masih banyak yang melestarikan tradisi itu.
Hal ini menarik untuk dibicarakan. Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Mengapa tradisi “adus sumur pitu” selama berabad-abad masih tetap berlangsung?
2. Apa yang bisa diambil manfaatnya dari tradisi “adus sumur pitu”?
3. Apakah hikma tradisi “adus sumur pitu” bisa dimasukkan dalam materi mata pelajaran di sekolah?
1.1 Tujuan Penulisan
Penulisan ini berasal dari kajian pustaka. Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Menelusuri berdasarkan teks pemahaman tentang tradisi “adus sumur pitu”.
2. Mengungkap makna berdasrkan teks tentang tradisi “adus sumur pitu”.
3. Memerik hikmah tradisi “adus sumur pitu” sebagai pelajaran yang berharga.
BAB II
APRESIASI BUDAYA PADA TRADISI “ADUS SUMUR PITU”
2.1 Tradisi “Adus Sumur Pitu”
Adus atau mandi mengandung pengertian membersihkan dan menyegarkan kembali. Dalam syariat Islam, hukum mandi ada yang wajib, sunnah dan mubah. Buku Mengaji pada Sunan Gunungjati: Menengok dan Membaca Filsafat Situs Makam Sunan Gunungjati (Abdul Ghofar Abu Nidallah, tanpa tahun terbitan:22) menyebutkan Sumur diartikan sebagai seumur-umur, sedangkan Pitu berarti tujuh. Sumur Pitu menyiratkan tujuh sifat dasar yang mestinya kita jaga dan kita segarkan terus-menerus seumur-umur, sepanjang hayat kita.
2.2 Letak Tujuh Sumur dan Pengertiannya
Buku Mengaji pada Sunan Gunungjati: Menengok dan Membaca Filsafat Situs Makam Sunan Gunungjati (Abdul Ghofar Abu Nidallah, tanpa tahun terbitan:22-26;) menyebutkan letak tujuh sumur yang menjadi tradisi “adus sumur pitu”. Ketujuh sumur itu mengandung pengertian sifat-sifat dasar manusia, yang kadang-kadang kusam tersaput debu zaman atau bahkan tertutup lumut waktu. Sifat-sifat yang tumbuh seiring perkembangan psikologis manusia itu dirangkum dalam pengertian masing-masing sumur, yaitu:
1. Sumur Kanoman (Kaenoman/Muda)
Sifat merasa lebih muda dan tidak banyak memiliki adalah dasar sifat tawadddu’, yang akan melahirkan sikap rendah hati dan jauh dari sifat adigang adigung adiguna, seperti takabur, ujub, riya, dan sebagainya. Orang yang memiliki sifat tawaddu’ cenderung bisa menerima nasihat, namun selalu bersemangat dalam menjalankan syariat, sopan dalam bertingkah serta santun dalam berkata-kata.
Adus ning Sumur Kanoman (mandi di Sumur Kanoman) mendidik kita untuk memelihara selalu, “seumur-umur” sifat merasa enom (muda) agar selalu tetap segar, bersih dan berseri-seri. Letak Sumur Kanoman berada di pertamanan Kanoman, kompleks Astana Gunung Sembung.
2. Sumur kasepuhan (kasepuhan tua / dewasa)
Sifat merasa tua dan dewasa melahirkan kelegaan untuk memberi kepada yang lebih muda, lemah, dan miskin. Memberi perlindungan, pemenuhan kebutuhan dan bimbingan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Dewasa dalam berfikir dan bertindak, serta adil dalam arti bisa menundukkan masalah pada tempatnya masing-masing, yang dalam bahasa disebut sebagai proporsional.
Sifat dewasa ini hendaknya disepuh selalu, sehingga tetap berkilau seumur-umur menghiasi perjalanan hidup kita hingga di batas azal. Sumur Kasepuhan berada di pertamanan Kasepuhan, Astana Gunung Sembung.
3. Sumur Jati (Hakiki, Sempurna)
Menjaga kesadaran akan kesejatian diri, sejatining urip lan sejatining dumadi (sejatinya hidup dan sejatinya asal-usul) kita. Sejatining dumadi atau hakikat penciptaan manusia adalah untuk menghamba, li ya’buduna. Seorang hamba melaksanakan perintah dan menjauhi larangan tuannya tanpa perhitungan untung-rugi. Semata-mata hanya mengharap ke-lila-anya belaka.
Jika tuannya adalah Sang Pencipta yang robbul alamin, seorang hamba yang haqqul yaqqin bahwa tuannya yang Maha Adil dan Maha Ilm telah mempertimbangkan kemanfaatan perintah dan larangannya itu adalah demi kemaslahatan hidup hambanya, niscaya akan lahir sifat penghambaan diri yang total, meliputi penyerahan dan pengorbanan demi mencapai ridho, ampunan serta kasih-Nya belaka
Sedang sejatining urip atau hakikat tujuan hidup manusia adalah sebagai kholifah fil ardhi menjadi cah angon untuk mengejawantahkan, menebar nilai dari sifat keilahian di atas mayapada ini. Menjadi penaggungjawab atas kelangsungan kehidupan bumi yang tata tenteram kertaraharja gemah ripah loh jinawi, dengan kata lain sejatinya kita ini diamanati tuan menjadi wong kemit (penjaga) yang ngopeni (memelihara) bumi ini dan menjaga dengan agamanya. Sumur Jati berada di pelataran sebelum memasuki gapura belimbing wulu.
4. Sumur Agung atau Kamulyan (Kemuliaan)
Ukuran keagungan manusia adalah tingkat ketekunan melakukan peribadatan atau takwanya, saat kita dapat menerjemahkan nilai-nilai sholat dalam tatanan hidup sehari-hari. Sholat adalah miniatur tata kemasyarakatan, dari mulai syarat sholat, syarat sah sholat, rukun dan sunnah sholat, serta muthilatus sholat adalah dasar tata atur kehidupan mengkaji pelaksanaan solat.
Ketika seseorang bertindak sebagai imam maupun ma’mum, cara memilih imam tentang hukum imam yang dibenci serta adab ma’mum yang masbuq semua adalah cermin tata bermasyarakat yang sempurna. Maka memelihara keagungan diri adalah adalah cara memelihara dan menegakkan ajaran sholat, sebab dengannya manusia menuju maqqoman mahmudah. Maqqom yang agung. Tempat terpuji inilah bagian terpenting dan makna pesan Kanjeng Sunan, “ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Letak Sumur Agung ada di kompleks Masjid Dog Jumeneng.
5. Sumur tegang pati ( tega ing pati berani mati)
Tega ing pati berarti berani mati, tidak takut menghadapi kematian. Pati raga, pati arta maupun pati tahta, semua tak berarti apa-apa sebab raga, harta, maupun tahta hanyalah kelap–kelip penghias dunia yang pada saatnya pasti akan padam dan sirna: raga siapa yang abadi dalam keperkasaan kecantikan dan kegagahan?
Semua akan bertemu dengan kerentaan yang berujung pada maut. Begitupun kekayaan dan kekuasaan, keduanya bersifat fana. Maka harus kita segarkan selalu sifat tidak takut dengan kematian raga, harta mapun tahta. Namun harus menjaga ketiganya itu sebagai amanah dalam rangka menjalankan tugas sebagai kholifah fil ardhi, dalam rangka menjaga dan memelihara bumi dengan agamanya. Hanya satu yang tak boleh mati dari kita adalah sekelip cahaya keimanan dalam dada. Untuk mempertahankan iman yang sekelip ini kita pertaruhkan raga, harta dan tahta hingga mati.
6. Sumur Kejayan (Kejayaan)
Seumur-umur membersihkann dan mencemerlangkan kembali sifat kejayaan manusia, yakni tetap berada dalam bingkai syariat agama. Jangan sampai tergoda untuk mencoba–coba keluar daripadanya. Menjaga kejayaan diri dari muslihat setan yang nyata-nyata menjadi muslihat abadi bagi kita.. Jika kita lengah dan tergiur dalam perang abadi ini dalam mencicipi umpan–umpannya yang membuat kita lena dalam kenikmatan yang nisbi, maka hancurlah kejayaan kita sebagai manusia.
7. Sumur Jalatunda
Sumur penghujung dari sumur pitu (tujuh sumur) adalah Sumur Jalatunda. Jalatunda berarti mata air yang sangat jernih. Mandi sumur jalatunda hakikatnya adalah pencucian kembali fungsi keberadaan kita ditengah-tengah masyarakat, yakni sebagai sumber (mata) air. Air laksana kehidupan, dibutuhhkan dan dicari. Kehadirannya memberikan kesegaran dan kesejukan serta kenyamanan. Air dalam takaran tertentu adalah rahmat, sedang falam jumlah di luar takaran kita sebagai manusia lagi-lagi adalah agama.
Dalam terminologi bahasa Arab, jalla berarti jelas atau terang (satu dari asmaul husna), sedangkan tunda dari nida yang dalam bentuk shigat mudhoroah dibaca yunda berarti terpanggil, dengan ta’dhomir mukhothob terbaca tunda berarti engkau terpanggil.
Maka, jika keenam sifat dasar manusia yang sudah tinutur tadi terus-menerus, seimur-umur selalu dibersihkan agar tidak ternoda, niscaya jiwa kita akan selalu merasa terpanggil untuk melaksanakan syariat. Aturan agama bukan lagi merasa beban, tapi adalah sebagai panggilan, kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam kondisi seperti ini aura yang menyelimuti jiwa kita niscaya akan memancar, menyemburat memenuhi angkasa, menembus sidratil muntaha, maqom yang tinggi di sisi Allah azza Wa Jalla
2.3 Inspirasi Menjadi Puisi
Tradisi “adus sumur pitu” ternyata juga memberi inspirasi menjadi puisi, seperti puisi yang ditulis penyair Cirebon, Made Casta. Pada buku Susub Landep: Antologi Puisi Basa Cerbon (2008), puisi tersebut termuat, yakni:.
Made Casta
Adus ning Sumur Pitu
Adusa ning Sumur Kanoman
Toya rumesep ning balung sumsum
Dadiya andap asor atinira
Seger buger gegodhongan ijo royo-royo
Ora tedas tapaka ning palune parade
Adusa ning Sumur Kasepuhan
Toya rumesep ning kalbu
Dadiya sampurnane makripat
Ngadhemi rat sejagat
Wong sejagat welas asih
Grujugen adusana atinira ning Sumur Jati
Toya netes sejatining dumadi
Megaring cahyane Pangeran sawiji
Dadiya cah angora kanggo ati kang kumelab
Sekar donga puji jalma, pasra lila sekarsaning Allah
Nalikane sliramu adus ning Sumur Agung
Toya gumrojog saking mesigit Dog Jumeneng
Adheme nyukulaken tetanduran iman
Selawase acining kasucen wis mbasuh dhodhot ira
Dadiya sira maqoman mahmuda
Adusa ning Sumur Tegang Pati
Toya mbrebes ngadhemi sanubari
Pati kang ora kudu den wedheni
Patining arta
Patining tahta
Patining raga
Sejatining pati ya dedalan kepanggih Gusti kang
welas asih
Ning Sumur kejayan adusa sira
Toya muncrat mbasuh sejatining dumadi
Kejayan kang dumadi minangka manungsa sejati
Jayaning ora gampang kegembang kegoda
Ora bakal nyandang wewirange jagat
Pungkasan adusira ning Sumur Jalatunda
Mbrebel Ilene toya saking atinira
Urip dadi mupangat kanggo wong sejagat
Urip dadi tinemu marang maghfirahe Gusti Ta’ala
Urip sajeroning mati
Mati sajeroning urip
Cerbon, wulan Shafar 1428 H
2.4 Apresiasi Budaya
Tradisi “adus sumur pitu” bisa diapresiasi dari sudut budaya, seperti dari segi pemaknaan bahasa kiasan, tradisi keperecayaan, dan nilai-nilai kearifan lokal. Secara bahasa kiasan, Sumur diartikan seumur-umur, sedangkan Pitu berarti tujuh. Sumur Pitu menyiratkan tujuh sifat dasar yang mestinya kita jaga dan kita segarkan terus-menerus seumur-umur, sepanjang hayat Adus atau mandi mengandung pengertian membersihkan dan menyegarkan kembali. Dalam syariat Islam, hukum mandi ada yang wajib, sunnah dan mubah.
Adus ning Sumur Kanoman (mandi di Sumur Kanoman) mendidik kita untuk memelihara selalu, “seumur-umur” sifat merasa enom (muda) agar selalu tetap segar, bersih dan berseri-seri.
Adus ning Sumur Kasepuhan (kasepuhan, tua / dewasa) berarti sifat merasa tua dan dewasa melahirkan kelegaan untuk memberi kepada yang lebih muda, lemah, dan miskin.
Adus ning Sumur Jati (Hakiki, Sempurna) berarti menjaga kesadaran akan kesejatian diri, sejatining urip lan sejatining dumadi (sejatinya hidup dan sejatinya asal-usul) kita.
Adus ning Sumur Agung atau Kamulyan (Kemuliaan) diartikan ukuran keagungan manusia adalah tingkat ketekunan melakukan peribadatan atau takwanya, saat kita dapat menerjemahkan nilai-nilai sholat dalam tatanan hidup sehari-hari.
Adus ning Sumur tegang pati ( tega ing pati berani mati) berarti berani mati, tidak takut menghadapi kematian. Pati raga, pati arta maupun pati tahta, semua tak berarti apa-apa sebab raga, harta, maupun tahta hanyalah kelap–kelip penghias dunia yang pada saatnya pasti akan padam dan sirna.
Adus ning Sumur Kejayan (Kejayaan) berarti seumur-umur membersihkann dan mencemerlangkan kembali sifat kejayaan manusia, yakni tetap berada dalam bingkai syariat agama. Jangan sampai tergoda untuk mencoba–coba keluar daripadanya. Menjaga kejayaan diri dari muslihat setan yang nyata-nyata menjadi muslihat abadi bagi kita..
Adus ning Sumur Jalatunda atau sumur penghujung dari sumur pitu (tujuh sumur) berarti mata air yang sangat jernih. Mandi sumur jalatunda hakikatnya adalah pencucian kembali fungsi keberadaan kita ditengah-tengah masyarakat, yakni sebagai sumber (mata) air.
Apresiasi bisa juga dilakukan dengan menafsirkan tradisi tersebut ke dalam bentuk lain. Misalnya pada puisi Made Casta, menyiratkan penafsiran akan makna tradisi mandi di tujuh sumur tersebut. Makna dari penafsiran tersebut bisa pula dimasukkan sebagai materi pelajaran di sekolah, terutama mata pelajaran muatan lokal.
BAB III
SIMPULAN DAN PENUTUP
3.1 Simpulan
Penelusuran dengan kajian pustaka tentang tradisi “adus sumur pitu” menghasilkan simpulan sebagai berikut:
1. Tradisi “adus sumur pitu” berdasarkan cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan)
dilakukan sejak zaman Sunan Gunungjati pada abad ke-15 hingga 16 dan diteruskan masyarakat Cirebon hingga kini.
2. Tujuan dari tradisi “adus sumur pitu” adalah mengharapkan berkah tertentu dan mendapatkan hikmah tersendiri.
3. Pemahaman akan tradisi “adus sumur pitu” bisa dipetik untuk dimasukkan dalam materi mata pelajaran muatan lokal.
3.2 Penutup
Mudah-mudahan penulisan tentang tradisi “adus sumur pitu” ini bisa memberikan gambaran salah satu tradisi dan budaya di wilayah Cirebon yang sudah berlangsung sejak zaman Sunan Gunungjati. Dari trasisi tersebut mudah-mudahan bisa dipetik hikmahnya.
Kepustakaan:
Casta, Made, dkk. 2008. Susub Landep: Antologi Puisi Basa Cerbon. Cirebon: Yayasan Dewan Kesenian Cirebon.
Dahuri, Rokhmin, dkk. 2004. Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.
Nidallah, Abdul Ghofar Abu. (tanpa tahun). Mengaji pada Sunan Gunungjati: menengok dan membaca Filsafat Situs Makam Sunan Gunungjati. Cirebon: Yayasan Pradipta.
Nurdin M. Noer (wawancara tanggal 24 Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar