dimuat di Kompas, Selasa, 29 Juni 2010 | 14:21 WIB
Oleh SUPALI KASIM
Jika tradisi ruwatan murwakala ditafsirkan sebagai upaya meningkatkan derajat manusia, ada baiknya dalam pemilu kepala daerah dilakukan hal serupa. Ruwatan perlu jika selalu ada penyimpangan dalam proses pilkada. Ruwatan penting agar sang raksasa Betara Kala tidak rakus. Bisa jadi, jika dibiarkan, ia menjadi pemakan segala, dari besi beton, aspal jalan, dana bencana, hingga angka-angka APBD lain.
Betara Kala lahir dari proses awal yang salah, lebih didominasi syahwat duniawi, roh (kama) yang hidup tanpa restu Yang Kuasa. Ketika lahir, ia senantiasa lapar dan tega memangsa. Ketika Betara Guru dan Dewi Uma akhirnya mengakui Kala sebagai putra mereka, wujud dan sifatnya tetap sebagai raksasa. Ia menjadi simbol syahwat duniawi yang kemudian perlu tumbal mahal kehidupan.
Kontestan pilkada yang sejak awal memiliki niat "yang penting menang meski dengan berbagai cara" seperti proses lahirnya Kala. Nafsu duniawi untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara adalah proses yang menyimpang. Kesalahan awal terjadi ketika seseorang memaksakan diri untuk menjadi kontestan karena merasa memiliki uang tanpa berkaca pada kredibilitas, kemampuan, dan jati dirinya.
Penyimpangan sangat terlihat dengan adanya politik uang, kampanye hitam, serta penekanan terhadap pegawai oleh calon petahana (incumbent) atau keluarganya. Politik uang seakan-akan bukan kesalahan. Kampanye hitam menjadi semacam keharusan untuk menjatuhkan lawan sekaligus menaikkan pamor dirinya. Intimidasi dan penggiringan pegawai oleh calon petahana atau keluarganya seolah-olah bukan sesuatu yang dilarang. Menggerogoti pilkada
Sebuah ruwatan pada hakikatnya adalah mengembalikan ke keadaan semula. Betara Kala sekan-akan selalu menggerogoti proses pilkada. Penggerogotan itu tampak dengan gamblang, tetapi bisa berlindung di balik ketentuan dan undang-undang. Nilai-nilai agama dan etika kemasyarakatan (dirgama) seakan-akan jauh.
Bagi calon petahana atau keluarganya, aturan main sering kali diakali karena hal itu sangat dimungkinkan. Penyelenggara (KPU) dan wasit (Panwas) hingga tingkat kecamatan dan desa bisa dipilih dari keluarga atau pendukungnya meskipun melalui seleksi. Pengungkapan melalui proses hukum memang sangat sulit dibuktikan.
Para pejabat struktural sering kali dihubungkan sebagai kekuasaan petahana melalui surat keputusan pengangkatan. Oleh karena itu, jabatan struktural kemudian dipelintir menjadi jabatan politis, bukan jabatan karier. Siapa yang mendukung secara politis, dialah yang diangkat. Seleksi pejabat struktural acap kali hanya dengan menyodorkan pertanyaan matematika, 5 x 5 berapa. Jawaban yang benar bukan 25, melainkan terserah bapak/ibu saja, mintanya berapa.
Calon petahana dan keluarganya juga memiliki kesempatan lebih luas untuk menaikkan citra melalui agenda pemerintahan. Segala pemberian bantuan kepada masyarakat, termasuk dari pusat, harus dilakukan oleh dirinya. Pencitraan pun dilakukan jika menghadapi segala macam perlombaan. Kemenangan menjadi keharusan.
Publik, terutama kelas menengah ke bawah, sering "tak tega" jika tak memilih calon yang memberikan uang. Anggapan yang mencuat cenderung bersikap apatis. Publik menganggap siapa pun yang jadi, ketika bertakhta, kinerjanya begitu juga. Jadi, lebih baik memilih kontestan yang memberikan uang.
Publik mengesampingkan visi dan misi, tetapi lebih melirik "gizi". Publik juga sering termakan kampanye hitam yang biasanya dilakukan 1-2 hari menjelang pemilihan. Isu-isu korupsi, agama, suku, atau perbuatan amoral biasanya mudah menjadi api penyulut pada jerami yang tengah meranggas.
Para pegawai dan pejabat kerap merasa takut oleh intimidasi calon petahana atau keluarganya. Ketakutan itu masuk akal karena ancaman mutasi atau dinonjobkan tidak mustahil. Penggiringan pegawai demikian sistemik. Para pejabat diposisikan sebagai tim sukses bayangan yang membawahkan beberapa wilayah tertentu. Pegawai di pelosok desa dijadikan mesin suara agar memengaruhi keluarga dan tetangganya.
Kembali ke dasar
Jika para kontestan kembali ke dasar tujuan pemilihan dan bahkan tujuan kehidupan, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan takhta tentu merupakan penyimpangan. Politik uang menjadikan pemilih bukan pemilih sejati. Rasio dibutakan. Nurani dibekukan. Uang telah menutup kecermatan dalam memilih dan kucing buduk sangat mungkin terpilih. Jika memang, kontestan cenderung akan berhitung seperti pedagang. Tahun pertama atau kedua harus balik modal, tahun selanjutnya harus mendapat keuntungan.
Kampanye hitam berkorelasi dengan sikap menjelek-jelekkan lawan. Isi kampanye belum tentu mengandung kebenaran. Kampanye semacam itu sering kali berisi pemutarbalikan fakta dan cenderung fitnah. Jika saja kontestan percaya pada agama, hal tersebut adalah sesuatu yang keji dan kejam.
Kontestan dari petahana sebenarnya tahu benar adanya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 79 Ayat 4, yang menegaskan bahwa pasangan calon kepala daerah dilarang melibatkan pegawai negeri sipil serta anggota TNI/Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye. Ia juga pasti tahu bahwa sanksi bagi PNS yang tidak netral diatur dalam Peraturan Pemerintah No 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Jika saja UU itu diresapi, akan tampak tujuannya sangat mulia. Para PNS adalah abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pejabat. Netralitas menjadi sesuatu yang sangat agung, karena siapa pun kepala daerahnya, mereka adalah perangkat yang menyukseskan program.
Dalam khazanah bahasa Cirebon, ruwat berarti meningkatkan, melindungi, menjaga, atau memelihara. Murwakala berarti asal-usul dahulu kala. Ruwatan murwakala juga bisa diinterpretasikan sebagai mengembalikan ke tujuan semula. Tujuan awal penyelenggaraan pilkada adalah agung dan luhur, untuk memilih pemimpin.
Syahwat kekuasaan memang begitu menggoda. Ruwatan murwakala menjadi pengandaian demi mengembalikan tujuan semula. Cara lain yang lebih kredibel adalah peraturan dan UU mengenai penyelenggaran pilkada harus ditegakkan. Agama dan dirgama harus menjadi pegangan. Konsep raja-pinandita menjadi keharusan. Bukan semata-mata menjadi kepala daerah sekaligus memahami agama. Lebih dari itu adalah konsep dan perilaku pemimpin yang memiliki keseimbangan kehidupan material dan spiritual.
Sunan Gunung Jati (abad ke-16) memberikan alternatif, "Yen kiyeng tamtu pareng, yen bodoh kudu weruh, yen pinter aja keblinger" (Jika tekun insya Allah terkabul, jika bodoh harus berpengetahuan, jika pintar janganlah kebablasan sekehendak sendiri). Sebuah adagium yang bisa diinterpretasikan sebagai kecerdasan sosial, intelektual, dan spiritual.
SUPALI KASIM Pemerhati Sosial Budaya, Tinggal di Indramayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar