-dimuat di Kompas
Oleh Saptaguna
Bagaimana fenomena sosial politik direspons oleh kesusastraan Cirebon-Indramayu? Tentu saja sebagaimana "takdir" sastra-kapan pun periodenya-ia lahir sebagai pencerahan jiwa, penghalus etika, dan penanda estetika.
Meski demikian, sesuai dengan masanya, rupa sastra itu tampak berbeda. Pada kekawen dan gugon tuwon, misalnya, respons politik lebih bersifat nasihat. Hal ini tidaklah aneh sebab sastrawan pada masa itu adalah para wali, seperti Sunan Gunung Djati. Gugon tuwon yang amat populer adalah Isun titip tajug lan fakir miskin.
Sesungguhnya bukan hanya itu. Ada banyak gugon tuwon lain, semisal Aja ngagungaken ing salira (jangan membanggakan diri) atau Aja nyidra jangjai mubarang (jangan mengingkari janji).
Pada kekawen juga ada nasihat politik yang ditujukan kepada penguasa, contohnya: dene utamae nata berbudi bawa laksana lire berbudi mangkan lila legawa ing driya anggung deya paring dana anggeganjur saben dina lire kang bawa laksana anetepi pangandika (keutamaan seorang raja berbudi luhur berbudi demikian ikhlas berlapang hati, selalu menyantuni berbuat demikian setiap hari di samping berbudi luhur menjunjung tinggi apa yang telah diucapkannya). (Kesusastraan Cirebon, Untung Rahardjo)
Pada "kidung" visi dan misi, kesusastraan disajikan dalam lagu dan doa. Adapun muatan alegoris dan filosofis pada macapat, perlambang sasmita dan sandi sastra lebih kental.
Agak berbeda dengan periode sastra sebelumnya. Pada wangsalan, parikan, paribasa, dan sanepa, respons sosial politik diungkapkan dengan cukup memperhitungkan estetika bahasa, pasemon, simbol, dan analogi.
Gurit sosial politik
Ketika fenomena politik di negeri ini mulai menghangat, produk-produk sastra Cerbon-Dermayu mulai merebak dan tak terbendung lagi. Ini ditandai dengan gurit politik yang amat menggigit. Secara etimologi, gurit bermakna kata-kata atau tulisan. Ini dapat berbentuk cerita cekak (cerkak) atau puisi.
Untung Rahardjo mengklasifikasikan gurit ke dalam periodisasi kesusastraan Cirebon modern. Adapun Ahmad Syubbanuddin Alwy lebih menyukai istilah kesusastraan Cirebon kontemporer untuk menengarai gurit-gurit politik yang bermunculan.
Setidaknya ada beberapa tonggak yang dapat dijadikan penanda merebaknya gurit politik ini. Di antaranya adalah terbitnya beberapa antologi puisi Cerbon-Dermayu. Di Cirebon terbit dua antologi, yaitu pertama, Susub Landep (2008) dan Nguntal Negara (2009) yang diterbitkan Lingkar Studi Sastra Dewan Kesenian Cirebon. Beberapa penyair yang menulis gurit ini adalah Ahmad Syubbanuddin Alwy, Salana, Made Casta, Jay Ali Muhammad, Nurochman Sudibyo, Nurdin M Noer, Dino Syahrudin, Supali Lakasim, dan Saptaguna.
Antologi kedua adalah Blarak Sengkle dan Bahtera Nuh. Kedua buku ini ditulis Nurochman Sudibyo yang diterbitkan Yayasan Medium Sastra dan Budaya Indramayu. Tonggak lainnya adalah munculnya gurit-gurit di media lokal, seperti puisi, jogregan di harian Mitra Dialog dan Guyon Dermayon di tabloid Mulih Harja.
Ciri yang amat mencolok pada gurit politik adalah menggunakan bahasa Cerbon-Dermayu yang lugas. Dia tidak memilih bebasan atau krama (halus), tetapi cenderung menggunakan bahasa bagongan atau ngoko (kasar).
Pemilihan diksi ini tidak berarti lambang ketidakberadaban, tetapi lebih sebagai simbol kultur pesisir yang identik dengan keterbukaan, seperti puisi yang ditulis Alwy: ...ngalor ngidul ngoce demokrasi jare sih kanggo rayat, duwe rayat kang kuwasa nyumbadaniterus, terus, terus aja wirang-wirang dadi kirik lan cemera njegug, medeni, pelad-peled, toli slendep: nguntal negara!
Bisa juga menyimak gurit politik yang ditulis Supali Kasim: Nglakoni urip, pengene terus-terusan ngatur di pemingpin, dadi priyayi, dadi wong duwur Malah yen bisa lan kudu bisa, laka sing bisa ngatur Yen ana sing ngatur, sedurunge ngatur, dilorod sampe kejebur (Nglakoni Urip, -ngangge: raja-raja cilik)
Sastra kontemporer
Ciri gurit kontemporer berikutnya adalah cukup responsif terhadap fenomena sosial dan politik. Ini dapat kita lihat dari judul-judulnya seperti Republik Sega Aking (Supali Kasim), Perang Potret (Nurochman Sudibyo), Dongeng Wayah Peceklik (Made Casta), dan Langgam TKI (Jay Ali Muhammad). Hampir semua gurit yang ditulis Ahmad Syubbanuddin Alwy bertema politik.
Uniknya, sebagai sastra kontemporer, meski gurit politik telah melepaskan dari aturan gatra (kalimat) atau wanda (suku kata), sebagian besar penyairnya masih mematuhi guru lagu (rima). Salah satu penyair menulis puisi di antologi seperti ini: Aja milih kuning lamun atine ora bening Aja milih ijo baka doyan mbebodo Aja milih abang lamun kegembang ning lambe abang Aja milih gadung bokat wedi kesandung Aja milih biru baka kaya kodok kegawa ning garu Aja milih ireng ari gawe urip kang bureng.
Sebagai muara antarbudaya (melting pot) Cirebon-Indramayu memang unik. Meski secara wilayah administrasi ia masuk Jawa Barat, ia bukan Sunda. Namun, wong Cerbon-Dermayu juga menolak disebut sebagai wong Jawa (Jawa Tengah).
Wong Cerbon tetap disebut sebagai wong Cerbon dengan segala jati dirinya.
Demikian pula dalam sastra, sepintas penyairnya terkesan lebih memilih gaya bebas dan "kasar". Padahal, mereka sejatinya mengakui, dengan cara seperti itu gema hati nurani lebih tercurahkan secara lugas, egaliter, dan transparan.
SAPTAGUNA Cerpenis dan Pegiat pada Center for Empowering Society and Cultural Studies Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar