Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Kamis, 14 Juli 2011

Kucing Garong dan Bahaya Laten Korupsi

Oleh SUPALI KASIM

Apakah korupsi sudah menjadi karakter kita?  Peringatan Jayabaya, Mochtar Lubis, NU, Muhammadiyah, ICW, Cicak, Gerakan Indonesia Bersih, hingga lagu ’Kucing Garong’ mengindikasikan korupsi sudah mengurat-akar dan melemahkan seluruh sendi-sendi kehidupan.


’Prestasi’ Indonesia dalam bidang korupsi memang lumayan. Hasil survei
Transparency International (TI), Indonesia menempati peringkat ke-5 dari 10 negara  ASEAN dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2009 di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Di seluruh dunia, Indonesia masuk urutan ke-111 dari 180 negara.

Kualitas birokrasi di Indonesia berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultacy (PERC) terhadap 1.000 ekspatriat di Asia sejak 1997-2005, selalu masuk dalam lima besar keburukan di birokrasinya. Padahal negeri ini secara struktural telah melakukan berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan membentuk, antara lain Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) tahun 1999, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2002, juga Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2005.

Korupsi sudah menjadi bahaya laten. Bukan hanya menjadi penyakit yang menggerogoti struktural pemerintahan, tetapi juga mengikis sendi-sendi kultural. Korupsi dimulai dari kebiasaan kemudian menjadi pembiasaan, dari terpaksa menjadi memaksa, dan sangat mungkin menjadi budaya bahkan ideologi baru, tanpa berpikir lebih jauh akibat pelemahan seluruh sistem struktural dan kultural. 

Kucing garong
Saat berdemo menolak kriminalisasi atas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Bundaran Hotel Indonesia, penyanyi Trio Macan mendendangkan lagu’Kucing Garong’. Begini syairnya: kelakuan si kucing garong / ora kena ndeleng sing mlesnong / maen sikat maen embat / apa sing lewat // kelakuan si kucing garong / selalu ngolati sasaran / asal ndeleng pepesan / wajah bringasan ....

Lagu dangdut berbahasa Cerbon-Dermayu itu bisa diterjemahkan sebagai berikut: kelakuan si kucing garong / tidak tahan lihat yang mencorong / main sikat main embat / apa yang lewat // kelakuan si kucing garong / selalu mencari sasaran / asal lihat pepesan / wajah bringasan ....

Perilaku dan karakter si kucing garong, bisa jadi menurut wartawan-budayawan Mochtar Lubis adalah manifestasi dari streotip manusia Indonesia yang munafik atau hipokrit, segan bertanggungjawab atas perbuatannya (Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977).

Berabad silam, pujangga Jawa yang juga Raja Kediri, Jayabaya (1135-1157), banyak menuliskan perilaku hipokrit, korup, materialis, dan hedonis. Sebuah cermin yang layak dilakukan para pegawai, penguasa, dan pengambil kebijakan di zaman sekarang. Perilaku hipokrit, diperingatkan Jayabaya secara lugas: Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe (banyak orang berani melanggar sumpah sendiri).

Perilaku semacam ini di dalam pemerintahan dan kemasyarakatan berimbas pada kemenangan karakter manusia, yakni wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat (orang yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa), sedangkan wong agung kasinggung, wong ala kapuja (yang mulia dilicehkan, yang jahat dipuji-puji) dan sing waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil (yang waras dan adil hidupnya merana dan tersisih).  Pada akhirnya nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan kemanusiaan pun ditinggalkan, atau lali kamanungsan, lali kabecikan (lupa jatidiri kemanusiaan, lupa hikmah kebajikan)

Perilaku korup senantiasa berkorelasi dengan karakter materialis dan hedonis. Jayabaya sudah lama memperingatkannya, seperti: Akeh manungsa mung nguatamake duwit (banyak orang hanya mementingkan uang), akeh pangkat sing jahat lan ganjil (banyak pembesar jahat dan ganjil). Bahkan ketika eksistensi lembaga anti korupsi dibatasi atau Undang-undang dipreteli, yang sesungguhnya akan mampu membatasi ruang gerak koruptor, bisa jadi begal pada ndughal, rampok pada keplok-keplok (penyamun semakin kurang ajar, perampok semua bersorak-sorai).

Bahaya Laten
Kurang ajarnya para penyamun dan sorak-sorai para perampok merupakan gong peringatan akan terjadinya tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati (benih kejahatan merajalela, benih kebaikan mati). Ini merupakan bahaya laten bagi negara dan masyarakat, yang akan terbelit oleh gurita kejahatan yang merajalela, sedangkan benih-benih kebaikan, kebenaran, dan kemanusiaan justru mati.

Dalam khazanah sastra Cerbon-Dermayu, kebiasaan, perilaku, dan budaya korup, bisa jadi akan menjadi sebuah ideologi yang menjadi pembenaran sesaat. Akan tetapi hari esok, akibat moral yang terpuruk akan ditanggung anak-cucu kita. Terlihatlah bur gagak kari tunggak (terbanglah burung gagak, yang tertinggal hanya tonggak-tonggak bekas pohon yang ditebang habis).

Peringatan sastra dalam bentuk sloka, wangsalan, ataupun bebasan-paribasan merupakan bahaya laten korupsi. Perilaku seseorang yang di satu sisi bekerja, tetapi di sisi lain korupsi, berkorelasi sebagai ana tindak tan tinanduk (bekerja tak pakai aturan). Peringatan jangan korup, bahkan secara tegas dikatakan sebagai aja mangan barang menteh (jangan makan barang yang mentah).

Perilaku pungli dan pemerasan diibaratkan sebagai kebo nyusu gudel (kerbau menyusu kepada anaknya). Jika korupsi tetap dilakukan, suatu hari akan kelihatan ala ketara, becil ketitik (yang benar tampak, yang salah kelihatan). Pantaslah, jika Indonesia pun terpandang sebagai negara korup. Si Kucing Garong akan tetap maen sikat maen embat / apa sing lewat. Bahkan bergerilya, kasak-kusuk, tahu sama tahu, dan  selalu ngolati sasaran / asal ndeleng pepesan / wajah bringasan ....

SUPALI KASIM, pemerhati budaya, tinggal di Indramayu
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik