Indramayu dan Mitologi Hari Jadi
Oleh SUPALI KASIM
Hari Jadi, agaknya amat diperlukan sebagai sebuah mitologi baru dan modern untuk legitimasi kekuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kekuasaan, meskipun dalam suasana dan atmosfer demokrasi. Adanya ”hari proklamasi” sebuah daerah, kronologis terjadinya suatu daerah, silsilah keturunan para pendirinya, dijadikan spirit dan ruh untuk pembangunan rakyatnya. Penguasa berikutnya seperti memiliki keyakinan, bahwa apa yang dilakukan hari ini adalah matarantai pembangunan sebelumnya guna mewujudkan masyarakat yang gemah ripah lo jinawi sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk mempermasalahkan kekuasaan yang ia pegang.
Selama ini mitologi di seputar kehidupan raja-raja daulu menjadi media yang efektif untuk legitimasi kekuasaan. Ken Arok berupaya keras mendapatkan Ken Dedes, karena adanya anggapan siapa yang mempersunting Ken Dedes, akan menjadi puncak sebuah dinasti yang berkuasa berabad-abad. Perempuan cantik itu dianggap memiliki ”takdir” menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Kaisar di Jepang adalah keturunan Dewa Ra (dewa matahari), sehingga kaisar bukanlah orang biasa. Sultan Mataram beristrikan Nyi Loro Kidul (penguasa laut selatan), sehingga sultan bukanlah orang biasa.
Begitu pula genealogi dari wayang seringkali dipakai untuk menegaskan trah Raja, yang ”bukan orang biasa”. Arjuna menurunkan Abimanyu, dan Abimanyu menurunkan Parikesit, serta Parikesit menurunkan raja-raja Kediri.
Kontroversi
Tanggal kelahiran atau hari jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Ada beberapa alasan yang mendasari hal itu, seperti sebagai momentum “proklamasi”, salah satu identitas dan jatidiri daerah, bahkan menjadi simbol kebangkitan warganya. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Pengambilan tanggal tersebut merupakan rangkaian dari penetapan buku “Sejarah Indramayu”, yang disusun Tim Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13 September 1976.
Atas dasar itulah setiap tanggal 7 Oktober selalu diperingati sebagai hari jadi, dengan agenda utama Sidang Paripurna DPRD Indramayu. Kegiatan lain senantiasa mengiringi secara meriah berupa berbagai lomba, baik olahraga maupun kesenian, hingga resepsi tumpengan. Penetapan tanggal 7 Oktober 1527, di satu sisi memuat Indramayu telah memperoleh kepastian akan tanggal lahir sebagai suatu identitas daerah. Hari jadi juga menjadi kebanggaan daerah yang bisa dijadikan momen kebangkitan dalam pembangunan sekaligus momen perenungan akan perjalanan yang telah dilakukan nenek moyang. Di sisi lain, menimbulkan sejumlah pertanyaan akan latar belakang tanggal tersebut itu yang dianggap tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Pendapat Dasuki (1977) selaku Ketua Tim Penyusun Sejarah Indramayu bersandar pada asumsi-asumsi, meski dicuplik dari kronologi sejarah yang bersumber pada babad Dermayu. Asumsi itu muncul dengan melihat kelaziman para orangtua zaman dulu jika melakukan suatu kegiatan atau upacara besar yang menyangkut kepentingan umum senantiasa mengambil hari yang penting yang dianggap sakral. Kriteria penting dan sakral itu, berdasarkan asumsi, adalah menyangkut kehidupan rohaniah masyarakat, yakni tanggal 1 Muharam atau 1 Sura. Tanggal 1 Muharam merupakan penanggalan awal tahun Hijriyah, sedangkan 1 Sura adalah penanggalan awal tahun Jawa. Islam dan Jawa, setidak-tidaknya merupakan identitas dan icon spiritual yang banyak memberi warna keidupan masyarakat Jawa, termasuk Indramayu.
Mengenai tahun, justru terjadi pembalikan arah jarum jam. Argumentasinya sangat lemah, yakni peresmian pedukuhan Cimanuk dilakukan tahun 1527 setelah Wiralodra menikah dengan Endang Darma Ayu di rumah Wirasetra, saudara Wiralodra di Pegaden. Sepulang dari Pegaden dihadang Arya Kamuning karena menganggap Wiralodra tanpa izin Sunan Gunungjati membuka hutan Cimanuk. Saat itu Arya Kamuning usai membantu Cirebon mengalahkan Rajagaluh. Ada waktu yang berputar mundur. Pertempuran Cirebon dengan Rajagaluh tahun 1529, tetapi Wiralodra meresmikan pedukuhan Cimanuk tahun 1527 sepulang dari Pegaden.
Kelemahan dalam penetapan hari jadi Indramayu 7 Oktober 1527 antara lain tentang ketidakjelasan sumber, dasar penafsiran, bahkan juga pencampuradukan bulan Sura dengan tahun Saka. Kalau yang diambil tahun Saka, seharusnya tidak menggunakan nama bulan Jawa. Seharusnya menggunakan nama bulan dalam tahun Saka, seperti bulan paruh peteng, dsb. Tim Peneliti Sejarah Indramayu menyebutkan, peristiwa itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 1, bulan Sura, tahun 1449 Saka, atau tanggal 1, bulan Muharam, tahun 934 Hijriyah. yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 Masehi.
Dipilihnya tahun 934 H atau 1449 S lebih banyak bersumber pada pengembangan asumsi pula. Pengambilan tahun tersebut tidak memiliki latar belakang peristiwa yang pasti. Tidak ada momen penting ataupun artefak yang bisa ”berbicara” akan penetapan tahun tersebut, yang kemudian disesuaikan dalam kalender Masehi menjadi 1527 M. Asumsi-asumsi yang kemudian menjadi sebuah ketetapan itu lebih banyak diperkuat oleh keputusan bersifat kebijakan (politis) Bupati H.A. Djahari, S.H. secara pragmatis, yang menginginkan Indramayu segera memiliki hari jadi.
Adanya naskah lontar dan penafsiran akan adanya candrasengkala seharusnya menjadi ranah penggarapan filologi, yang akan membantu mengungkap kebenaran material dari sejarah yang melatarbelakanginya. Anggapan bahwa lontar itu ditulis pada abad ke-15 seharusnya didukung oleh argumentasi secara filologis dengan memperbandingkan wujud kertas yang dipakai, aksara penulisan, maupun bahasa yang dipergunakan. Selama pendapat yang menganggap bahwa lontar itu ditulis pada abad ke-16 yang bersumber dari mulut ke mulut, sulit menjadi dasar kebenaran material sebuah sumber sejarah.
Simbol tahun
Yang menarik lagi untuk diperbincangkan adalah ”pemilihan” tahun yang ditetapkan, yakni mengarah pada tahun yang mengandung ”banyak peristiwa”. Tahun 1527 adalah masa kejatuhan Majapahit. Tahun 1527 juga masa dikuasainya Sunda Kelapa oleh Faletehan, yang kemudian diberi nama Jayakarta. Dua momentum yang menyiratkan dua simbol. Pertama, Majapahit adalah simbol kejayaan sebuah kerajaan yang pernah menguasai nusantara, sekaligus simbol kebesaran agama Hindu. Bisa diinterpretasikan ambruknya Majapahit (kebesaran kekuasaan dan agama Hindu) adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam. Kedua, jatuhnya pelabuhan Sunda kelapa, yang sebelumnya di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, ke tangan pasukan yang dipimpin Faletehan atas perintah Demak. Pendudukan Sunda Kelapa oleh Demak itu tanpa diketahui terlebih dahulu oleh Portugis, yang sebelumnya bekerjasama dengan Kerajaan Sunda untuk aliansi saling menguntungkan. Kerajaan Sunda juga menyiratkan simbol kejayaan sebuah kekuasaan di wilayah barat Pulau Jawa, sekaligus kebesaran agama Hindu. Pada saat yang sama takluknya Sunda Kelapa pada tahun 1527 adalah lahirnya kekuasaan baru di Indramayu yang beragama Islam.
Entah sengaja atau tidak –karena kronologis penetapan tahun lahir Indramayu pada tahun 1527 hanya perkiraan semata dan tidak argumentatif-- merupakan bentuk pencarian identitas dan eksistensi yang dianggap akan memperkuat jatidiri daerah. Pemilihan tahun yang kurang memiliki dasar yang cukup, justru terjebak sebagai upaya legitimasi kekuasaan semata, yang merupakan bagian dari mitologi modern.
Jika benar Hari Jadi menjadi mitologi modern untuk legitimasi kekuasaan, pantaslah untuk mendapatkan hari sakral itu dicapai dengan berbagai cara, meskipun cara yang dipakai adalah ”pokoknya ada Hari Jadi” dan ”yang penting punya Hari Jadi”. Aspek-aspek kesejarahan, filologis, dan arkeologis pun dikesampingkan. Penentuan Hari Jadi Indramayu mengindikasikan lebih banyak dikarenakan kebijakan dan pertimbangan ”dari atas”. ***
SUPALI KASIM, peminat sejarah, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar