Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Minggu, 19 September 2010

'In Memoriam' Mimi Rasinah

‘In Memoriam’ Mimi Rasinah
Oleh SUPALI KASIM

Foto pada halaman utama Kompas (Kamis, 5/8) berjudul Semangat Mimi Rasinah. Teksnya berbunyi ”Meski stroke dan harus terduduk, maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah (80), tetap penuh semangat menari bersama cucu dan penerusnya, Aerli Rasinah (26), di Bentara Budaya Jakarta pada Pentas Seni dan Pameran “Indramayu dari Dekat”, Rabu (4/8) malam. Mimi Rasinah, yang kini hanya mampu menggerakkan tubuh bagian kanannya, adalah satu-satunya empu tari topeng Indramayu yang masih hidup.”


Dua hari kemudian, Sabtu (7/8) pukul 16.28 Mimi Rasinah meninggal dunia di RSUD Indramayu. Minggu (8/8) pukul 09.30 dikubur di pemakaman Desa Pekandangan, 3 km dari Kota Indramayu. Foto karya fotografer Kompas, Lasti Kurnia tersebut, adalah foto terakhir. Tari kreasi Rogo Sukma bersama cucunya tersebut adalah tarian terakhir. Akan tetapi pentas tersebut bukanlah pentas terakhir. Ia seakan-akan telah me-rogo-kan (mengambil) sukma tarinya untuk diberikan kepada cucu dan penerusnya. Sukma Rasinah pun tak akan mati, karena tari topeng gaya Dermayonan akan diteruskan puluhan anak didiknya.

Rasinah memang seorang mimi (ibu) bagi kehidupan tari topeng. Pahit-getir kehidupan topeng telah puluhan tahun dilakoni. Riuh gemerlap maupun kosong sepinya pentas ia nikmati. Perjuangan melawan kepapaan telah ia jalani. Namun ia juga dengan sabar dan ikhlas melahirkan, mendidik, membimbing, dan menuntun anak-anak generasi penerusnya.

Mama Amat
Secara biologis, darah seniman Rasinah tidak terlalu kental. Namun sejak usia remaja dan menikah dengan Amat, nayaga tari topeng dari keluarga seniman, Rasinah memang dikader menjadi penari topeng. Berbagai teknik tari maupun menabuh gamelan harus dikuasai. Secara ideologis, apresiasi dilakukan lewat pengembaraan sukma sekaligus pembentukan raga. Ritual puasa mutih (berpuasa dengan hanya makan nasi putih saja atau segelas air), ngetan (berpuasa, saat berbuka hanya makan nasi ketan) ataupun puasa wali (berpuasa tak makan dan tak minum selama tiga hari atau tujuh hari, dan seterusnya). Selama puluhan tahun kelompok tari topengnya berpentas dari kampung ke kampung dan dari desa ke desa. Menghibur acara hajatan maupun ritual desa.

Kekayaan filsafat dan cermin karakter manusia pada tari topeng, agaknya tidak selalu beriringan dengan kesukaan masyarakat yang cenderung memilih jenis kesenian yang bersifat lebih menghibur, lebih wah, nge-trend, dan nge-pop. Sejak dasawarsa 1980-an topeng mulai jarang ditanggap. Keterpurukan itu makin menjadi ketika Mama (bapak) Amat meninggal dunia. Rasinah seperti ”di-PHK”. Belasan tahun kemudian tari topeng tak disentuhnya lagi.

Sobra, badong, dodot, kedok, dan busana kebesaran lainnya ia tanggalkan meski dengan dada sesak. Apalagi para nayaga lainnya satu persatu meninggal dunia ataupun sudah renta ataupun mencari penghidupan lainnya. ”Tari topeng hanyalah masa lalu. Sekarang, orang tak butuh topeng, tak ada yang nanggap,” ujar Mimi Ras atau juga biasa dipanggil Mak Inah itu.

Endo dan Toto
Siapa sangka ketika sudah lima belas tahun meninggalkan dunia tari, ia ”dipaksa” untuk menari lagi. Endo Suanda, Toto Amsar Suanda, dan pengajar STSI Bandung lainnya saat itu bersikeras merayunya. Pertemuan yang tak diduga, atas petunjuk Mama Taham, seniman tradisional pemimpin Sanggar Mulya Bhakti, Tambi Sliyeg Indramayu. Taham yang juga memiliki kelompok nayaga tari topeng menunjuk Rasinah sebagai salah satu penari yang masih tersisa di Indramayu.

Rasinah menolak. Ia merasa sudah tua, sudah belasan tahun tak menari, sudah lupa dunia tari. Bahkan dunia tari mengantarkannya kepada kepapaan materi. Pendapatan tak menentu. Rumahnya pun hampir roboh. Akan tetapi ketika gamelan topeng berkumandang yang ditabuh para nayaya Mama Taham, ia seakan-akan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sebuah dunia tempatnya mengekspresikan karakter manusia lewat tari panji, pamindo, tumenggung maupun klana.

Ketika menari klana, kerentaan usia 65-an tak ada. Kakinya lincah menghentak-hentak. Berderap, menyepak-nyepak, ataupun berjalan dengan pongahnya. Nuansa kemarahan menyebar di sekelilingnya. Tinggi hati, berkuasa, dan egois dengan kegarangan kumis hitam tebal, mata melotot, dan wajah merah. Ekspresi tubuh, tangan, kaki, kepala, hati dan jiwa menyatu dalam karakteristik angkara murka.

Namun adegan yang penuh ruh dan energik itu justru menjadi kontras saat tarian usai dan kedok penari dibuka. Wajah yang tersembul adalah perempuan renta, ringkih, keriput, bahkan (maaf) mata kirinya pun sudah cacat pula.

Harta karun
Endo, Toto, dan Mama Taham berhasil membawanya kembali ke dunia tari. Membawanya kembali berpentas, bahkan sampai ke Bandung, Jakarta, Solo, Bali, hingga beberapa kota di Jepang. Undangan pentas seperti mengalir dari berbagai tempat, kota, dan negara. Kekayaan karakteristik topeng ia suguhkan dan banyak diapresiasi. Rasinah adalah harta karun yang lama terpendam di bawah samudera dunia. Setelah generasi tari topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan Rasinah adalah fenomena tersendiri.

Berbagai penghargaan diterimanya dari tingkat kabupaten, propinsi, nasional, maupun internasional. Harta karun itu bukan hanya milik Indramayu, Jawa Barat, maupun Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Dalam kerentaan menuju usia 80, sekitar dua tahun lalu stroke menyerangnya. Nama besarnya seakan-akan magnet bagi khalayak, terutama yang merasa ikut-ikutan membesarkan. Menjelang momen Pilkada Jabar tahun 2008, berbagai tokoh politik maupun cagub/cawagub menjenguknya.

Kini, menjelang Pilkada Indramayu 18 Agustus 2010, saat ia meninggalkan pentas dunia, tak hanya diikuti kerabat, keluarga, warga desa, wartawan, seniman dan budayawan yang menjenguknya. Cabup dan beberapa pejabat ikut pula mendoakannya. Pemkab Indramayu malah berencana membuat monumen dirinya.

Rasinah tentu tak mungkin lagi menari klana yang beraroma kesombongan dunia, keangkuhan penguasa, dan kepongahan sang angkara murka. Di pekuburan tepi pematang sawah itu mungkin terlintas ada tarian panji yang halus dan lembut. Pengembaraan sukma yang impresif dan utuh. Seperti bayi baru lahir dalam gambaran kedok putih-bersih. Selamat jalan, sang maestro.

-dimuat di Kompas, 09/09/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

statistik