Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Jumat, 15 Juli 2011

Nuansa Kemanusiaan dari Pelukis Urban




Oleh SUPALI KASIM

Pameran Lukisan “Indonesia Urban” selama 10 hari (28 Oktober - 8 November 2010) di Panti Budaya Indramayu  bisa dimaknai seperti dua sisi mata uang.  Dilihat dari segi perkembangan seni lukis, mungkin ada baiknya menengok karya-karya pelukis daerah yang selama ini luput dari kamera pengamat nasional. Secara psiko-sosial, bisa jadi ingin menunjukkan bahwa Indramayu tak semata okol (otot, tenaga) dan dengkul.


Pameran bersama ini merupakan perhelatan terbesar di Indramayu. Ada 24 pelukis yang ikut serta, 10 di antaranya berasal dari Indramayu, yakni Syayidin, Affin Riyanto, Adung Abdul Gani, Wiroto, Ade Riyanto, Haris Kusnandar, Abdul Aziz, Edy Olay, Rasiwan, dan Yayat Sugieyatno. Pelukis lainnya berasal dari Garut, Tasikmalaya, Cirebon ,  Yogyakarta, dan Jakarta .

Tema urban memang akhir-akhir ini terdengar eksotis. Ada gelagat yang mengaitkan seluruh sisi kehidupan dimaknai sebagai sesuatu yang berkonotasi urban. Secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya, urbanisasi dianggap suatu keniscayaan yang menegasikan karakter diam masyarakat tradisional. Ada geregap yang serempak yang didorong oleh situasi mendesak, yang membuat manusia kini di manapun berada dan apapun aktivitasnya, adalah manusia-manusia urban.

Manusia peralihan
Bisa jadi secara estetika, para pelukis memendam perasaan sebagai manusia urban yang justru telah tercerabut dari akar tradisinya. Nilai-nilai yang selama ini telah banyak memberikan siraman air dan pupuk kehidupan sejak lahir dan melangkah. Ketika zaman makin bergerak dan silang-sengkarut peralihan peradaban makin nyata, daya estetis itu tampaknya terusik secara kreatif.

Pada tiga lukisan Adung Abdul Gani, misalnya yang banyak mengeksploitasi anatomi tubuh wanita lenjang, langsing, putih, erotis, tetapi misterius. Wajah cantiknya justru terutup kedok panji, seperti yang biasa dipakai penari topeng. Karakter yang tersembul dari kedok itu justru kontradiktif dengan panji yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang polos dan suci. Kedok itu juustru menunjukkan sesuatu yang ganjen, genit, binal, merdeka, bahkan nakal. Bisa jadi ikon manusia urban dari pelukis Indramayu ini telah terwakili.

Hal yang tak jauh berbeda juga pada lukisan Yopi Herdiana, pelukis Tasikmalaya yang kini menetap di Indramayu. Tema anak-anak banyak diumbar. Anak-anak yang lugu, ceria, polos, dan tentu saja merdeka. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat kemanusiaan mereka mulai terusik. Sesuatu itu mungkin berkonotasi dengan urban. Adegan anak laki-laki yang menangis, sementara dua wajah anak-anak yang misterius dengan simbol celana dalam yang berdarah, mungkin bisa menjelaskan hal itu.

Sisi kemanusiaan juga diangkat Affin Riyanto. Kemanusiaan yang telah remuk justru ketika setiap hari pelukis yang pekerja kilang minyak ini senantiasa berhadapan dengan lempengan besi, plat baja, dan kobaran api dari kilang minyak di Balongan. Simbolisasi lewat ikan laut yang menantang dengan tulang-tulangnya yang mengeras dan meruncing seakan-akan mengabarkan kerasnya peralihan masyarakat agraris ke industri.

Permainan simbolik tampaknya juga banyak diangkat para pelukis lainnya lewat warna, nuansa, garis, dan sapuan, serta filosofi yang terkandung  didalamnya. Syayidin, Ade Riyanto, Eceng A.G., Yudha Sasmita, Alboni Mukti Sanjaya, Iwan Muri, dan lainnya melakukan hal itu.

Secara substansi, karya lukisan yang dipamerkan bisa digolongkan ke dalam tiga strata. Pertama, lukisan yang memiliki kematangan secara teknik, estetika maupun misi yang terkandung di dalamnya. Apresiator, tentu saja, bisa merasakan keindahan estetik, menangkap makna puitik, bahkan bisa tercerahkan karena unsur kritik.

Kedua, beberapa lukisan mencoba untuk menunjukkan jatidiri dan karakternya, meskipun masih tampak belum menunjukkan kekuatan estetika. Ada kesan lukisan semacam ini termasuk ngeyel dan ngotot untuk berada dan dicatat dalam perkembangan seni rupa nasional, tetapi malangnya seringkali luput karena ketatnya barometer yang diterapkan. Ia seperti ada dan tiada dalam peta.

Ketiga, masih ada lukisan yang tampaknya sedikit dipaksakan untuk dipamerkan. Masih miskin teknik, terkesan coba-coba, dan masih mencari bentuk dan karakter. Meski demikian, keberanian semacam ini patut dihargai. Memamerkan sebuah karya bukan hanya menunjukkan  identitas dan kreativitas, lebih dari itu ada pertanggungjawaban sosial daan estetika. Publik akan melakukan apresiasi secara menyeluruh, menikmati, menghargai, menilai, mempertanyakan, sekaligus berdialog didalam diri secara kritis.

Secara keseluruhan bisa jadi pula merupakan tipikal manusia urban, juga pelukis urban, yang agak gamang tetapi tetap teguh pendirian. Seperti halnya lukisan, nuansa ini bisa digambarkan secara realis dan naturalis, tetapi juga bisa surealis bahkan abstrak. 

Masyarakat tradisional
Apakah pameran lukisan ini bisa dikaitkan dengan kondisi sumberdaya manusia? Jika menilik indeks pembangunan manusia (IPM), selama sepuluh tahun terakhir ini Indramayu memang selalu berada pada nomor buncit di Jawa Barat Dalam teori sosial-ekonomi seperti yang diungkap W.W. Rostow, bisa jadi Indramayu tergolong masih dalam tingkatan masyarakat tradisional (The Tradisitonal Society). Belum mampu beranjak pada empat strata berikutnya, yakni The Free Condition for Take Off, The Take Off, The Drive to Maturity, hingga menggapai The High Mass of Consumption.

Tingkat IPM yang rendah, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) Jabar 2009, menunjukkan tingkat pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat yang juga masih memprihatinkan. Memang miris melihat rata-rata penduduk Indramayu ternyata SD pun tak lulus, karena rata-rata lama sekolah hanya 5,70, meskipun angka melek huruf naik menjadi 86,04. Begitu pula usia harapan hidup (66,41) dan pengeluaran per kapita (633,17), dengan  IPM hanya 67,39. Bandingkan dengan rata-rata Kabupaten/Kota di Jabar yang mencapai 71,64.

Dari ajang pameran lukisan, mungkin bisa menjelaskan posisi Indramayu yang seharusnya bisa beranjak dan naik ke tingkat The Free Condition for Take Off.

SUPALI KASIM, Penikmat Seni Rupa, Mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu.

-dimuat di Kompas Jabar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik