Oleh SUPALI KASIM
Masa keemasan itu seakan-akan sudah berlalu. Zaman berganti, selera berubah, trend yang lebih baru dan segar pun menyeruak. Grup-grup kesenian pertunjukan yang bersifat tradisional, perlahan namun pasti, satu demi satu, di ambang kematian. Meski awalnya tersentak, para seniman tradisional pada akhirnya bersikap nrima ing pandhum (menerima apa adanya).
Menerima apa adanya berarti tak bisa mengelak akan nasib. Apa yang terjadi di Cianjur seperti ditulis Luki Muharam (Kompas, 10 April 2010) tampaknya tak berbeda jauh dengan di tatar Cirebon-Indramayu. Grup-grup tarling makin sepi order, sebagian lagi bermetamorfosis menjadi organ tunggal. Wayang kulit lebih banyak diapresiasi kalangan tua. Penonton umum hanya antusias pada bagian humor punakawan dan tembang pesinden yang ditingkahi saweran uang.
Wayang golek cepak/menak malah sudah lama berguguran. Satu-dua grup masih bertahan dengan mengharap order acara adat ngunjung/ziarah kubur. Hal yang tak jauh berbeda juga pada seni sandiwara rakyat, genjring umbul, berokan, sintren, tari topeng, rudat, dsb.
Kisah sedih di hari tua
Ketika beberapa seniman tradisional bertemu dan berembug, nada dasar keluhan itu pasti bermunculan. “Kisah Sedih di Hari Tua” ini seakan-akan menjadi tema utama pembahasan. Ujung-ujungnya kesalahan ditimpakan pada beberapa faktor. Penonton dianggap tak apresiatif, pemerintah kurang perhatian, sekolah tak memperkenalkan seni tradisional, atau masyarakat tak peduli warisan budaya sendiri.
Di sisi lain, jika penonton berdiskusi, menganggap para seniman tradisional tak kreatif. Pertunjukan tak menarik. Cerita terlalu asing bagi generasi penonton yang baru, yang sejak kecil lebih mengenal Doraemon dan Popeye. Cerita terlalu berfilsafat dan bersastra tinggi, sedangkan peristiwa di sekitar berlangsung demikian dinamis dan cenderung pragmatis.
Visi-misi cerita seringkali dipaksakan dengan diselingi program-program pemerintah yang seringkali tak nyambung dengan alur cerita. Alur seringkali bertele-tele membosankan, tak kontekstual, dan asyik dengan dunianya sendiri. Tata busana, tata rias, tata lampu seringkali terkesan seadanya, kampungan, dan tak paham mode.
Di sudut yang lain lagi, pemerintah acapkali menganggap sudah mencurahkan perhatian lewat angka-angka APBD. Pejabat di bagian kebudayaan mengaku sudah memperjuangkannya lewat musrenbang. Lebih dari itu juga mengawal dan menjaga anggaran kesenian daerah dalam proses di Bappeda hingga DPRD. Hasil yang didapat, seringkali pula tak sebanding. Kebijakan dan keputusan legislatif dan eksekutif di atasnya justru tak berpihak. Kesenian dan kebudayaan dianggap kepentingan nomor sekian atau bahkan terakhir.
Seringkali pula yang lebih didahulukan adalah anggaran-anggaran bersifat populis dan politis. Ada semacam anggapan, selama jalan-jalan desa masih rusak, saluran mampat, irigasi dangkal, sekolah terancam ambruk, puskesmas kekurangan obat, hingga studi banding pejabat belum dianggarkan, kesenian dan kebudayaan bukan sesuatu yang penting. Hal itu bahkan dikembalikan, masyarakatlah yang harus banyak didorong untuk lebih peduli.
Penonton lama dan baru
Pada bagian yang lain, menjamurnya stasiun televisi sejak dekade 1990-an dengan programnya yang sangat variaatif, mengakibatkan seni pertunjukan tradisional makin terancam keberadaannya. Sebagai contoh untuk seni pedalangan, sebagaimana diungkapkan Gede Sanjaya (2005), jika pelaku seni tidak segera berbenah untuk melawan atau bersaing secara kreatif, niscaya kematian panjang dunia pedalangan akan segera terjadi.
Hal yang hampir sama dikatakan Wawan Juanda, penyelenggara berbagai festival di tanah air. Dalam perbincangan di Jatiwangi Art Factory (JAF) beberapa waktu lalu, Wawan memiliki konsep penyelenggaran festival yang tetap mengusung seni tradisional, tetapi modifikasi seni tradisional dan nuansa modern pun suatu keharusan untuk disuguhkan.
Penonton memang tidak salah dan tidak boleh disalahkan. Mungkin itulah sebabnya dalang wayang kulit dari Celeng Indramayu, H. Anom Rusdi yang ordernya mencapai 170-an/tahun melakukan modernisasi tata gamelan, tata musik, tata lampu, tata busana. Tembang ngepop dan cerita-cerita kontekstual seringkali ditampilkan. Eksistensi juga dilakukan dalang wayang golek cepak, Warsad di Gadingan Sliyeg Indramayu. kelompoknya seperti melakukan diversifikasi usaha: melayani pertunjukan seni sisingaan, arak-arakan patung hewan untuk pengantin sunat, juga seni ukir kedok untuk tari topeng.
Konsep televisi yang menayangkan wayang kulit atau wayang golek, mungkin bisa menjadi acuan, yakni penonton itu majemuk. Orang dari suku tertentu tak semua mengerti wayang. Orang dari suku tersebut yang mengerti kesukuannya dan mengerti wayang hanya terbatas pada orang-orang tua. Itupun tak semua. Kalau toh ada orang muda dari suku tersebut yang mengerti wayang, sangat sedikit jumlahnya. Konsepnya, bagaimana bisa menarik penonton baru, tetapi tak meninggalkan penonton lama.***
Supali Kasim, mantan Sekretaris Pepadi
(Persatuan Pedalangan Indonesia ) Kab. Indramayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar