Halaman

KISER Dermayon

WACANA & NURANI WONG INDRAMAYU

Minggu, 19 September 2010

Maestro Seni dan Regenerasi

dimuat di Kompas



Oleh Supali Kasim

Maestro-maestro seni di Tatar Cirebon-Indramayu memang pada akhirnya satu per satu pergi karena takdir kematian. Sebuah takdir dengan berbagai sebab: usia renta, penyakit, atau bahkan kecelakaan lalu lintas. Di sisi lain regenerasi seni menjadi bagian amat penting terhadap keberlangsungan seni tradisi karena ketiadaan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang khusus mempelajari seni Cerbon-Dermayon.


Transformasi seni Cerbon-Dermayon selama bertahun-tahun berlangsung dalam lingkup keluarga seniman. Regenerasi dan sentuhan modernisasi dilakukan secara alamiah tanpa ada eksplorasi, apalagi pengkajian ilmiah. Hal ini berbeda, misalnya, dengan eksistensi kebudayaan Sunda yang banyak ditopang pendidikan formal di Bandung, seperti di STSI, UPI, atau Unpad, dan kebudayaan Jawa yang disokong ISI Surakarta, ISI dan UGM Yogyakarta, bahkan UI Jakarta.

“Kawah candradimuka” untuk penggondokan seniman di Indramayu dan Cirebon biasanya dilakukan seniman maestro, terutama terhadap anak-cucunya. Metode pun bervariasi, dari pendekatan hati hingga sabetan rotan.

Secara garis keturunan, anak-cucu tersebut memang menderas darah seniman. Ibaratnya, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Lingkungan rumah setiap saat juga bernuansa kesenian. Pengaruh yang sangat kuat adalah pendidikan informal secara hati ataupun rotan tersebut.

Regenerasi maestro

Maestro seni Indramayu, Mama Taham (75), yang pernah memperoleh anugerah seni dari Gubernur Jabar ataupun Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, adalah salah satu contohnya. Sebenarnya tak hanya anak-cucunya, mereka yang di luar lingkungan keluarga pun tak sedikit karena sikap keterbukaannya, atau istilahnya, “baka gelem, menea, diblajari!” (kalau mau, ke sini, diajari). Darah seninya juga berasal secara turun-temurun, dari ayah-kakek-buyut-canggah, dan seterusnya. Anak, cucu, menantu, dan keponakan mampu dididik menjadi seniman, seperti Sidem Permanawati (pesinden, penari), Wangi Indriya (perempuan dalang wayang kulit, penari, pesinden), Suheti (penari, pesinden), Sunanah (penari), Suparma (dalang wayang kulit), Haris (pembuat keris), Dasma Hadiwijaya (seniman macapat), ataupun Rakidi, Cucun Yan, Tayo, Sidu (pengukir). Beberapa cucunya ada yang lulusan atau tengah menimba ilmu di STSI.

Hal serupa ditemui pada keluarga Rasmin (dalang wayang kulit) dan istrinya Suminta (penari topeng), yang menurunkan putra-putri, Tomo (dalang wayang kulit), Tarih (pesinden, penari topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (pesinden), Darsinih (wiyaga), Rusdi (dalang wayang kulit), Encin Rosinta (pesinden), Duniawati (pesinden, pemain tarling), puluhan keponakan, cucu dan cicit yang bergelut di dunia yang sama.

Maestro tari topeng Rasinah yang juga sudah mendapatkan anugerah seni dari gubernur ataupun menteri juga tak jauh berbeda. Didikan keluarga amat disiplin sejak kecil, termasuk melakoni berbagai puasa, seperti mutih (puasa hanya dengan makan nasi dan air putih), ngetan (saat berbuka hanya nasi ketan), ataupun puasa wali (puasa berturut-turut selama tiga hari atau tujuh hari, dan seterusnya.) Suaminya, Amat, sangat mendukung sebagai pengendang. Anak-cucunya, yakni Wacih dan Aerli, kini melanjutkan eksistensinya.

Puluhan atau bahkan ratusan seniman lain memiliki latar belakang yang sama. Generasi demi generasi lahir. Maestro berbagai seni selalu bermunculan. Dalang Abyor, Warih Priadi, Akirna Hadi Wekasan, dan sebagainya pada wayang kulit, dalang Tayut, Taram, Asmara, Tarjaya, dan sebagainya pada wayang golek cepak, pembuat kedok Royani hingga Sunewi, pesinden Carinih hingga Kamsiyah.

Secara biologis tak sedikit pula yang tak mampu menciptakan regenerasi seniman karena berbagai sebab. Ahmadi (dalang wayang golek), Domo Suraji, Salmin, Gendut Rumli (seniman sandiwara), Dariyah, Dadang Darniyah (pesinden, seniman tarling), Dirman Tjasim (seniman sintren), Jayana, Sugra (wiraswara tarling), adalah di antaranya. Meski demikian, anak-anak secara ideologis tak sedikit jumlahnya.

Hampir semua seniman tarling bersentuhan dan dipengaruhi oleh Sugra, Jayana, Uci Sanusi, Abdul Ajib, ataupun Sunarto Marta Atmaja. Seniman sandiwara banyak berguru kepada Domo Suraji, Salmin, dan Gendut Rumli. Pesinden ataupun wiraswara mengikuti petunjuk Carinih, Dariyah, Dadang Darniyah, ataupun Aam Kaminah. Dalang wayang berpusat pada komunitas sanggar di Tambi, Lohbener, Gegesik, dan lainnya.

Pendidikan formal

Ketika beberapa maestro sudah meninggal dan beberapa lainnya sudah uzur digerogoti usia, eksistensi mereka memang seakan-akan tak tergantikan. Seniman, dengan berbagai cabang seni pertunjukan, dalam khazanah Cerbon-Dermayon identik disebut sebagai dalang. Sebagai seniman, para maestro sudah mencapai tingkatan dalang mukti (seniman yang juga melakukan syiar kebaikan dan kebenaran) dan dalang sejati (tak semata-mata karena upah).

Generasi berikutnya tak sedikit yang masih dalam taraf dalang makarya (lebih karena upah) dan dalang micara (melakukan kegiatan seni tanpa memahami filsafat dan karakter penokohannya).

Totalitas penghayatan, pengabdian, dan kecintaan terhadap seni dan kehidupan dianggap belum dicapai generasi berikutnya. Faktor waktu, pengaruh lingkungan sosial-budaya, godaan pragmatis dan hedonis sangat berpengaruh kuat dalam menghambat totalitas tersebut. Apalagi, selama ini transformasi berlangsung secara alamiah. Tak sedikit pula yang awalnya atau pendalamannya secara otodidak. Kata kunci dari totalitas itu cenderung sebagai “cinta yang keras kepala” terhadap bidangnya.

Ke depan, tentu saja, jangan hanya bergantung pada regenerasi yang bertumpu pada transformasi kekeluargaan semata. Institusi pendidikan formal amat diperlukan. SMKI Pakungwati Cirebon yang sudah berdiri agaknya perlu nutrisi baru agar tak lesu darah, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena ragam seni-budaya Cerbon-Dermayon yang dianggap berbeda dengan Jawa ataupun Sunda.

Pengkajian dan pendalamannya tidak tepat jika bergantung pada pendidikan formal di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, ataupun Jakarta. Sudah saatnya perguruan yang mengkhususkan seni-budaya Cerbon-Dermayon berdiri di Cirebon dan Indramayu untuk ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dan dikembangkan.

SUPALI KASIM Pemerhati Budaya, Tinggal di Indramayu

1 komentar:

  1. Mas, apakah buku "Cinta yang Keras Kepala, Apa dan Siapa Seniman Indramasyu" masih tersedia di tempat mas? Sebab saya kesulitan untuk mendapatkannya. Kemudian, apa saja kira-kira buku referensi yang memadai jika saya ingin mengetahgui lebih banyak mengenai Wayang Cepak serta eksistensinya kini? TErima kasih atas perhatiannya.

    Salam,

    Nigar ulas-buku.blogspot.com

    BalasHapus

statistik